Banyak informasi keliru dalam membaca mereka yang memusuhi negara. Kadang mereka langsung diidentikkan pada pemahaman atau ideologi tertentu : kanan ekstrim, kiri parah, dan seterusnya. Nah, sebelum semua itu menjadi analisis utama, ada baiknya memulai menganalisis PERANGAI mereka, sebagai akibat dari pembagian sumber kekayaan yang tak adil. Kalau itu sudah jelas jawabannya, barulah analisis Anda bergerak ke sebab lain.
***
Lewat kanal Youtube Channel Belajar Politik, yang baru saja tayang Ahad 7 Juni 2020, Dr Jafar Ahmad mengajak viewers memahami secara jernih bagaimana cara membaca perilaku para musuh-musuh negara.
Diulas secara terang-benderang, Dr Jafar–begitu sapaan akrabnya–, memulai kajiannya dengan pemahaman defenisi Negara.
Negara, menurut Dr Jafar, tidak boleh ditengok secara tunggal. Ia sebenarnya adalah kata benda. Karena dia kata benda, maka, sesuai sifatnya dia tentunya netral.
Tengok saja bagaimana potret negara ini sejak zaman Soekarno. Namanya Indonesia. Turun ke Soherato, namanya tetap Indonesia. Berlanjut ke Habibie, Gusdur, Megawati, SBY hingga Presiden terkini, Jokowi.
Nama Negara tak berubah, tetap Indonesia.
Indonesia sebagai negara, kata Dr Jafar, tentulah berposisi netral. Yang berbeda adalah perilaku aktornya.
Begini.
Orang-orang orde lama misalnya, tentu merasa ada perbedaan ketika orde baru berkuasa. Sebaliknya, orang-orang orde baru tentu akan merasa ada perbedaan ketika hidup di era Habibie, Gusdur, Mega dan seterusnya.
Akan ada terus perbedaan.
Sekali lagi..yang berbeda bukan negaranya, tapi, perilaku aktornya.
Disinilah kuncinya.
Nah,
Agar tak keliru menafsirkan sebuah negara, yang mesti dianalisis sebetulnya adalah perilaku orang yang mengelola negara.
Sehingga…..
“Kita tak akan terjebak ke penafsiaran keliru. Dengan begitu, kita tentu tak akan menemukan orang yang membenci negara. Sebab, negara itu, jika dikelola dengan baik, dia akan menjadi baik. Dan sebaliknya pula. Makanya, sebenarnya tidak boleh ada dan jangan sampai pernah ada orang membenci negara. Sebab negara tidak salah. Yang salah, mungkin perilaku aktor yang mengelolanya…,”kata Jafar.
Dr Jafar tentu amat menyayangkan bagaimana perilaku kelompok separatis, yang cenderung menjadikan negara sebagai musuh. Bukan perilaku aktornya.
Lantaran keukeuh memandang negara sebagai musuh, ujung-ujungnya, mereka menjadi pemberontak. Beberapa misalnya memilih hengkang ke negara lain.
“Karena yang mereka musuhi adalah negara. Bukan perilaku aktor yang mengelola negara..,”ujarnya.
Lewat ilmu politik, lagi-lagi Dr Jafar mengajak publik sebisa mungkin menganalisis peristiwa itu secara benar. Bagaimana mampu membaca perilaku aktor negara sekaligus kelompok penentangnya.
Sehingga, anda akan cakap menganalisis suatu peristiwa secara jernih.
“Karena itu, Saya bersikeras, kalau ingin menganalisis peristiwa politik, maka, analisis lah dari aktor. Siapa dan apa kepentingannya. Dari situ, kita akan mudah melihat bagaimana perilaku negara memerintah warganya. Juga sebaliknya, kita akan bisa melihat secara terang, siapa-siapa dan apa motif para perilaku orang-orang yang memusuhi negara,”jelasnya.
Keduanya mestilah dianalisis dengan cara yang sama.
Bagaimana melihat perilaku musuh negara misalnya, bisa dimulai dari membaca motif adanya sumber daya mereka yang terganggu. Mereka merasa negara tak seiring sejalan dengan kepentingannya.
“Makanya, mereka melakukan berbagai upaya untuk menjegal negara. Sampai sejauh ini, sepengetahuan saya, jika ingin menganalisis peristiwa politik, sekali lagi mulailah dari menganalisis kebutuhan utilitas manusianya. Dalam konteks politik, kita akan selalu melihat pertarungan itu terjadi karena dilatarbelakangi oleh perebutan sumber daya…,”katanya.(*)