Jafar Ahmad: Sepanjang Kesejahteraan dan Keadilan Rakyat Terpenuhi
DINASTI Politik acapkali dipandang negatif. Dianggap membunuh demokrasi. Karena hilangnya pewarisan kekuasaan. Faktanya tidak selalu begitu. Sistem Demokrasi justru mengakomodir dan memberi ruang sebesar-besarnya bagi kelanggengan dinasti politik. Dan itu sah-sah saja. Sepanjang dinasti politik itu bisa mewujudkan tujuan hakiki demokrasi. Kesejahteraan dan keadilan. Berikut analisis Pengamat Politik Dr Jafar Ahmad kepada Jambi Link.
BACA JUGA: Dinasti Dulu Prestasi Kemudian
Kepemimpinan daerah didominasi keluarga inti dan sanak saudara. Tak terkecuali di Jambi. Kepala daerah yang sudah menjabat dua periode, akan menyiapkan putra mahkota untuk menggantikannya.
Anak dan istri bisa menggantikan bapak, ketika jabatan telah habis. Dan tidak memungkinkan maju kembali.
Anak menantu, adik, kakak, dan keponakan bisa menjadi alternatif ketika keluarga inti tidak bisa diharapkan menggantikan. Pokoknya, kekuasaan tetap berada di seputaran keluarga.
BACA JUGA: Saat Klan Nurdin Bangkit Lagi
Contoh dinasti politik yang menjadi pemain kuat di Provinsi Jambi antaralain Zumi Zola. Publik sudah sangat tahu. Zumi Zola adalah generasi kedua dari keluarga inti Zulkifli Nurdin. Namun, dinasti politik keluarga Nurdin kini terhenti. Karena Zola terjerat kasus korupsi di KPK.
Ada Sukandar di Tebo. Mewarisi politik kekerabatan kepada Istrinya Saniatul Latifa (Anggota DPR RI) dan iparnya Agus Rubiyanto (Ketua DPRD Tebo).
BACA JUGA: KPK, Kejar Daku Dinasti Ditangkap
Mantan Gubernur Jambi Hasan Basri Agus (HBA) punya anak angkat Al Haris (Bupati Merangin dua Periode).
Kemudian Plt Gubernur Jambi Fachrori Umar mewarisi politik kekerabatan kepada Istrinya Rohimah (Anggota DPRd Provinsi Jambi) dan anak kandungnya (Mantan Ketua DPRD Bungo dan Caleg DPD RI).
Abdul Fattah Mantan Bupati Batanghari punya anaknya yang sempat diorbitkan menjadi Ketua DPD PAN Batanghari, Hafiz. Daryati Uteng dengan anaknya yang seorang dokter dan caleg DPD (Dicky). Lalu ada Irsal Yunus mewarisi politiknya ke Ihsan Yunus.
Beberapa nama lain seperti Zainal Abidin mewarisi ke anaknya Suprayogi (anggota DPRD Kota Jambi) dan istrinya Caleg DPRD Provinsi Jambi. Lalu ada Hasip Kalamudin Syam dengan anaknya Camelia. Mantan Bupati Muaro Jambi Burhanuddin Mahir alias Cik Bur punya adeknya Salma Mahir.
Dr Jafar Ahmad berpendapat, tujuan hakiki demokrasi ada dua. Antaralain kesejahteraan dan keadilan. Sepanjang bisa mengakomodir tujuan hakiki demokrasi itu. Maka apapun latarbelakangnya tak menjadi persoalan. Entah itu dia berasal dari dinasti politik atau bukan.
Dari manapun asalnya menjadi tidak penting lagi.
“Mau dari politik dinastikah, mau dari umumkah, Tidak jadi masalah. Asal tujuan Demokrasi itu bisa mereka penuhi,”tegasnya.
Menurut Dr Jafar Ahmad, Sistem Demokrasi awalnya memang diciptakan untuk menghindari politik yang dikuasai sekelompok orang. Secara terus-menerus. Seperti halnya Monarki. Dimana kekuasaan dikendalikan oleh sekelompok orang atau keluarga tertentu.
Demokrasi justru menyediakan sebuah ruang. Menurutnya, Demokrasi mengakomodir terjadinya pewarisan kekuasaan. Tentunya kekuasaan diwariskan secara demokratis.
Sebagai contoh demokrasi electoral yang bebas seperti di Indonesia. Demokrasi electoral, kata Dr Jafar, cenderung banyak dimenangi oleh orang yang memiliki sumber daya besar. Sumber daya itu mampu dikumpulkan oleh para penguasa. Dengan berbagai cara.
Secara substansi, kata Doktor Ilmu Politik jebolan UI itu, Politik Dinasti secara tidak langsung diakomodir oleh demokrasi. Bila praktek demokrasi yang dimaksud berjalan seperti di Indonesia. Maka sudah menjadi fenomena umum di Indonesia maupun di Dunia. Bahwa kekuasaan itu diwariskan dengan cara demokratis pula.
