Oleh Jon Very Sihaloho
Partai-partai politik modern yang berkembang pada abad ke-20 umumnya didirikan berdasarkan aspirasi dan orientasi ideologi yang lahir dan berkembang pada abad ke-19.
Ketika Abad Ideologi itu —berdasarkan kajian ilmiah— dianggap telah berakhir (the end of ideology) pada pertengahan abad ke-20, maka partai-partai politik yang semula berbasis dan memperjuangkan ideologi tertentu telah berubah menjadi partai yang didasarkan atas kepentingan (interest-based) dan kepemimpinan politik. Demikian pula partai-partai politik baru pasca-ideologi, mereka didirikan atas dasar kepentingan dan kepemimpinan.
Dewasa ini hampir semua partai politik adalah partai yang tidak punya orientasi ideologi, karena sekadar bersandar pada kepentingan dan kepemimpinan seseorang atau kelompok. Partai kemudian menjadi tak ada bedanya dengan perseroan terbatas yang didirikan oleh sejumlah pemilik modal yang misi utamanya adalah melakukan transaksi politik, meskipun transaksi-transaksi itu kemudian selalu mengatasnamakan kepentingan rakyat, misalnya kesejahteraan rakyat, demokrasi atau supremasi hukum. Bagi ku Partai ini tidak akan membawa perubahan kecuali berputar2 pada tataran retorika semata oleh karena kekosongan Ideologi.
Perkembangan itu sangat mempengaruhi perilaku politik dan corak kepemimpinannya, yaitu dari yang tadinya bercorak pada gagasan dan moral menjadi perilaku yang pragmatis, bahkan oportunis. Berdasarkan kepentingan itu, maka kepemimpinan politik berubah dari pola transforming ke transaksional. Melalui proses transaksional itu lahirlah kartel politik atau oligarki partai-partai politik yang sekadar sibuk melakukan pembagian atau distribusi kekuasaan. Demi Rakyat.. mereka itu brengsek.
Keadaan yang demikian itu menanpar idealisme mudaku, untuk ikut berjuang bersama partai politik yang berorientasi dan berdasar kepada ideologi progresive dengan tujuan untuk melakukan transformasi sosial-ekonomi. Dari kondisi saat ini yang menampilkan persoalan kemiskinan, ketidak-adilan dan ketergantungan suatu bangsa yang melahirkan dominasi negara-negara adidaya atas negara-negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia.
Gagasan PSI menjadi partai terbuka, progresive anti korupsi dan anti intoleransi menjadi dasar partai dipicu oleh upaya anti tesa bercokolnya paham neoliberalisme yang merupakan revitalisasi terhadap ideologi kapitalisme global yang justru di aminkan oleh partai partai kita.
Di Indonesia Progresivisme diterjemahkan dalam konsep Ekonomi Kerakyatan, yang dalam proses diskursif, gagasan, aspirasi, orientasi dan visi PSI itu telah mengalami proses pelembagaan, sehingga menjadi bagian dari sistem politik dan ekonomi nasional dan juga internasional. Semoga saja.
Gagasan Partai ini telah mengalami transmutasi dan metamorfosis dalam interaksinya dengan ideologi-ideologi lainnya, sebagaimana ideologi-ideologi lainnya, berinteraksi dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Akibatnya, dalam gagasan besar PSI timbul pemikiran-pemikiran dan gagasan-gagasan baru yang lebih lanjut melahirkan usulan bentuk kebijaksanaan publik di satu pihak dan gerakan-gerakan sosial di lain pihak. Di samping itu, telah timbul gagasan-gagasan baru dan praktek sosialisme baru mengenai sistem ekonomi dan politik masa depan.
Namun demikian, dengan meningkatnya perlawanan terhadap kecenderungan neoliberalisme, gagasan untuk menggabungkan neo-sosialisme yang dewasa ini telah berkembang dengan memperjuangkan kebangkitan kembali partai berideologi progresive harus dicapai melalui dua agenda gerakan civil society. Pertama, diseminasi visi, misi, strategi dan Kedua, membangun basis massa intelektual. Dan menjalankan program pengkaderan yang menjadi sumber kepemimpinan yang kuat.
Hal tersebut baru akan tercapai ketika ada consensus yang mengkristal di kalangan intelektual organic. Di pikiran para anak- anak muda. Silahkan wahai para anak muda menjadi bagian dari gerakan tersebut. (***)
Penulis adalah kader Partai Solidaritas Indonesia