oleh :
Ahamd Inung
“Everything you love will probably be lost, but in the end, love will return in another way” Segala sesuatu yang kamu cintai mungkin akan hilang. Tapi pada akhirnya, cinta akan kembali dengan cara yang lain.
***
Suatu hari di sebuah taman, seorang laki-laki yang sepanjang hidupnya tidak pernah menikah dan tidak pernah mempunyai anak, menemukan seorang gadis kecil yang menangis karena kehilangan boneka. Dia menghibur si gadis kecil itu, menuntun, dan membantunya mencari si boneka. Mereka mengelilingi taman, menyibak sekat-sekat pepohonan, dan tanaman rumpun. Tapi, sia-sia. Boneka tidak ditemukan.
Laki-laki itu berjanji akan menemani si gadis kecil esok harinya untuk meneruskan pencarian. Tapi usaha itu tetap tidak membuahkan hasil. Boneka itu raib entah ke mana.
Laki-laki itu kemudian memberi sepucuk surat kepada si gadis kecil yang raut wajahnya masih terlihat jelas kesedihan dan kekecewaan. Surat itu seakan ditulis oleh si boneka yang hilang. Isi suratnya sebagai berikut: “Jangan menangis. Aku sedang dalam perjalanan mengelilingi dunia. Aku akan mengirimimu surat untuk mengabarkan pengalaman pengembaraanku.” Di kemudian hari, laki-laki itu rutin berkirim surat ke gadis kecil itu yang membuatnya merasa sangat bahagia.
Suatu hari, ketika laki-laki itu kembali ke Berlin, dia menyerahkan sebuah boneka kepada gadis kecil itu. Seakan-akan, boneka yang hilang itu telah pulang setelah melakukan pengembaraan mengelilingi dunia. Si gadis kecil melihat boneka yang diberikan kepadanya dan berkata, “Ini tak terlihat seperti bonekaku”. Laki-laki itu kemudian memberi gadis kecil itu satu surat lagi yang “ditulis” si boneka. Isinya, “Perjalananku telah mengubahku”.
Si gadis kecil itu kemudian memeluk boneka itu, dan membawanya pulang dengan hati yang dipenuhi kebahagiaan. Sepanjang jalan si gadis kecil bernyanyi riang. Setahun setelah si boneka “pulang”, laki-laki itu meninggal dunia.
Bertahun-tahun kemudian, gadis kecil itu telah menjadi perempuan dewasa. Yang mengagetkannya adalah ada sebuah surat lain di dalam boneka pemberian laki-laki itu. Di surat itu tertulis kalimat indah yang saya tuliskan ulang di awal tulisan ini.
***
Siapakah laki-laki dengan hati selembut itu? Siapakah laki-laki dengan hati yang dipenuhi cinta itu sehingga terhadap seorang anak kecil yang bersedih karena kehilangan boneka pun membuatnya sedemikian rupa menghiburnya?
Laki-laki itu bernama Franz Kafka (1883-1924), sastrawan Austria yang karya-karyanya sangat berpengaruh di dunia sastra pada abad ke-20.
Novel-novel Kafka penuh dengan perenungan filosofis yang mendalam tentang keberadaan manusia sehingga ia dianggap sebagai salah seorang tokoh filsafat eksistensialisme.
Kafka memandang bahwa keberadaan manusia tidak memiliki makna dalam dirinya sendiri. Begitu pun kehidupan, ia tidak memiliki tujuan yang inheren dalam dirinya. Manusialah yang yang menciptakan makna atas keberadaan dirinya dan hidupnya. Manusia terus-menerus mencari makna hidupnya, dan dengannya ia terus-menerus menciptakan makna.
Absurd? Mungkin. Tapi bagaimana bisa manusia se-absurd itu memiliki kelembutan hati seperti sutera? Jawabannya adalah karena cinta itu ada di dalam hati. Hati yang dipenuhi cinta akan memancarkan kasih sayang kepada siapa saja di sekelilingnya. Cinta tidak memandang apapun aliran filsafat yang dianut seseorang.
Pun, cinta tidak memandang agama seseorang. Tidak sedikit orang yang berpendidikan tinggi tapi tidak memiliki cinta di hatinya. Bahkan, sejumlah tokoh agama yang ke sana ke mari mendakwahkan agama dan memproklamirkan dirinya sebagai pembela Tuhan, sambil terus-menerus menebar kebencian dari mulutnya.
Ketika hati seseorang dipenuhi cinta, dia akan memperlakukan orang lain dengan kelembutan dan kasih sayang. Orang-orang di sekitarnya akan bahagia karena energi cinta yang terus memancar dari orang yang hatinya dipenuhi cinta.
Mari kita kembali ke kisah Kafka dan si gadis kecil yang kehilangan bonekanya. Bagi mereka yang tidak memahami cinta dan kasih sayang mungkin akan mencibir bahwa perilaku Kafka sebagai kekanak-kanakan. Mungkin, mereka juga menuduh Kafka telah “didikte” seorang anak kecil hingga seorang sastrawan besar seperti dirinya bisa berubah menjadi sebuah boneka.
Tapi manusia seperti Kafka tahu, bahwa si anak kecil dengan dunia kanak-kanaknya akan bahagia jika berkomunikasi dengan bonekanya. Apa urusannya anak kecil dengan novel-novel eksistensialis Kafka. Apakah dengan menulis surat kepada seorang gadis kecil dengan mengatasnamakan boneka membuat Kafka menjadi bodoh dan gila? Hanya hati yang kehilangan empati yang mungkin akan menuduh Kafka sebagai manusia gila yang menurunkan derajatnya dari seorang sastrawan-filosof besar menjadi kanak-kanak kecil yang suka bermain boneka.
Begitu pun halnya tentang salam lintas-agama. Salam adalah sebuah doa keselamatan kepada orang lain. Hanya hati yang dipenuhi cinta yang bisa memberi doa baik kepada orang lain. Penyamun di jalanan tidak akan memberi salam kepada korban yang akan dirampoknya. Juga, hanya hati yang dipenuhi empati yang bisa memahami bahwa orang lebih bahagia dan keberadaannya terasa diakui dan dihargai jiika dia disapa dengan bahasanya sendiri.
Apakah orang yang memberi salam kepada orang lain dengan salam yang dimiliki penerima salam berarti si pemberi salam telah mencapur-adukkan agamanya? Sama seperti Kafka yang menulis surat kepada seorang gadis kecil, Kafka tak pernah berubah menjadi boneka. Salam lintas-agama adalah cara memberi sapaan perdamaian kepada orang lain dengan hati yang dipenuhi ketulusan, kasih sayang, dan empati.
Tapi, bahkan hal seremeh ini pun sulit untuk dipahami oleh mereka yang hatinya tidak ada cinta. Itulah mengapa Sayyidina Ali ibn Abi Thalib karrama Allah wajhah menyatakan:
تحويل جبل إلى تراب أسهل من خلق الحب في قلب مليء بالبغضاء
“Mengubah gunung menjadi batu itu lebih mudah daripada menumbuhkan cinta di hati yang dipenuhi kebencian.” (*)
Sumber : arina.id