Jakarta – Penolakan Partai Gelora terhadap keikutsertaan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam Kabinet yang akan dibentuk oleh Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, bukan hanya karena PKS tidak mendukung pasangan tersebut di Pilpres 2024. Alasan yang lebih mendalam ternyata berkaitan dengan konflik internal yang pernah terjadi di PKS, yang berujung pada pemisahan sejumlah petingginya yang kemudian mendirikan Partai Gelora.
Direktur Eksekutif Trias Politika, Agung Baskoro, mengungkapkan bahwa friksi antara PKS dan Partai Gelora berakar dari masa lalu ketika kedua partai ini masih satu rahim, yang kental dengan nuansa Islam perkotaan. “Karena baik PKS dan Gelora lahir dari rahim yang sama, yakni massa Islam Perkotaan,” kata Agung. Menurutnya, perpecahan itu membawa cerita yang tidak kunjung tuntas hingga sekarang, bahkan mempengaruhi dinamika politik setelah Pilpres 2024.
Partai Gelora, yang sering kali dianggap sebagai ‘Faksi Kesejahteraan’ dalam tubuh PKS sebelumnya, tampaknya masih membawa luka dari perpecahan tersebut. “Cerita masa lalu yang tak tuntas itu, terbawa sampai sekarang bahkan ketika Pilpres 2024 selesai,” ungkap Agung lebih lanjut.
Sementara itu, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, menegaskan bahwa Prabowo Subianto tetap terbuka bagi PKS untuk bergabung dalam koalisi pemerintahannya. “Sampai sekarang pun tentunya pintu selalu terbuka. Karena Pak Prabowo sekali lagi selalu kedepankan persatuan Indonesia, terutama dari kalangan elitnya,” tutur Saras.
Kendati demikian, keputusan akhir bergabung atau tidaknya PKS dalam koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran masih berada di tangan para pimpinan partai politik. Saras menyatakan bahwa pihaknya masih sangat terbuka untuk mengajak pihak manapun yang ingin bergabung.
Dinamika politik pasca-Pilpres 2024 masih sangat dinamis dan organik, sehingga Saras menambahkan bahwa segala kemungkinan masih dapat terjadi hingga Prabowo resmi dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia.(*)