Aktor Utama Suap Ketok Palu
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI kembali menetapkan Gubernur Provinsi Jambi Nonaktif Zumi Zola Zulkifli sebagai tersangka. Kali ini, peran Zola sehingga ditetapkan menjadi tersangka adalah sebagai aktor pemberi suap dalam kasus suap ketok palu APBD 2018. Sebelumnya, KPK menetapkan Zola sebagai tersangka gratifikasi dari proyek APBD atau menerima uang dari pengusaha. Dengan demikian, Zola sudah menyandang status dua tersangka sekaligus.
BACA JUGA: Gratifikasi Zola Rp 49 M

—————————
Ara Permana Putra
KOTA JAMBI
——————————
Penetapan status tersangka untuk yang kedua kalinya terhadap Zumi Zola ini, diumumkan langsung Wakil Ketua KPK RI Basaria Pandjaitan di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (10/7/2018), kemarin petang.
“KPK meningkatkan kembali satu perkara ke penyidikan dengan tersangka ZZ (Zumi Zola),” kata Basaria.
BACA JUGA: KPK Kembali Tetapkan Zumi Zola Sebagai Tersangka
Basaria menjelaskan, KPK sudah mengantongi cukup bukti sehingga menaikkan status Zola sebagai tersangka pemberi suap. Salah satunya adalah keterangan dari para saksi yang sudah diperiksa, utamanya para pimpinan dewan. Selama dua hari, pimpinan Dewan dan sejumlah Ketua Fraksi di periksa secara marathon oleh KPK di Markas Polda Jambi. pemeriksaan sudah berlangsung sejak Senin dan berlanjut hingga selasa. Pada selasa petang, Zola lantas diumumkan status tersangkanya.
BACA JUGA: BREAKING NEWS! KPK Kembali Periksa Zumi Zola sebagai Tersangka
Menurut Basaria,penetapan tersangka Zumi Zola merupakan pengembangan dari kasus yang menjerat Supriyono, Ketua Fraksi PAN DPRD Provinsi Jambi, Plt Sekda Erwan Malik, Plt Kadis PU Arfan dan Asisten III Setda Provinsi Jambi, Saifuddin. Keempatnya telah divonis, tetapi 3 diantarnya mengajukan banding. Sementara, Supriyono memilih legowo menerima putusan vonis penjara 6 tahun dan dicabut hak politiknya.
BACA JUGA: Resmi Ajukan JC, Siapa Nama Besar yang Akan Diungkap Zumi Zola?
Dari pengembangan kasus tersebut, KPK menemukan bukti kuat keterlibatan Zola sebagai actor utama yang berperan memberikan arahan maupun memerintahkan anak buahnya untuk memberi suap kepada DPRD. Meskipun, dalam prakteknya arahan itu di distribusikan kepada orang kepercayaannya, yakni Asrul Pandapotan Sihotang.
BACA JUGA: KPK Dalami Peran Keluarga Zumi Zola Soal Gratifikasi
Versi KPK, Asrul mendapat distribusi kekuasaan dari Zola untuk mengarahkan dan memutuskan soal suap ketok palu APBD tersebut. Lewat Asrul pula, Zola memberi petunjuk agar para anak buahnya berkomunikasi dengan Asiang, salah seorang pengusaha kakap untuk dimintai fee proyek. Dan kemudian fee proyek inilah yang kemudian dipakai untuk menyuap kalangan dewan. Sebagiannya pula, uang itu dimafaatkan untuk Zumi Zola dan anak buahnya.
“(Berdasarkan) fakta-fakta persidangan dan didukung dengan alat bukti berupa keterangan saksi, surat, dan barang elektronik,” kata Basaria.
Selain itu, Zola juga berperan aktif melalui Asrul dan Erwan Malik yang memerintahkan Plt Kadis PUPR Jambi Arfan dan Asisten 3 Setda Jambi Saifuddin untuk mencari uang sebagai kompensasi bagi pengesahan APBD 2018. Uang itu dikumpulkan dari pengusaha dan dari OPD.
BACA JUGA: Kasus Zumi Zola Berawal dari Pilgub 2015
Cara Arfan dan Saifuddin dalam mengumpukan uang adalah sebagai berikut. Arfan bertugas memungut uang dari pengusaha, terutama Asiang. Sebagai Plt Kadis PU, Arfan dengab mudah mengumpulkan uang dari para kontraktor, terutama Asiang. Para pengusaha akan dijanjikan mendapatkan proyek dari APBD 2018 jika bersedia memberikan uang muka alias ijon atau fee proyek. Dalam kasus suap ketok Palu APBD 2018 ini, Asiang diketahui sudah mengucurkan uang Rp 5 M untuk dewan, kemudian Rp 6 M untuk Zumi Zola.
BACA JUGA: Kasus Gratifikasi Proyek, KPK Panggil Zumi Laza Adik Zumi Zola
Untuk diketahui, Arfan datang langsung menemui Asiang di kediamannya kawasan Thehok. Kepada Asiang, Arfan mengaku sudah mendapat restu dari Gubernur untuk memungut uang fee proyek. Asiang wajib mengeluarkan uang jika hendak mendapatkan proyek APBD 2018.
