JAMBI – Kelenteng Hok Tek, situs bersejarah yang terletak di Jalan MH Thamrin, Pasar Kota Jambi, menjadi perhatian setelah direnovasi yang diduga merusak keaslian bangunan cagar budaya tersebut. Aktivis dan pemerhati sosial, Robert Samosir, melaporkan secara resmi kasus itu ke Polda Jambi.
Robert menuntut tindakan hukum terhadap pihak yang terlibat. Dalam laporannya, Robert menjelaskan renovasi yang dilakukan pada Kelenteng Hok Tek dianggap melanggar beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
“Perubahan yang dilakukan termasuk penghilangan ornamen berbentuk lukisan timbul pada dinding, perubahan tulisan aksara Tionghoa pada jendela bagian luar, serta perubahan warna pada beberapa tiang tembo,”jelas Robert.
Menurut Robert Samosir, tindakan ini telah menghilangkan nilai historis dan estetika dari bangunan cagar budaya tersebut.
Dalam laporannya, Robert Samosir menyebutkan bahwa tindakan yang dilakukan terhadap Kelenteng Hok Tek telah melanggar Pasal 66 dan Pasal 67 UU Cagar Budaya.
Pasal 66 ayat (1) melarang setiap orang merusak, menghilangkan, mengubah, memindahkan, atau melakukan tindakan lain yang mengakibatkan nilai cagar budaya berkurang atau hilang.
“Pelanggaran ini dapat dikenai sanksi pidana sesuai Pasal 106, dengan ancaman penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 10 tahun serta denda paling sedikit Rp500 juta dan paling banyak Rp1 miliar,”ujar Robert.
Robert Samosir menyerukan kepada aparat penegak hukum untuk segera bertindak. Dia menuduh seorang pengusaha berinisial A sebagai aktor di balik renovasi yang merusak ini.
“Ada aktor intelektualnya. Kita tahu ini. Kami minta aparat penegak hukum bertindak,” tegas Robert.
Robert juga mengancam akan mengambil langkah hukum jika pihak berwenang tidak segera bertindak. Dia menegaskan pentingnya penegakan hukum untuk memastikan bahwa setiap pelanggaran terhadap undang-undang cagar budaya ditangani dengan tegas.
Laporan resmi telah diajukan kepada Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Jambi. Dalam suratnya, Robert menyebutkan bahwa Kelenteng Hok Tek yang dibangun pada tahun 1805 telah ditetapkan sebagai cagar budaya dan setiap kerusakan terhadapnya merupakan tindakan pidana.
Dia juga melampirkan bukti berupa dokumen dan foto-foto yang menunjukkan kerusakan pada bangunan tersebut.
Robert berharap pihak kepolisian dapat melakukan proses hukum terhadap pelaku pengrusakan cagar budaya Hok Tek sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.(*)
ANALISIS
Analisis Hukum terhadap Renovasi Kelenteng Hok Tek sebagai Cagar Budaya
Konteks Hukum:
Kelenteng Hok Tek di Jambi adalah cagar budaya yang dilindungi oleh Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Peraturan ini dirancang untuk melindungi, memelihara, dan memanfaatkan cagar budaya di Indonesia untuk kemakmuran masyarakat.
Isu Hukum:
Penghilangan Ornamen Berbentuk Lukisan Timbul dan Perubahan pada Tulisan Aksara Tionghoa:
Pasal 66 UU Cagar Budaya: Pasal ini melarang tindakan yang dapat merusak, menghilangkan, mengubah, memindahkan, atau melakukan tindakan lain yang mengakibatkan nilai cagar budaya berkurang atau hilang.
Pasal 64: Pasal ini menjelaskan bahwa setiap pemugaran, pemeliharaan, dan pembangunan kembali cagar budaya harus dilakukan sesuai dengan prinsip konservasi yang tidak mengubah keasliannya.
Perubahan Warna pada Beberapa Tiang Tembok:
Pasal 67: Menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan pembangunan atau perubahan pada cagar budaya tanpa izin dari yang berwenang, melakukan perubahan bentuk atau suasana yang dapat mempengaruhi keaslian cagar budaya, atau merusak cagar budaya, dapat dijerat dengan sanksi pidana.
Analisis Kasus:
Dalam konteks renovasi Kelenteng Hok Tek, perubahan yang dilakukan berpotensi melanggar Pasal 66 karena menghilangkan ornamen asli dan mengubah inskripsi aksara yang merupakan bagian integral dari nilai sejarah dan budaya bangunan tersebut. Selain itu, perubahan warna tiang tembok dapat dianggap sebagai perubahan yang mengalterasi suasana dan keaslian cagar budaya yang melanggar Pasal 67.
Sanksi Hukum:
Berdasarkan Pasal 106, pelaku yang terbukti melanggar ketentuan dalam UU Cagar Budaya dapat dihukum dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 10 tahun serta denda paling sedikit Rp500 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Implikasi Hukum:
Penyelenggara renovasi Kelenteng Hok Tek, termasuk pengusaha yang bertanggung jawab dan pengawas bangunan, bisa dikenakan sanksi hukum jika terbukti dengan sengaja mengubah cagar budaya tanpa mematuhi prosedur yang ditentukan oleh UU Cagar Budaya. Kewajiban untuk mendapatkan izin yang jelas dari instansi berwenang serta melaksanakan renovasi sesuai dengan pedoman konservasi sangat diutamakan untuk memastikan bahwa setiap perubahan tidak mengganggu, merusak, atau menghilangkan nilai sejarah dan budaya dari cagar budaya.
Dalam kasus ini, tindakan hukum yang tegas tidak hanya bertujuan untuk memulihkan Kelenteng Hok Tek tetapi juga untuk memberikan efek jera kepada pelaku lain dan memastikan pelestarian cagar budaya di Indonesia.(*)