SKANDAL Korupsi yang melibatkan Dinasti Politik menjadi konsen utama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI. Lembaga Super Body itu merasa penting memutus mata rantai dinasti politik di daerah, termasuk di Jambi. KPK punya berbagai alasan. Berikut analisis dan hasil kajian pakar Politik Dr Jafar Ahmad yang disampaikan kepada Jambi Link, kemarin.
BACA JUGA: Demokrasi Akomodir Politik Dinasti?
——————————-
Muawwin
——————————-
Kajian tentang “Mengapa KPK Memburu Dinasti Politik” sangatlah dinanti publik, khususnya warga Jambi. Redaksi Jambi Link banyak menerima permintaan dari pembaca. Mereka minta dikirimkan artikel hasil kajian itu.
Publik sangat antusias ingin mengetahui secara mendalam hubungan KPK dan Dinasti Politik itu.
BACA JUGA: Dinasti Dulu Prestasi Kemudian
Menurut Dr Jafar, jika ditracking lebih jauh kebelakang. Cerita terkait KPK dan Dinasti Politik sangat lah panjang.
Orang-orang KPK, kata Dr Jafar, cenderung mendukung demokrasi yang berlangsung secara terbuka. Maksudnya, mereka ingin demokrasi memberi ruang bagi kelompok professional bisa merebut kekuasaan.
BACA JUGA: Saat Klan Nurdin Bangkit Lagi
KPK ingin mereka yang betul-betul punya kapasitas diberi ruang memimpin daerah. Mereka perlu diberi peluang agar bisa bersaing dan berkompetisi secara sehat. Dalam kajian Dr Jafar, itulah yang menjadi tolak ukur utama KPK.
Boleh jadi KPK berasal dari kelompok kebanyakan. Mereka berasal dari orang-orang umum. Mereka bukan berasal atau tidak dilahirkan dari kelompok dinasti. Mereka tidak mengandalkan dinasti untu, menjadi pemimpin.
Sehingga menjadi wajar, ketika KPK konsen memperjuangkan kelompok umum–diluar dinasti itu–bisa tampil menjadi pemimpin di daerah.
Doktor Politik jebolan Universitas Indonesia (UI) itu, menegaskan, secara sadar sebenarnya KPK memahami, bahwa dinasti politik bukan faktor utama pemicu korupsi. Bahwa sumber korupsi dimensinya sangat luas. Antaralain faktor peluang dan kesempatan.
Meski demikian, Dr Jafar berpendapat bahwa ada semacam pakem yang terbangun di internal KPK. Bahwa korupsi memang erat kaitannya dengan dinasti politik. Menurutnya, ada semacam keyakinan bahwa politik dinasti seolah-olah memicu terjadinya korupsi. Sementara diluar itu tidak.
Dan itu menurut Dr Jafar, sesuatu yang wajar.
“Karena KPK dalam rangka membela kepentingan orang kebanyakan. Membela orang umum,” katanya.
Begitulah demokrasi dalam pandangan KPK. Dan sebenarnya demokrasi memang seperti itu. Demokrasi harus memberi peluang kepada semua orang untuk bisa bersaing secara sehat. Sementara, KPK menganggap dinasti politik menghambat proses demokrasi yang sehat itu.
“Makanya, bagi KPK Dinasti perlu di potong,” singkatnya.
Dr Jafar mengatakan, persepsi itu sudah terlembagakan dengan sangat kuat di internal KPK itu.
Masalah lain, kata Dr Jafar, membuhul di internal KPK bahwa dinasti politik cenderung menguasai dan memegang kekuasaan dalam jangka waktu panjang.
Dinasti Politik bisa mengkapitalisasi kekuasaan. Bisa membangun jejaring kekuasaan yang jauh lebih kuat lagi.
Misalnya, ada orang dari dinasti politik. Kemudian dia membuat jejaring di birokrasi. Sampai sangat kuat dan menggurita.
“Sehingga, dikhawatirkan tidak ada kelompok lain yang memiliki kemampuan bersaing secara sehat dengan kelompok dinasti itu,” jelasnya.
Maka, lanjut Dr Jafar, bagi KPK sangat penting memperhatikan politik dinasti itu. KPK ingin memastikan bahwa dinasti politik tidak lebih korupsi dibanding yang lain.
Sehingga, kelompok penguasa yang masuk dalam kategori politik dinasti. Pasti akan menjadi incaran KPK.
Beberapa kasus korupsi yang mengemuka terkait dengan dinasti politik, misalnya dugaan suap yang melibatkan bapak dan anak, yakni Asrun sebagai calon gubernur Sulawesi Tenggara dan putranya, Adriatma Dwi Putra selaku wali kota Kendari.
Setelah sang ayah menyelesaikan tugasnya sebagai wali kota dan kembali maju sebagai calon gubernur, sang anak mengisi jabatan yang ditinggalkan ayahnya.
Di Provinsi Banten, kasus Ratu Atut Chosiyah yang melibatkan adiknya, menunjukkan betapa kentalnya kekuasaan dinasti politik di Banten.
Ada pula dinasti Kutai Kartanegara. Beberapa waktu lalu, Bupati Kutai, Rita Widyasari, tersandung kasus korupsi mengikuti jejak sang ayah, mantan Bupati Kutai Kertanegara – Syaukani Hassan Rais yang terlebih dulu tersandung kasus serupa.
Di Cimahi, Jawa Barat, Wali kota Cimahi (2012-2017) Atty Suharty bersama suaminya menjadi tersangka kasus penerimaan suap proyek pasar Cimahi. Sang suami, Itoc Tochija, merupakan wali kota Cimahi selama dua periode. Di Jambi, Zumi Zola yang mewarisi kekuasaan ayahnya Zulkifli Nurdin terlibat kasus Gratifikasi dan Suap Ketok Palu.
Meskipun, penguasa dari kalangan umum tidak ada jaminan juga bisa terbebas dari praktik korupsi.
Dr Jafar mengatakan, KPK hanya ingin memastikan dinasti politik bisa menjalankan kekuasaan dengan cara yang benar.
Selama ini, KPK selalu menyatakan bahwa dinasti politik identik dengan korupsi. KPK ingin membuktikan bahwa premis itu betul.
“Meskipun secara ilmiah klaim itu belum bisa diterima,” katanya.
Secara teoritik, Demokrasi memberi ruang kepada mereka yang memiliki kemampuan merebut simpati publik. Itu bisa diraih dari jasa terhadap proses melakukan perbaikan masyarakat. Jasanya terhadap pembangunan infrastruktur. Jasanya dalam membantu orang lemah.
Demokrasi idealnya memberi ruang kepada sosok seperti itu untuk berkuasa.
“Itulah demokrasi yang sehat,” singkatnya.
Tapi, dalam pandangan KPK, dinasti politik justru berpotensi menguasai sumber daya besar di daerah. Bisa mengontrol banyak hal. Sehingga, tidak ada dinamika yang mampu melawan kekuatan besar itu.
“Maka menjadi penting bagi KPK membuat orang kuat lokal tidak membesar. KPK meyakini orang kuat lokal berpengaruh terhadap kesenjangan demokrasi,”katanya. (*)