JAKARTA – Pertemuan antara Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Selasa (24/7/2018) malam, menjadi momen penting dalam menyambut Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 mendatang. Penting karena hingga kini Demokrat belum menentukan arah koalisi untuk pesta demokrasi tahun depan.
Pengamat komunikasi politik Universitas Bunda Mulia Silvanus Alvin menyebut sosok SBY sebagai the silent and the wise general. Maksudnya, ketika SBY sudah melakukan gerakan politik, artinya dia sudah mempertimbangkan baik dan buruknya.
“Bahkan, sudah memprediksi hasil seperti apa yang akan dicapai,” kata Alvin, Rabu (25/7/2018).
Pada Pilpres 2014 lalu contohnya. Alvin menilai SBY dan Demokrat seakan berada di posisi netral dengan tidak mendukung Joko Widodo ataupun Prabowo sebagai calon RI 1.
Hal itu berbeda dengan sikap SBY pada malam kemarin yang secara terang-benderang menyebut bahwa jalan koalisi antara Demokrat dan Gerindra terbuka lebar.
“Saya harus mengatakan jalan membangun koalisi terbuka lebar, apalagi setelah kami berdua sepakat atas apa yang menjadi persoalan bangsa lima tahun ke depan,” kata SBY malam itu.
Dalam penggunaan kalimat ‘jalan membangun koalisi yang terbuka lebar’ oleh SBY dalam mengungkap peluang koalisi itu, Alvin menilai ada sebuah kesepahaman antara dua pihak untuk bersama-sama dalam proses pilpres mendatang.
Namun, belum ada kata final dari SBY. Sebab seringkali ia menggunakan kata-kata bersayap seperti ‘kemungkinan’, ‘ada peluang’, dan sebagainya.
“Hal ini bisa saja dialamatkan pada kubu Prabowo dan Gerindra untuk memberi penawaran-penawaran politik pada kubu SBY,” kata Alvin.
Misalnya, menawarkan posisi cawapres bagi Ketua Kogasma Demokrat sekaligus putra sulung SBY, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Alvin juga memperhatikan pernyataan SBY yang menyinggung terpuruknya kondisi ekonomi negara dan kesejahteraan rakyat saat ini yang mendorongnya ingin membentuk koalisi oposisi. Dalam kaca matanya, Alvin menilai pernyataan itu sebagai hal yang wajar.
“Saya memandang justru akan aneh bila ada tokoh politik yang memuji keberhasilan lawan politiknya. Tujuan akhirnya mengganti kepemimpinan dengan proses demokrasi yang jujur, adil, dan bersih,” kata Alvin.
Alvin menyebut seorang elite politik tentu bakal terus berusaha menggulingkan petahana atau incumbent dengan cara memperlihatkan sisi negatifnya. Namun, kadangkala hal itu juga dimanfaatkan sebagai permainan framing, yakni bagaimana membingkai suatu sudut agar lebih terlihat dan jadi sorotan utama.
“Yang dicoba oleh SBY adalah menyorot perekonomian Indonesia saat ini di mana nilai tukar rupiah melemah atas US Dollar. Jadi ini permainan kampanye negatif juga,” kata Alvin.
Kampanye negatif bukan berarti kampanye hitam. Kampanye hitam merupakan tuduhan tidak berdasarkan fakta dan merupakan fitnah. Sementara kampanye negatif adalah pengungkapan fakta kekurangan mengenai suatu calon atau partai.
Mengingat batas pendaftaran capres dan cawapres (4-10 Agustus 2018) semakin dekat, Alvin meyakini komunikasi politik SBY akan lebih intensif tiap harinya, terutama dengan Prabowo. SBY juga pasti akan mengkalkulasi keuntungan-keuntungan politik apa yang bisa didapat jika merapat ke koalisi Jokowi atau kubu Prabowo.
Alvin menilai, Demokrat akan lebih untung jika berkoalisi dengan Gerindra, bersama Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN).
“Karena dari koalisi tersebut, tampaknya sudah mulai ada kesepahaman untuk mendukung AHY sebagai pasangan Prabowo,” kata Alvin.
Peluang AHY
Selain verbal, Alvin juga menyoroti bentuk komunikasi non verbal dari konferensi pers di kediaman SBY kemarin malam, di mana posisi AHY ada di tengah, bagian belakang. Sementara SBY dan Prabowo berdiri di depannya. Alvin memandang posisi itu sebagai semiotika politik.
“Posisi tengah itu, posisi yang mendapat sorotan banyak. Memang AHY berdiri di bagian belakang, tapi itu seakan menandakan pada waktunya nanti ia akan maju dan tampil ke publik,” kata Alvin.
Sementara itu, pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Wawan Masudi memandang peluang AHY sebagai cawapres Prabowo masih 50-50 dan ditentukan oleh tiga faktor.
Pertama, seberapa rela calon koalisi Gerindra, PKS, dan PAN bisa menerima negosiasi itu. Seandainya mereka sepakat AHY jadi cawapres, pembagian kekuasaan atau sharing of poweryang diminta PKS dan PAN bisa jadi lebih besar.
Artinya, kedua partai tersebut menghendaki pembagian kekuasaan yang lebih besar dalam kursi eksekutif.
Kedua, peluang AHY sangat ditentukan oleh jumlah pembiayaan kampanye yang nanti akan bisa dinegosiasi. Pasalnya, Wawan menyebut negosiasi koalisi bukan hanya sekedar program-program normatif yang disampaikan dalam konferensi pers. Namun, negosiasi koalisi juga terkait strategi kemenangan yang berhubungan dengan pembiayaan kampanye politik.
“Jika Partai Demokrat itu bisa menawarkan pembiayaan untuk kampanye, bisa jadi itu peluang AHY akan sangat besar. Diambil atau tidaknya AHY akan sangat ditentukan dari seberapa besar kontribusi Demokrat dalam proses dan strategi kemenangan,” kata Wawan.
“Itu yang tidak pernah diungkap ke publik,” ujarnya melanjutkan.
Ketiga, penetapan AHY sebagai cawapres juga harus dilihat dari target pemilih. Jika ingin membidik kelompok pemilih muda dan pemula, maka AHY tepat ditempatkan sebagai cawapres. Lantaran citra diri AHY bukanlah terkait kesuksesan militer atau pemerintahan, tetapi sebagai representasi generasi milenial.
“Tetapi kalau voters yang ingin dibidik adalah kelompok Islam, saya rasa AHY bukan pilihan yang tepat,” ujar Wawan. (*)
Sumber: CNN Indonesia