Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah (PWPM) turut menolak langkah Presiden yang hendak mengesahkan RUU Omnibus Law. Dinilai mengabaikan hak-hak kaum pekerja karena melenyapkan upah minum dan pesangon. Omnibus Law dinilai meremukkan demokrasi.
——————
Dzulqarnain, PW Pemuda Muhammadiyah Provinsi Jambi Bidang Buruh, Tani dan Nelayan mencatat sedikitnya ada sejumlah alasan kenapa Omnibus Law wajib ditolak. Menurutnya, Omnibus Law berpotensi melanggar prinsip demokrasi.
“Karena cenderung memperkuat kewenangan Presiden hingga ke tingkat yang luar biasa besar,”ujarnya.
Bahkan, lanjut Dzulqarnain, kekuasaan Presiden pada Pasal 170, naudzubillah, akan menjadi bersifat tunggal dan absolut–tanpa perlu melibatkan parlemen lagi–. Padahal, merujuk Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945, bahwa undang-undang kudu diracik secara bersama dengan DPR, bukan Pemerintah seorang.
“Artinya, menurut konstitusi, DPR adalah pemegang kekuasaan pembentuk perundang-undangan,”katanya.
Omnibus Law yang niat awalnya dirancang untuk memecahkan masalah kebuntuan ekonomi, pengangguran, dan investasi. Tapi, draf isi Omnibus Law justru bersifat kontraproduktif. Bahkan, maaf, cenderung destruktif bagi perekonomian.
Begini.
Satu sisi, Omnibus Law hendak menciptakan lapangan kerja. Sisi lain, draft Omnibus Law justru malah melemahkan dan cenderung mengabaikan hak-hak kaum pekerja. Dari sisi perburuhan misalnya, Omnibus Law Cipta Kerja akan menghilangkan upah minimum dan menghilangkan pesangon.
“Omnibus Law akan menjebak kaum buruh dalam status outsourcing seumur hidup,”tegasnya.
Celakanya, Omnibus Law juga akan melegalkan masuknya tenaga kerja asing tak terdidik ke Indonesia. RUU ini, justru malah menghilangkan jaminan sosial kaum buruh, serta memudahkan terjadinya PHK (Putus Hubungan Kerja). Hak-hak pekerja, yang saat ini masih dilindungi undang-undang, seperti Cuti Haid, Cuti Nikah, Cuti Melahirkan, atau Cuti Hari Keagamaan, dalam Omnibus Law juga tak lagi dicantumkan.
“Melalui RUU ini pemerintah di atas kertas telah mengabaikan perlindungan terhadap rakyatnya sendiri. Padahal, tujuan didirikan negara ini untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia, bukan?,”katanya.
Persoalan berikut yang disorot PW Pemuda Muhammadiyah Jambi adalah ihwal investasi. Faktanya, masalah yang hendak diatur Omnibus Law bukanlah problem utama– yang selama ini menjadi penghambat investasi–.
Coba tengok data World Economic Forum (WEF), yang merilis sedikitnya 16 faktor penghambat investasi di Indonesia. Dari 16 faktor tersebut, korupsi adalah faktor utama. Korupsi, termasuk di dalamnya suap, gratifikasi, favoritisme, serta uang pelicin. Dari kajian WEF itu, korupsi di Indonesia telah mengakibatkan persaingan tak sehat, distribusi ekonomi yang tak merata, serta ketidakpastian hukum.
Secara berturut-turut, 16 faktor penghambat investasi di Indonesia adalah (1) korupsi, (2) inefesiensi birokrasi, (3) akses ke pembiayaan, (4) infrastruktur tidak memadai, (5) kebijakan tidak stabil, (6) instabilitas pemerintah, (7) tarif pajak, (8) etos kerja buruh, (9) regulasi pajak, (10) inflasi, (11) pendidikan tenaga kerja rendah, (12) kejahatan dan pencurian, (13) peraturan tenaga kerja, (14) kebijakan kurs asing, (15) kapasitas investasi minim, dan (16) kesehatan masyarakat buruk.
“Pertanyaannya kemudian, kenapa yang diacak-acak oleh Omnibus Law untuk mendatangkan investasi ini justru regulasi ketenagakerjaan? Lebih jauh lagi, benarkah Omnibus Law ini disusun untuk kepentingan mendatangkan investasi, ataukah sekadar memfasilitasi kepentingan pengusaha yang saat ini menjadi kroni Pemerintah?”ujar Dzulqarnain terheran-heran.
“Atas sejumlah catatan itu, kami PW Pemuda Muhammadiyah Provinsi Jambi dengan tegas menolak disahkannya Omnibus Law,”katanya.(*)