JAKARTA – Ketegangan geopolitik yang meningkat antara Israel dan Iran telah berdampak signifikan terhadap pasar keuangan global, termasuk Indonesia. Investor asing tercatat melakukan penjualan bersih (net sell) yang massif di Bursa Efek Indonesia (BEI), mencerminkan ketidakpastian yang tinggi di kalangan investor global.
Berdasarkan data RTI Business, pada Kamis (18/4), investor asing mencatatkan net sell saham sebesar Rp 724 miliar di seluruh pasar BEI. Tren penjualan bersih ini telah berlangsung sejak perdagangan dibuka kembali pasca libur Lebaran pada Selasa (16/4), dengan total aliran dana asing yang berkurang menjadi Rp 13,68 triliun.
Situasi serupa juga terjadi di pasar Surat Berharga Negara (SBN), di mana kepemilikan asing tercatat hanya sekitar Rp 804,55 triliun per 17 April 2024, turun dari Rp 842,55 triliun di awal tahun, menandakan adanya dana keluar sebesar Rp 38,27 triliun sejak awal tahun.
Pasar saham dan nilai tukar rupiah sama-sama terpukul. Pada Jumat (19/4) pukul 13:52 WIB, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 1,45% ke 7.063,1. Sementara itu, rupiah berada di level Rp 16.277 per dolar AS, menurut data Bloomberg, mempertahankan posisi lemahnya.
Fikri C. Permana, Senior Economist KB Valbury Sekuritas, menilai bahwa hengkangnya dana asing kemungkinan besar menuju pasar Amerika Serikat, yang terlihat dari tren penguatan dolar AS dan naiknya yield US Treasury. “Dampak dari situasi pasar terkini tentang prospek suku bunga tinggi dan perang antara Israel-Iran baru akan terasa pasca pasar kembali aktif dari libur Lebaran,” kata Fikri.
Fikri juga memprediksi bahwa dalam jangka pendek, rupiah masih akan berada dalam rentang Rp 15.800-Rp 16.400 per dolar AS. Namun, hasil data neraca perdagangan yang akan dirilis awal pekan depan bisa berpengaruh besar. “Apabila neraca perdagangan surplus masih di atas US$ 3 miliar, kemungkinan positif untuk rupiah. Apabila nilai surplus lebih rendah atau bahkan defisit, bakal ada tekanan lanjutan bagi rupiah ke 16.500,” imbuhnya.
Menghadapi kondisi ini, Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mungkin perlu meningkatkan intervensi mereka tidak hanya lewat open market operation, tetapi juga bisa menawarkan berbagai instrumen surat utang global dalam bentuk dolar AS atau mata uang lain untuk menarik minat investasi asing.
Dalam skenario terburuk, jika perang geopolitik berlanjut dan tidak ada pemangkasan suku bunga oleh The Fed, rupiah bisa terperosok ke kisaran Rp 16.200-Rp 16.700 per dolar AS di semester I-2024, dan bahkan mungkin mencapai Rp 16.400-Rp 17.000 di akhir tahun.(*)