Lewat kanal Youtube Channel Belajar Politik, Rabu 3 Juni 2020, Dr Jafar Ahmad mengupas apa-apa saja kunci kemenangan dalam kontestasi Pilkada. Ia membekali anda sebuah senjata, untuk menganalisis peristiwa dari persepektif teori politik, sehingga anda mampu mempetakan siapa-siapa kandidat yang berpotensi unggul sebagai pemenang. Berikut penjelasannya.
***
Dr Jafar–begitu ia akrab disapa–, memulai kajiannya dengan pernyataan disclaimer. Ini penting, mengingat penjelasannya itu murni akademis dan sangat ilmiah. Sehingga boleh digunakan siapa saja, bukan ditujukan untuk satu kelompok tertentu.
Semua peristiwa politik membius. Ia menjadi magnet bagi banyak orang. Semua mata melotot padanya, terutama ajang pemilihan kepala daerah, baik Bupati atau Gubernur.
Siapa kandidat yang berpeluang menang, menjadi pertanyaan yang kerap membuhul di kepala publik. Dengan keterbatasan ilmu, acapkali publik terjebak dalam prediksi-prediksi dan analisis yang, maaf, kadang-kadang ngawur.
Tak sedikit, yang lalu menjadikan dukun sebagai tumbal.
Dr Jafar hadir untuk menjernihkan kepala kita. Bukan saja berfaedah buat kandidat, tapi, penjelasan ini penting supaya para punggawa timses bisa objektif menilai kekuatan diri.
Ada semacam delusi kesadaran, menurut Dr Jafar, yang kerap menghinggapi kepala kandidat atau timses.
Apa itu?
“Semacam persepsi yang selalu merasa dia kuat dan didukung oleh publik,”katanya.
Ini gara-gara kemanapun ia pergi, selalu jumpa publik yang bejibun. Publik yang kerap menyemut dan gegap gempita menyambutnya di tiap pertemuan.
Dari kepingan data itu, terkadang timses maupun kandidat bergegas menarik kesimpulan. Terjadilah sebuah ilusi sendiri, persepsi bahwa ia betul-betul kuat. Padahal, kesimpulan yang ditarik hanyalah kesimpulan induktif.
Ia, belumlah memperoleh data yang menyeluruh di lapangan….
“Faktanya kan tidak seperti itu. Ada banyak orang yang tidak ditanya, apakah mendukung dia atau tidak. Itu yang harus dipahami. Saya kadang kasihan melihat beberapa calon kok pede betul karena merasa didukung banyak orang. Ketika disampaikan informasi yang objektif, kadang dia gak terima,”jelas Jafar.
Ilmu pengetahuan, kata Jafar, telah menyuguhkan kepada kita bagaimana cara membaca peristiwa politik, wabil khusus ajang Pilkada lima tahunan itu.
“Ada teori Modal Pierre Bourdieu yang bisa kita gunakan untuk menggambarkan kontestasi dalam Pilkada itu…,”ujarnya.
Dengan teori modal ini, setidaknya publik punya bekal senjata untuk memprediksi siapa-siapa kandidat yang berpotensi menang dalam kontestasi.
Bourdiue, kata Jafar, menjelaskan fenomena sosial dalam sebuah perumpamaan.
“Kita laksana hidup dalam sebuah arena. Arena itu diisi oleh para habitus. Dalam konteks pilkada, habitus adalah calon kepala daerah dan para pendukungnya. Habitus ini berkompetisi dalam sebuah arena untuk memenangkan kontestasi. Nah…Kemenanannya itu akan ditasbihkan sebagai sesuatu yang akan diikuti oleh habitus lain. Dia menjadi habitus yang superior dan itu namanya doksa,”beber Jafar.
Secara teori, Bourdieu menyebut habitus haruslah punya modal untuk memenangkan kontestasi, agar ia menjadi habitus superior, agar menjadi habitus yang unggul itu.
Ada empat modal, kata Jafar.
Ada modal sosial..
Ada modal kultural…
Ada modal Ekonomi dan
Terakhir modal simbolik….
Jafar lantas menjelaskan satu per satu tentang modal itu.
Pertama modal sosial. Disebut punya modal sosial karena ia memiliki jaringan sosial yang sangat kuat. Semakin luas jaringannya, semakin kuat pula modal sosialnya. Sebaliknya, semakin sedikit jaringannya, semakin kecil pula modal sosialnya.
“Semakin besar modal sosial yang dipunyai, semakin besar pula kemungkinan dia memenangkan kontestasi,”ujarnya.
Besar kecilnya modal sosial bisa menjadi kunci untuk mendatangkan kemenangan.
Dari mana sumber modal sosial?
Bisa dari kesukuan. Seorang kandidat misalnya, berasal dari anggota suku terbesar di sebuah wilayah.
“Dia punya jaringan organisasi yang luas, yang bisa dikendalaikan, yang bisa diorganisir. Semakin besar itu, semakin besar pula modal sosialnya,”ujar Jafar.
Kedua modal kultural. Ini berkaitan dengan kepemilikan pengetahuan, kecakapan atau kapasitas diri. Mislanya begini, ia punya kemampuan retorika yang hebat, mampu memanage orang, piawai menempatkan baliho yang bagus dan enak dipandang mata.
“Ini terkait dengan bagaimana kemampuannya menyesuaikan diri dengan lingkungan,”katanya.
Ketiga modal ekonomi. Modal ini memungkinkan seseorang untuk menggerakkan modal-modal lain. Ini berkaitan dengan stok fulus di kantong.
“Dia punya jaringan yang kuat dan besar, tapi, gak punya modal ekonomi menggerakkan jaringan itu…ya…gak bisa…,”kata Jafar.
Keempat modal simbolik.
“Misalnya dia cucu pangeran A. Atau ia mewarisi darah biru atau tokoh besar,”ujarnya.
Modal simbolik bisa dimiliki dari dua lain. Misalnya dari kerjasama tiga modal tadi–Sosial, Kultural dan Ekonomi–.
“Dia sudah kaya, berpendidikan, jariangnnya banyak, nah..secara simbolik dia otomatis akan jadi orang kuat. Modal simboliknya akan terbentuk sendiri…,”jelasnya.
Logiknya gini, kata Jafar, semakin besar seluruh modal yang dipunyai, maka, semakin besar kemungkinan dia menang.
“Melihat calon yang bertarung, kita bisa ukur. Seberapa besar modal yang dimiliki. Dari modal tadi, kita sudah bisa menduga siapa yang akan menang,”katanya.
Dengan kekuatan modal yang ada, para calon mestilah mengukur diri.
Nah…
“Bayangkan, rumitnya peristiwa politik bisa dijelaskan hanya dengan 4 hal itu. Kalaulah kita mau menganalisis politik, alatnya sudah tersedia. Bisa digunakan dengan sederhana dan praktis,”katanya.
Awin, yang memandu dialog lantas bertanya….dari modal politik yang ada, modal mana yang paling kuat (Maksudnya, modal yang paling berpeluang mengantarkan calon ke garis finish kemenangan)?
“Modal ekonomi…”kata Jafar.
Alasannya?
“Modal ekonomi memastikan modal lain bisa bekerja. Yang bisa mengaktivasi modal-modal lain, ya modal ekonomi….,”katanya.(*)
Simak di kanal youtube nya :