MEMAHAMI masalah halal dan haram dalam Islam termasuk kewajiban individual yang harus diketahui oleh seluruh umat Islam. Perkara halal merupakan fardhu ‘ain (kewajiban individu), karena berkaitan dengan status amaliah yang dilakukan oleh manusia itu sendiri. Apakah amal perbuatan yang kita lakukan selama ini sudah sesuai dengan ketetapan Syari’i? Jika iya, maka amaliyah kita sudah mengacu pada prinsip yang halal dan sesuai dengan ketetapan Syar’i. Sebaliknya, jika amaliyah yang kita jalankan adalah yang haram, berarti perbuatan kita sudah melanggar ketentuan Syari’i.
Dalam salah satu haditsnya Rasulullah SAW sudah menegaskan, bahwa perkara yang halal itu sudah jelas, begitu pula dengan yang haram. Berhubung masih lekatnya penyakit masyarakat saat ini yang masih membudayakan prinsip halal, haram dan hantam. Maka, penulis ingin mengajak masyarakat untuk beralih dengan gaya hidup halal atau Halallifestye dengan konsep 3H, yaitu Halal memperoleh, Halal mengkonsumsi dan Halal memanfaatkan. Kata Halal berasal dari bahasa arab yaitu dari lafadz halla yang berarti “lepas” atau “tidak terikat”. Sedangkan dalam kamus istilah fiqh, kata Halal dipahami sebagai segala sesuatu yang boleh dikerjakan atau dimakan. Dengan pengertian bahwa orang yang melakukannya tidak mendapat sanksi dari Allah Swt. Sedangkan istilah Haram dapat dimaknai dengan susuatu atau perkara-perkara yang dilarang oleh syara’. Berdosa jika mengerjakannya dan berpahala jika meninggalkannya.
Halal Dalam Memperoleh
Islam telah memberikan panduan kepada kita untuk mengarungi kehidupan di dunia ini. Temasuk panduan mengenai bagaimana cara memperoleh harta dan rezeki yang halal. Namun, belakangan ini banyak kasus yang telah terjadi sangat memprihatinkan, mulai dari kasus pencurian, perampokan, suap, hingga korupsi. Praktek korupsi adalah fenomena yang sedang menggejala di bumi Indonesia saat ini. Biasanya, berwujud dalam bentuk mark up pengadaan barang. Praktek ini sama halnya memakan harta yang bukan haknya. Mereka yang melakukan praktek korupsi termasuk orang yang memperoleh harta secara bathil. Akibatnya, merugikan negara dan masyarakat luas. Harta yang dihasilkan dari praktek korupsi tidak akan membawa berkah, namun sebaliknya, akan membawa bencana bagi pelaku dan keturunannya. Bisa jadi, pelakunya akan berurusan dengan penegak hukum. Bahkan, sering terjadi pelaku korupsi dan anggota keluarga pelaku yang memanfaatkan hasil korupsi, cenderung melakukan kejahatan yang lain, seperti terlibat obat-obatan terlarang (narkoba), selingkuh, berjudi dan berzina. Walhasil, praktek korupsi juga termasuk awal mata rantai kejahatan yang akan timbul di masyarakat. Oleh karenanya, kalau kita ingin memperoleh harta atau rezeki yang halal, maka praktek kehidupan kita harus terhindar dari perilaku korupsi. Kita selalu berdo’a, semoga kita dan keluarga kita termasuk orang-orang yang jauh dari praktek korupsi. Berbicara tentang bagaimana cara memperoleh rezeki yang halal beberapa diantaranya dapat dilakukan dengan cara menghindari praktek korupsi, suap (risywah), perjudian dan lain sebagainya yang dilarang dalam Islam. Kemudian, berusaha memperoleh rezeki atau harta dengan cara berniaga atau berdagang dengan praktek transaski jual beli yang diperbolehkan dalam Islam sesuai dengan syariat. Sedangkan jual beli yang diharamkan dalam Islam yaitu jual beli yang mengandung unsur ketidakjelasan (gharar), jual beli makanan dan minuman haram seperti daging babi dan khamr atau alkohol. Kemudian menghindari praktek riba atau bunga. Karena sesungguhnya Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Mempraktekkan usaha dengan cara bagi hasil berdasarkan pada kaidah profit and sharing system. Mempraktekkan usaha sewa-menyewa seperti konsep ijarah dalam Islam serta sumber mata pencaharian lainnya yang diperbolehkan dalam Islam baik itu sebagai petani, peternak, berprofesi sebagai guru, dosen, honorer, pegawai negeri, pegawai swasta, wirausaha, pengusaha, dan lain sebagainya selama itu tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Halal Dalam Mengkonsumsi