BACA JUGA: Nasib PAN 1 Pasca Zola
Dalam hal ini, Asiang dijanjikan bakal mengerjakan proyek pada tahun 2018 sekitar Rp 200 M. Salah satu proyek paling besar adalah pembangunan Jalan Layang (Fly Over) kawasan simpang mayang, Kota Jambi. Yang mana proyek ini direncanakan bakal dibangun dengan menggunakan anggaran sekitar Rp 142 M.
BACA JUGA; KPK: Kemungkinan Semua Dewan Terima
Untuk memastikan hal tersebut, Asiang kemudian berkomunikasi dengan dengan Zola lewat perantara Asrul. Asiang dan Asrul membicarakan soal uang fee proyek ini disebuah pesawat dalam perjalanan dari Jambi menuju Jakarta. Keduanya sengaja memesan tiket dan duduk bersebelahan sembari membincangkan soal fee proyek tersebut.
Setelah mendapat kepastian dari Asrul, Asiang kemudian mengucurkan uang tersebut lewat perantara adik iparnya, Ahui.
Cara kerja Saifuddin adalah sebagai berikut. Setelah mendapat distribusi kepercayaan, secara gerilya Saifuddin menemui dan berkomunikasi dengan semua kepala dinas (OPD).Sementara, Saifuddin, Asisten III Setda Provinsi Jambi mendapat tugas mengumpulkan uang dari OPD. Versi KPK, pengumpulan uang dari OPD ini atas sepengetahuan dan persetujuan Zola. Sedangkan uang tersebut direncanakan untuk diberikan kepada anggota DPRD.
Saifuddin menyampaikan kepada kepala dinas agar membantu mengumpulkan uang (patungan) sebagai biaya ketok palu APBD 2018. Toh, APBD yang akan diketok oleh dewan juga merupakan anggaran yang akan diterima oleh masing-masing OPD.
Secara keseluruhan ada 43 OPD yang ia data untuk dimintai uang. “Ada yang kebetulan ketemu saya catat, ada juga yang Kepala OPD datang ke ruangan saya,” kata Saipudin saat sidang di Pengadilan Tipikor Jambi.
“Mereka (Kepala OPD) ada yang mencatat sendiri, ada juga saya yang mencatat langsung,” katanya lagi.
Saifuddin tidak bekerja sendiri. Dia kemudian melibatkan istrinya, Nurhayati dalam persekongkolan jahat ini. Nurhayati yang juga merupakan anggota DPRD Provinsi Jambi itu, diperintah oleh Saifuddin untuk mengambil uang dari Kepala OPD.
Nurhayati mengakui sendiri dalam sidang tipikor saat dimintai keterangan sebagai saksi oleh hakim. Nurhayati berhasilmengumpulkan sejumlah uang dari Dinas Kesehatan Provinsi Jambi sebesar Rp22 Juta. Selanjutnya dari Kepala Dinas Pariwisata sendiri berjumlah Rp45 Juta, yang diberikan dua kali.
“Pertama yang saya tahu Rp 30 Juta, terus Rp 15 Juta,” kata Nurhayati dalam persidangan.
Tak hanya Dinkes dan Disbudpar, Nurhayati juga mengatakan Dinas Peternakan Provinsi Jambi juga memberikan uang sebesar Rp10 Juta.
Saipudin mengatakan dari puluhan daftar OPD itu, hanya empat OPD yang menyetor dengan nominal yang terkumpul Rp 77 juta.
“Waktu saya melapor ke Pak Sekda (Erwan) jika sulit mengumpulkan uang dari OPD, Pak Sekda langsung memerintahkan untuk dihentikan dan uang dikembalikan ke OPD. Namun sebelum uang sempat dikembalikan sudah keburu OTT,” kata Saipudin.
Dalam catatan daftar OPD milik Saipudin yang diperlihatkan Jaksa KPK, terlihat nama-nama OPD tertulis dalam bentuk tulisan yang berbeda, di catatan itu tertera ada nama OPD yang dilengkapi dengan paraf dan angka, ada juga tanpa paraf dan angka dan ada yang tertera paraf saja.
Basaria menjelaskan, dari fakta-fakta persidangan dan keterangan yang diperoleh dari saksi lainnya, KPK akhirnya mengantingi bukti kuat bahwa pengumpulan uang yang dilakukan oleh Arfan dan Saifuddin adalah atas sepengatahuan Zola dan atas persetujuan Zola. Atas dasar itulah, KPK kemudian menetapkan kembali Zola sebagai tersangka pemberi suap.
“Dari dana terkumpul tersebut Arfan melalui orang kepercayaannya telah memberikan kepada sejumlah anggota DPRD sekitar Rp 3,4 miliar. Selama proses berjalan, KPK menerima pengembalian uang dari pihak yang telah menerima yaitu uang yang dialokasikan untuk 7 anggota DPRD sejumlah total Rp 700 juta. Uang tersebut menjadi alat bukti dan dititipkan dalam rekening penampungan KPK,”jelas Basaria.
Sedangkan sebelumnya, Zumi sudah menyandang status sebagai tersangka serta telah ditahan KPK. Saat itu, Zumi dijerat KPK dengan Pasal 12B atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001, jo Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP.
Dia diduga menerima gratifikasi sebesar Rp 6 miliar terkait proyek-proyek di Jambi bersama-sama dengan Plt Kadis PUPR Provinsi Jambi nonaktif Arfan.
Atas perbuatannya, Zumi Zola disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat (1) huruf b atau pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. (awn)