DALAM dunia politik di kenal istilah Incumbent yang merupakan seorang pemegang suatu jabatan politik yang sedang menjabat, istilah ini biasanya digunakan dalam kaitannya dengan pemilihan umum sepeti pemilihan kepala daerah yang baru-baru ini kita laksanakan maupun pemilihan presiden mendatang di mana sering terjadi persaingan antara kandidat petahana dan non petahana.
Sebagai contoh pada pergelaran Pilpres 2019 mendatang, Joko Widodo https://id.wikipedia.org/wiki/Susilo_Bambang_Yudhoyono merupakan seorang petahana (Incumbent), karena ialah Presiden yang sedang menjabat pada saat pemilihan Presiden untuk pelaksanaan pemilihan presiden berikutnya di tahun 2019. Presiden petahana Joko widodo sendiri merupakan presiden yang masih menjabat sebagai orang nomor 1 di negara ini, dan masih menjalankan program-program ungulannya dalam membangun Indonesia.
Dalam persaingan kursi terbuka istilah “petahana” terkadang di gunakan untuk merujuk kepada kandidat dari partai yang masih memegang suatu jabatan kekuasaan politik. Pemilihan Presiden tahun 2019 mendatang akan mengusung calon Persiden dan Wakil Presiden dengan strategi untuk kemenagannya masing-masing, salah satunya Presiden Incumbent Joko Widodo dengan pasanganya KH.Ma’ruf Amin (Rais Aam Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) yang merupakan salah satu ulama besar di bumi Nusantara ikut serta bertarung unjuk kebolehan di pergelaran Pilpres 2019 tahun depan.
Hal tersebut tentunya akan sanggat memperkuat koalisinya yang dikenal dengan sebutan Koalisi Indonesia Kerja (KIK), dengan di usung oleh partai-partai besar seperti dalam kontestasi Pilpres 2019 mendatang, pasangan presiden incumbent Joko widodo dan KH.Ma’ruf Amin telah didukung oleh sembilan partai politik yaitu PDI Perjuangan (PDI-P), Partai Golongan Karya (GOLKAR), Partai Nasional Demokrat (NASDEM), Partai Kebagkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Persatuan Indonesia (PERINDO), serta Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA).
Selain partai-partai besar yang membuat kokoh pertahanan di pihak koalisi Presiden Incumbent tersebut juga di dukung oleh seorang wakil yang juga memiliki power, elektabilitas serta popularitas yang mumpuni yang mana beliau merupakan Rais Aam Syuriyah dari salah satu organisasi terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan saat ini masih menjabat sebagai ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI), organisasi tersebut mempunyai banyak pengikut “warga” yang tidak menutup kemugkinan akan mendonasikan dukungannya agar kemenagan atas pencalonan Kiyai dari Nahdlatul Ulama tersebut dapat tercapai.
NU sendiri mempunyai warga yang sanggat banyak baik dari tigkatan nsaional, wilayah, cabang bahkan ranting sekaligpunu, tentunya dengan power sebesar itu akan sanggat memperkuat pasangan presiden incumbent Joko Widodo dan KH.Ma’ruf Amin dalam memenagkan pertarungannya di ajang pemilihan presiden 2019 mendatang, serta menjalankan visi dan misinya untuk membangun bumi Nusantara jika terpilih.
Dewasa ini mencuat suatu pertanyaan yang mengatakan mampukah calon Presiden non incumbent Prabowo Subianto, yang di usung oleh Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan partai lainnya untuk melawan seorang Presiden Incumbent, pastinya untuk menjawab pertanyaan tersebut mari bersama-sama kita saksikan saat pergelaran Pilpres tahun 2019 mendatang untuk mengetahui siapakahkah yang akan menjabat sebagai the new president of Indonesia selanjutnya untuk masa jabatan tahun 2019-2024.
Baik koalisi dari Presiden Incumbent Joko Widodo maupun non Incumbent Prabowo Subianto, tentu keduanya telah menyiapkan strategi untuk meraih kemenagan mereka masing-masing dengan semaksimal mugkin agar dapat menduduki tahta kepemimpinan Negara Republik Indonesia nantinya, yang mana Indonesia sendiri menganut sistem pemerintahan berbentuk semi presidensial, artinya baik calon presiden incumbent maupun non incumbent jika terpilih nantinya akan memegang tampuk kepemimpinan sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala atas pemerintahan di Negara Kesatuan Republik Indonesia. (***)
Penulis adalah mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jambi