“Ada semacam sifat dasar manusia, yaitu ingin berkuasa. Mewariskan kekuasaan. Misalnya ayah mewariskan kekuasaan kepada anaknya. Dan ini berlaku disemua lini. Di Politik, ekonomi dan sebagainya. Ayah yang direktur ingin agar anaknya mewarisi jabatan direktur. Begitulah sifat dasar manusia,”jelasnya.
Oleh karena itu, Dinasti Politik bukanlah sesuatu yang tabu. Bukan sesuatu yang terlarang. Sebab, demokrasi mengakomodir secara penuh dinasti politik itu.
Yang mana proses peralihan kekuasaan itu berlangsung secara demokratis. Ayah yang Gubernur mewarisi anaknya menjadi Gubernur. Ayah yang Bupati mewarisi anaknya Bupati. Dinasti politik itu sah-sah saja. Karena memang diakomodir oleh Demokrasi. Mereka terpilih secara demokratis. Bukan paksaan.
Meskipun awalnya demokrasi cenderung ingin menghapus politik dinasti. Tapi, lanjut Dr Jafar, justru demokrasi memberi ruang secara tidak langsung terhadap pewarisan kekuasaan secara demokratis. Melalui politik electoral itu.
Meskipun di beberapa tempat tidak terjadi seperti itu.
“Misalnya di beberapa tempat demokrasi tidak melahirkan dinasti politik. Ada Risma, Anis Baswedan, Ridwan Kamil,”katanya.
Dr Jafar menegaskan, sepanjang sistem politik masih seperti ini. Maka yang digariskan adalah bahwa para pewaris tahta kekuasaan itu haruslah pewaris yang memiliki kemampuan. Memiliki kapasitas. Agar para pewaris itu bisa mengakomdir tujuan hakiki dari demokrasi itu.
Menurutnya, orang-orang yang bisa memenuhi tujuan hakiki demokrasi itu. Adalah mereka yang memahami iktikad kehidupan masyarakat. Bagaimana dia memahami kemiskinan yang terjadi di masyarakat. Bagaimana memahami kesusahan hidup yang dialami masyarakat.
Sehingga dengan kekuasaan itu dia bisa mewujudkan prinsip hakiki demokrasi. Kesejahteraan dan keadilan itu.
Ada kekhawatiran dinasti politik rentan terjadinya korupsi. Beberapa kasus korupsi yang mengemuka terkait dengan dinasti politik, misalnya dugaan suap yang melibatkan bapak dan anak, yakni Asrun sebagai calon gubernur Sulawesi Tenggara dan putranya, Adriatma Dwi Putra selaku wali kota Kendari.
Setelah sang ayah menyelesaikan tugasnya sebagai wali kota dan kembali maju sebagai calon gubernur, sang anak mengisi jabatan yang ditinggalkan ayahnya.
Di Provinsi Banten, kasus Ratu Atut Chosiyah yang melibatkan adiknya, menunjukkan betapa kentalnya kekuasaan dinasti politik di Banten.
Ada pula dinasti Kutai Kartanegara. Beberapa waktu lalu, Bupati Kutai, Rita Widyasari, tersandung kasus korupsi mengikuti jejak sang ayah, mantan Bupati Kutai Kertanegara – Syaukani Hassan Rais yang terlebih dulu tersandung kasus serupa.
Di Cimahi, Jawa Barat, Wali kota Cimahi (2012-2017) Atty Suharty bersama suaminya menjadi tersangka kasus penerimaan suap proyek pasar Cimahi. Sang suami, Itoc Tochija, merupakan wali kota Cimahi selama dua periode. Di Jambi, Zumi Zola yang mewarisi kekuasaan ayahnya Zulkifli Nurdin terlibat kasus Gratifikasi dan Suap Ketok Palu.
Pendapat berbeda justru disampaikan Dr Jafar Ahmad. Menurutnya, korupsi tidak ada kaitannya dengan dinasti politik. Ia menilai korupsi berkait kelindan dengan faktor kesempatan.
Faktor kesempatan yang dimaksud adalah kesempatan untuk menggunakan anggaran.
Artinya, entah mau dari latarbelakang manapun. Siapapun dia. Ketika memiliki kesempatan menggunakan anggaran. Maka potensi korupsi tetap akan ada. Tanpa harus memandang latarbelakang politik dinasti.
“Toh banyak juga kasus korupsi yang melibatkan orang-orang yang bukan dari kalangan dinasti politik. Orang umum saat dia berkuasa, karena punya kesempatan dan kewenangan menggunakan anggaran. Maka tercipta peluang terjadinya praktek korupsi,”ujarnya.
Ia kembali menegaskan, dinasti politik tidak salah. Dan dibenarkan dalam iklim demokrasi. Hanya saja, yang perlu menjadi catatan penting adalah memastikan bahwa tujuan hakiki demokrasi benar-benar bisa terwujud. Itu saja.
“Jika Dinasti politik bisa mewujudkan kesejahteraan dan keadilan, kenapa tidak?,”kata Jafar. (*)