Gara-Gara BPN tak Keluarkan HPL
Areal eks Dinas Peternakan Provinsi Jambi yang berada di simpang Mayang, Kota Jambi sudah rata dengan tanah sejak setahun yang lalu. Oleh Pemprov, lokasi itu hendak disulap menjadi kawasan bisnis yang diberi nama Jambi Bisnis Center (JBC). PT Kurnia Properti adalah perusahaan besar yang menang tender dan akan berinvestasi senilai Rp 1,2 Triliun pada proyek itu. Faktanya, sejak empat tahun ini proyek yang sudah dijanjikan itu tidak pernah berwujud. Cuma angin sorga?
——————————-
Ari Kumari, Ara Permana Putra
Kota Jambi
——————————-
Proyek JBC senilai Rp 1,2 T itu, sepertinya masih menjadi angin Sorga bagi Pemprov Jambi. Hingga kini tidak ada progres sama sekali, justru proyek itu ibarat jauh panggang dari api.
Informasi yang berhasil dihimpun Jambi Link, lahan itu rupanya masih bermasalah. Masalahnya, lokasi itu statusnya sengketa. Karena berstatus sengketa, maka Pemprov belum bisa memanfaatkannya. Meskipun, sejak tahun 2016, Pemprov sudah memenangkan sengketa lahan seluas 6,7 hektar itu. Tapi, belakangan masalah lain muncul lagi.
Masalahnya bukan lagi terkait konflik antara Pemprov dan warga yang mengklaim memiliki tanah tersebut. Tapi, masalahnya kini adalah soal perizinan. Perizinan yang dimaksud, areal itu berstatus Hak Guna Bangunan (HGB). Maka sesuai aturan, pihak ketiga baru bisa membangun jika mengantongi izin Hak Guna Usaha (HGU).
Untuk merubah dari HGB ke HGU masih butuh satu proses lagi, yaitu harus di ubah terlebih dahulu dari HGB ke HPL. Sementara, peralihan perizinan itu hanya bisa dilakukan oleh BPN. Pemprov mengklaim, pihaknya sudah sejak lama mengajukan peralihan izin itu. Tapi, sampai sekarang belum ada titik terang.
“Saat ini proses peralihannya belum selesai dan pihak ketiga masih menunggu itu,”ujar Sekda Provinsi Jambi, M Dianto.
Menurutnya, pengusaha tidak berani membangun sebelum status lokasi berubah menjadi HGU.
Kerabat Zulkifli Nurdin ini mengatakan, proses pengajuan sudah terbilang lama yakni sejak pengosongan lahan beberapa waktu lalu.
“Kalauoun status tanah sudah turun, tahapan berikut dilakukan MOA,”katanya.
MOA adalah merupakan kesepakatan bisnis yang akan dibuat antara Pemprov dan pengusaha. Kemudian, Pemprov juga akan memperbaharui izin pernjanjian antara kedua belah pihak. Artinya, dari kondisi itu maka proses pembangunan pusat bisnis ini tidak bisa diprediksi kapan akan dimulai. Sepertinya Pemprov perlu bekerja lebih keras lagi, terutama melobi BPN untuk segera menerbitkan perubahan izin.
Pengusaha, kata dia, akan bersedia membangun jika persoalan tanah dan izin sudah Klir. “jika sudah selesai maka investor segera membangun,” katanya.
Pantauan di lapangan, saat ini lahan yang akan digunakan untuk pembangunan JBC dipagari menggunakan pagar seng dan dijaga oleh petugas. Selain itu pematangan atau pembersihan juga telah dilakukan.
Wakil Ketua DPRD Provinsi Jambi Ar Syahbandar meminta Pemprov jemput bola. Caranya, dengan mendatangi BPN dan menanyakan apa masalahnya sehingga proses peralihan izin lama.
“Untuk membangun daerah, ya harus jemput bola. Jangan nunggu. Kalau ada bahan yang kurang, cepat dilengkapi,” singkatnya.
Untuk diketahui, proyek JBC ini akan dibangun oleh PT Putra Kurnia Properti dengan pola BOT. Direncanakan, pada lokasi ini akan dibangun hotel 14 lantai, gedung pertemuan, mall, ruko dan pusat perbelanjaan lain. Investasi yang bakal dikucurkan PT PKP juga mencapai Rp 1,2 triliun. dengan kontribusi yang diterima Pemprov Jambi selama 30 tahun mencapai R p 56 miliar lebih.
Jejak Sengketa Lahan JBC
Eksekusi lahan eks Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jambi itu gagal dilakukan karena ahli waris yang mengaku pemilik lahan melakukan perlawanan.
Ahli waris lahan diwakili oleh Juraidah dan di dampingi Ketua LSM Forum Kota Seberang Pembela Masyarakat Provinsi Jambi (FKSPMPJ) yang melawan proses eksekusi lahan.
Utusan ahli waris itu mengatakan dengan tegas bahwa sebenarnya lahan tersebut bukanlah milik pemerintah daerah. Karena pemda hanya menumpang lahan. Apa yang diakui pemda saat ini, menurutnya adalah hanya sekedar hak pakai, dan itupun setelah sepuluh tahun harus dikembalikan kepada pemilik, bukan menguasai.
“Bukan milik pemda, pemda tu hanya numpang disini. Hak pakai, hak pakai itu hanya sepuluh tahun bisonyo berlaku. Setelah sepuluh tahun, balikkan kepada yang punyo. Bukannyo menguasai seterusnyo,” tutur Juraidah.
“Kalau di pengadilan biso bae dikalahkan. Kito ni rakyat, mano biso melawan negara,” ujarnya keras.
Juraidah menyayangkan atas keputusan eksekusi yang dijalankan oleh pemerintah. Untuk bangunan, wanita ini benar mengakui bahwa itu adalah milik pemerintah dan aset negara. Namun, untuk tanahnya sendiri adalah milik dari ahli waris.
“Kami dak terimo dengan keputusan eksekusi segalo macam tu. Kalo bangunan ini kami akui punyo pemda, aset Negara. Tapi kalo aset tanah, kami sudah cek tidak masuk dalam aset negara. Cuma bangunan,” ucapnya.
“Tanahnya miliki kami, ahli waris yang punya,” tegasnya.
Ketua LSM FKSPMPJ itu mengungkapkan bahwa pihaknya tidak akan mundur dari lahan tersebut, sebelum pemerintah daerah menyelesaikan ganti rugi kepada ahli waris sesuai dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah yang berlaku. (awn)