Sebagai konsumen muslim, kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk memilih makanan, obat dan kosmetika yang terjamin kehalalannya. Namun pada saat yang sama, tantangan dan halangan untuk mendapatkan yang halal itu ternyata tidak mudah. Ambil contoh makanan, betapa saat ini banyak sekali produk-produk yang beredar, baik dari dalam maupun luar negeri tidak jelas kehalalannya. Bisa dari bahan bakunya, bahan tambahannya, bahan penolong, maupun cara pengolahannya yang tidak halal. Hal ini lebih dipicu dengan perkembangan teknologi pengolahan yang begitu pesat, sehingga mengaburkan batas-batas antara yang halal dan yang haram. Secara umum ada tiga kategori makanan yang dikonsumsi manusia, yakni nabati, hewani dan produk olahan. Makanan yang berbahan nabati secara keseluruhan adalah halal, dan karena itu boleh dikonsumsi kecuali yang mengandung racun, bernajis, dan atau memabukkan. Sedangkan makanan yang berasal dari hewan terbagi dua, yaitu hewan laut yang secara keseluruhan boleh dikonsumsi dan hewan darat yang hanya sebagian kecil saja yang tidak boleh dikonsumsi. Sementara itu, kehalalan atau keharaman makanan olahan sangat tergantung dari bahan (baku, tambahan, dan atau penolong) dan proses produksinya. Menilik kompleksitas teknologi pengolahan dan penggunaan bahan yang tidak halal, kita cukup prihatin dengan maraknya produk-produk yang berasal dari babi dan produk turunannya. Karena ternyata babi dengan segala kandungannya itu bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Beberapa komponen babi yang bisa digunakan itu antara lain adalah bulu, kulit, lemak, tulang, jerohan, darah, enzim, daging, protein, asam amino dan organ-organ lainnya. Dengan demikian kewaspadaan kita terhadap penggunaan bahan haram tersebut perlu diwaspadai dan diantisipasi oleh konsumen muslim. Namun kesulitannya bagi konsumen adalah susahnya produk haram itu dideteksi secara visual (kasat mata). Pada umumnya bahan-bahan tersebut sudah diolah sedemikian rupa, sehingga tidak bisa dideteksi lagi hingga produk akhirnya. Dari penjelasan tersebut maka persoalan mengkonsumsi produk halal ini perlu adanya intervensi dari sebuah lembaga yang bisa menerangkan status kehalalan suatu produk setelah melalui kajian dan penelitian yang seksama terhadap bahan, proses pengolahan dan sistem berproduksinya. Itulah perlunya sertifikat dan label halal yang bisa memberikan kejelasan bagi konsumen dalam memilih produk halal.
Halal Dalam Memanfaatkan
Rezeki yang kita dapatkan merupakan anugerah yang telah diberikan Allah Swt. Ini pertanda bahwa Allah Swt masih mempercayai kita sebagai hamba-Nya untuk mendapatkan karunia dan rezeki dari-Nya. Beberapa petunjuk dalam memanfaatkan harta sudah diatur dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Dari ketentuan yang ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah diketahui ada beberapa cara memanfaatkan harta yang sesuai dengan syariah Islam. Pertama, yaitu dengan memberikan nafkah kepada keluarga. Dalam hal ini, sudah menjadi kewajiban utama bagi sang suami untuk menafkahi keluarga inti terlebih dahulu, baru setelah ada rezeki yang lebih dapat dimanfaatkan untuk keperluan keluarga dekat. Misal, memberi tambahan nafkah bagi orang tua atau membantu keperluan hidup dari saudara kandung yang sedang membutuhkan. Kedua, yaitu kewajiban untuk mengeluarkan zakat sebagai tanda perwujudan keimanan kita kepada Allah Swt, mensyukuri nikmat-Nya, menumbuhkan akhlak mulia dengan rasa kemanusiaan yang tinggi, menghilangkan sifat kikir, rakus dan materialistis, menumbuhkan ketenangan hidup, sekaligus membersihkan dan mengembangkan harta yang kita miliki. Dan yang ketiga, yaitu membiasakan diri untuk berinfak dan sedekah, serta memanfaatkan harta kita untuk agama Allah dengan menginfakkan sebagian harta kita untuk pembangunan masjid, sekolah-sekolah Islam, rumah sakit Islam dan memberikan beasiswa bagi anak muslim yang menuntut ilmu. Di samping itu, kita juga bisa menjadi donatur untuk Pendidikan Taman al-Qur’an (TPQ), mewakafkan al-Qur’an, mengasuh anak yatim dan lain sebagainya. Dengan harapan bahwa Allah Swt akan memberikan keridhoan serta keberkahannya untuk kehidupan kita baik didunia maupun diakhirat nanti.
Setelah mengetahui bahwa kedudukan halal dalam Islam itu penting, maka melalui gerakan 3 H ini diharapkan masyarakat mampu menerapkan gaya hidup halal (halallifestyle) dalam kehidupan sehari-hari. Semoga bermanfaat. (***)
Penulis adalah Mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN STS Jambi, dan Duta Ekonomi Syariah Jambi 2017.