JAKARTA – Dibuka menguat, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah nyaris sepanjang hari. Berbagai sentimen negatif baik dari dalam dan luar negeri menjadi beban bagi langkah rupiah.
Pada Senin (14/1/2019), rupiah mengakhiri perdagangan pasar spot dengan pelemahan 0,57 persen dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu. Dolar AS dibanderol Rp 14.120. Ini menjadi kali pertama rupiah menyentuh level Rp 14.100/US$ sejak 9 Januari.
Rupiah sebenarnya mengawali hari dengan baik, menguat 0,07 persen. Namun penguatan itu fana belaka, karena rupiah langsung terjerembab di zona merah tidak sampai 1 jam setelah pembukaan pasar spot.
Seiring perjalanan pasar, rupiah terus melemah. Bahkan posisi terlemah rupiah hari ini sempat menyentuh Rp 14.140/US$. Data Ekonomi China dan Brexit Lukai Rupiah
Sepertinya faktor eksternal lebih dominan dalam menyebabkan pelemahan rupiah hari ini. Terlihat dari mayoritas mata uang Asia yang melemah di hadapan dolar AS.
Ada beberapa hal yang membuat rupiah cs di Asia merana. Pertama adalah rilis data perdagangan internasional China.
Biro Statistik Nasional Negeri Tirai Bambu mencatat ekspor pada Desember 2018 terkontraksi alias minus 4,4 persen secara tahunan (year-on-year/YoY). Jauh memburuk dibandingkan bulan sebelumnya yang masih tumbuh 5,4 persen.
Impor juga mengalami kontraksi yang lebih dalam yaitu minus 7,6 persen. Jauh dibandingkan pencapaian bulan sebelumnya yaitu tumbuh 3 persen.
Hasilnya adalah neraca perdagangan China mencatat surplus US$ 351,76 miliar. Meski masih surplus, tetapi menjadi yang terendah sejak 2013.
Data tersebut semakin memberi konfirmasi bahwa perekonomian China sedang melambat. Bank Dunia memperkirakan ekonomi China pada 2018 tumbuh 6,6 persen. Untuk tahun ini, pertumbuhan ekonomi China diproyeksi melambat menjadi 6,2 persen.
China adalah perekonomian terbesar kedua dunia dan nomor 1 di Asia. Perlambatan ekonomi China akan mempengaruhi negara-negara tetangganya, termasuk Indonesia.
Kedua, pelaku pasar juga cenderung memilih bermain aman jelang voting proposal Brexit di parlemen Inggris pada 15 Januari waktu setempat. Di tengah upaya Perdana Menteri Theresa May meraih simpati parlemen, posisinya juga digoyang oleh Partai Buruh.
Jeremy Corbyn, Pemimpin Partai Buruh, menegaskan bahwa pihaknya akan mendorong pelaksanaan pemilu yang dipercepat yaitu pada Februari atau Maret. Sedianya pemilu di Negeri Ratu Elizabeth baru dilakukan pada 2022.
Jika kemudian dalam Pemilu tersebut Partai Buruh menjadi pemenang, maka Corbyn mengusulkan negosiasi ulang dengan Brussel. Dia menilai masih ada waktu sebelum Inggris resmi berpisah dengan Uni Eropa pada 29 Maret mendatang.
Ketidakpastian politik di Inggris ini membuat pasar memilih bermain aman. Pelaku pasar lebih menyukai instrumen aman (safe haven) seperti yen Jepang.
Faktor Domestik Ikut-ikutan Bebani Rupiah
Sementara dari dalam negeri, faktor pertama yang berperan menyeret rupiah ke zona merah adalah penguatannya yang sudah terlampau tajam. Dalam sebulan terakhir, rupiah sudah menguat 3,15 persen.
Ini membuat rupiah rentan terserang koreksi teknikal. Penguatan rupiah yang sedemikian tajam membuat investor merasa tergoda untuk mencairkan laba. Aksi jual membayangi rupiah, sehingga rentan mengalami depresiasi.
Kedua, investor juga kemungkinan mengantisipasi data perdagangan internasional Indonesia periode Desember 2018 yang akan dirilis besok. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor tumbuh 1,81 persen YoY. Kemudian impor tumbuh lebih cepat yaitu 6,345 persen YoY, dan neraca perdagangan defisit US$ 968 juta.
Jika neraca perdagangan Desember kembali defisit, maka akan mencatat hattrick karena neraca ini juga tekor pada Oktober dan November. Artinya sepanjang kuartal IV-2018, neraca perdagangan akan selalu negatif.
Apabila neraca perdagangan kembali negatif pada Desember, maka hampir bisa dipastikan transaksi berjalan (current account) akan negatif cukup dalam pada kuartal IV-2018. Ini tentu menjadi kabar buruk buat rupiah, karena fundamental penyokong mata uang ini menjadi rapuh. Minimnya pasokan devisa berjangka panjang dari ekspor-impor barang dan jasa membuat mata uang ini rentan ‘digoyang’. (*)