Jalan Muradi, Desa Koto Keras, Pesisir Bukit, Kota Sungaipenuh, Senin siang. Matahari tinggi, menembus atap-atap kantor dan rumah warga.
Pada pukul 15.30 WIB, suasana hening di jalan ini tiba-tiba menjadi panggung drama kehidupan nyata.
Dua pria dikeluarkan dari sebuah kantor partai politik. Mereka ditangkap dan diborgol oleh Satuan Reserse Narkoba Polres Kerinci.

Tontonan ini segera menjadi trending topic, melibatkan rasa penasaran warga dan pengendara yang melintas.
“Awalnya kita mendapat informasi dari masyarakat bahwa di Jalan Muradi ini sering terjadi transaksi narkoba,” ungkap IPDA Dafa Noya STrK, kanit II Satresnarkoba Polres Kerinci, saat diwawancarai di Mapolres Kerinci.
Hasil dari penyelidikan itu lebih dari cukup untuk mengejutkan: 15 paket kecil sabu dan uang tunai sebesar Rp 625 ribu berhasil diamankan.
Tapi..
Apa yang membuat penangkapan ini lebih dari sekadar babak baru dalam perang melawan narkoba adalah lokasinya.
Tempat penangkapan bukanlah sebuah rumah biasa. Tapi kantor salah satu partai politik.
Bahkan, alat isap sabu-sabu juga ditemukan di dalam gedung tersebut. Ini bukan hanya soal pelanggaran hukum, tapi juga integritas sebuah institusi yang seharusnya berperan dalam pembuatan kebijakan publik.
Dari kedua pelaku yang ditangkap, satu di antaranya, dengan inisial M dari Koto Keras, adalah seorang residivis yang baru saja bebas dari tahanan tiga bulan lalu.
Pelaku lainnya, juga dengan inisial M, adalah warga Kelurahan Dusun Baru.
Kedua pria ini sekarang menghadapi tuduhan berdasarkan Pasal 114 dan 112 Undang-Undang Narkotika, dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara.
Skandal ini, yang melibatkan unsur politik dan hukum, membuahkan banyak pertanyaan.
Jika para pelaku bisa beroperasi dengan bebas di sebuah kantor partai politik, sejauh mana kita bisa mempercayai integritas institusi-institusi ini?
Sungaipenuh, sebuah kota yang selalu tenang, kini dihadapkan pada sebuah dilema moral dan etik yang bisa mengguncang pondasi demokrasinya.(*)
Dewi Wilonna