Judul film ini The Post. Nilai kebebasan, kemandirian dan pergulatan keyakinan itu hidup melalui kisah perjalanan sebuah media : The Washington Post, yang saat itu sedang di ujung senja, karena dihajar krisis.
Dipimpin oleh seorang perempuan bernama Katherine ‘Kay’ Graham. Wanita yang kehadiranya sedikit diremehkan oleh sekelilingnya. Ia memimpin perusahaan pers yang harus mempertimbangkan aspek idealis dan bisnis.
Di adegan awal Kay dilatih untuk pidato dengan ditemani oleh penasehatnya.
Kala itu Amerika dipimpin oleh Presiden Nixon. Sosok yang kerap diejek di film ini sebagai: keras, intoleran dan arogan. Pada suasana semacam itu terbitlah dokumen ‘Pentagon Papers’ yang memuat keterlibatan Amerika dalam perang Vietnam.
Dokumen ini membeberkan fakta kalau Amerika sebenarnya sudah tahu akan prospek kekalahanya. Tapi informasi ini sengaja ditutup dan bocor ketika sejumlah orang merasa perlu untuk menyiarkanya.
Mula-mula The New York Times yang mempublikasikan. Spontan reaksi keras muncul dari dalam Gedung Putih. The New York Times jadi tersangka pembocor dokumen. Tak mau tertinggal The Washington Post ingin mendapatkan bahan yang sama.
Perburuan dimulai dan drama itu bergulir dari awal kisah kontroversial itu. Bradlee, pemimpin redaksi yang idealis, emosional dan keras dan punya minat yang tinggi pada berita apa saja. Baginya tak ada kata menyerah,takluk dan kalah dalam memburu berita. Ia juga tak mau dicampuri urusan redaksinya oleh siapapun. Termasuk pemiliknya Kay.
Bradlee memimpin dengan gaya otoriter sekaligus disiplin. Para jurnalisnya dituntut segera ke lapangan, melacak dokumen asli Pentagon Papers. Kay perempuan pemilik perusahaan yang ingin mengantarkan usaha dalam kebesaran bisnis dan Bradlee pemimpin redaksi yang meyakini kebebasan pers.
Bradlee yang nekat, meyakini kebebasan pers musti beradu argumen dengan dewan direksi media. Dewan yang selalu punya pertimbangan laba dan mempertahankan keyakinan bahwa media adalah usaha bisnis. Di sana ada pertimbangan resiko dan untung. Suara idealisme musti sejajar dengan keinginan para investor.
Film ini memperlihatkan pada kita para pejuang kebenaran yang rapuh tapi tetap teguh walau kekuasaan yang dihadapi teramat besar. Singkatnya film ini menyuruh kita meyakini kalau kebenaran itu pantas untuk diraih. Meski untuk mencapai itu semua kita harus luka, berdebat dan mungkin tak lagi bisa bersama.
Sesungguhnya film ini mau memuja kemandirian media, yang bukan melayani penguasa, melainkan menjadi suara utuh dari rakyat pembaca. Media memang bukan rombongan nabi yang dapat mukjizat, tapi media bisa jadi suluh yang menggerakkan kebenaran dengan menyingkap segala bentuk kebohongan.
The Post membuat anda kian percaya kuatnya tulisan, tangguhnya investigasi dan bulatnya keyakinan tentang yang ideal. Jika anda seorang jurnalis sudah berulang kali nonton Avengers tanpa menyaksikan The Post, anda seperti naik motor tanpa memegang stang dan rem. Anda tak bergerak kemana-mana!
Klik link youtube di atas….