Oleh: Billy Mainaldi
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) telah resmi dikeluarkan dari program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2020 setelah diadakan rapat kerja DPR RI pada 2 Juli 2020 lalu. Sebelumnya RUU PKS sudah masuk dalam Prolegnas Prioritas tahun 2016 silam. Terhitung sudah 4 tahun berjalan dan telah mengalami pergantian periode anggota DPR RI RUU PKS masih nihil hasil. Komnas Perempuan yang sejak 2012 menginisiasi RUU PKS menyangkan pencabutan RUU PKS dari Prolegnas tahun 2020.
Menurut data dari Komnas Perempuan terdapat 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam kurun waktu 2019 saja. Selama ini tidak ada satu kebijakan pun yang menyediakan regulasi yang melindungi dan memulihkan korban kekerasan seksual. Hadirnya RUU PKS bukan semata-mata berorientasi pada kaum perempuan, namun hanya saja mayoritas korban dari kekerasan seksual adalah perempuan, dan tidak menutup kemungkinan juga pria yang menjadi korban kekerasan seksual. Sejatinya dalam RUU PKS sendiri tidak membeda-bedakan antara perempuan dan pria, yang ditekankan dalam RUU PKS adalah korban dan pelaku tanpa memandang gender.
RUU PKS bertujuan untuk: mencegah segala bentuk kekerasan seksual; menangani, melindungi, dan memulihkan korban; menindak pelaku; dan mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual. Di kalangan masyarakat kasus kekerasan seksual masih dianggap aib, sehingga seringkali pelaku kekerasan seksual bebas begitu saja karena korban tidak berani untuk melaporkan. Sering juga dijumpai pelaporan oleh korban tidak ditindak lebih lanjut oleh pihak yang berwenang. Bahkan sekarang korban-korban kekerasan seksual lebih memilih untuk menggunakan sanksi sosial ketimbang sanksi hukum karena belum jelasnya regulasi terhadap kasus kekerasan sosial. Harapannya RUU PKS dapat menjadi angin segar bagi para korban dan pihak-pihak yang kerap kali hak-haknya tidak terlindungi dan dijamin dalam hukum.
Yang menjadi orientasi dalam RUU PKS ialah setiap tindakan yang dilakukan dengan pemaksaan dan kekerasan yang mengakibatkan penderitaan dan kesengsaraan bagi korbannya, baik secara fisik, psikis, maupun seksual dan menimbulkan kerugian. Dalam draf RUU PKS terdapat 9 jenis kekerasan seksual meliputi: pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Semua jenis kekerasan seksual ini merupakan tindak pidana yang diatur dalam RUU PKS terhadap pelaku kekerasan seksual.
Selain memberikan sanksi terhadap pelaku, RUU PKS tidak lupa dengan hak-hak yang menjadi milik korban. Korban kekerasan seksual mendapatkan hak atas penanganan, hak atas perlindungan, dan hak atas pemulihan. Hak atas pemulihan menjadi hak yang sangat dibutuhkan oleh para korban dengan tidak mengenyampingkan hak-hak lain yang juga dibutuhkan. Korban kekerasan seksual sangatlah rentan kondisi psikisnya, trauma atas kekerasan seksual bisa menjadi trauma berkepanjangan. Maka dari itu, RUU PKS menjamin pelayanan penguatan rohani, spiritual, dan psikologis untuk pemulihan korban, dimana korban harus dilindungi bukan dijadikan kambing hitam atas kekerasan seksual yang dialami dirinya.
RUU PKS dikeluarkan dari Prolegnas prioritas menurut Badan Legislasi (Baleg) DPR karena mereka harus mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terlebih dahulu. Hal ini lantaran beberapa pasal pemidanaan yang ada didalam RUU PKS belum terakomodir pada KUHP yang lama. Namun, menurut lain pihak alasan tersebut tidaklah dapat dijadikan alasan yang mutlak. Karena tidak ada ketentuan yang mengatur bahwa suatu RUU baru boleh disahkan setelah RUU yang lain disahkan. Lagipula, pasal pemidanaan yang ada dalam RUU PKS juga tetap dapat dilaksanakan tanpa menunggu adanya RKUHP.
RUU PKS sering dianggap produk hukum yang liberal dan tidak sesuai dengan agama. Mereka yang kontra terhadap RUU PKS beranggapan bahwa RUU PKS nantinya akan melegalkan hubungan seksual diluar nikah, hubungan sesama jenis, dan juga aborsi. RUU PKS sejatinya bukanlah untuk mengakomodir perilaku yang seperti demikian, melainkan untuk menjamin dan melindungi hak korban akibat perilaku seperti itu. Hubungan seksual diluar nikah atau zina telah lebih dahulu diatur didalam KUHP, hal yang sama juga berlaku terhadap aborsi.
RUU PKS diharapkan menjadi payung hukum dalam kekerasan seksual dan untuk mencegah semakin banyaknya korban kekerasan seksual serta mecegah korban kekerasan seksual menjadi pelaku kekersan seksual dikemudian hari. Sangat disayangkan RUU PKS tersingkirkan dalam prolegnas prioritas tahun 2020, hal ini berarti kita masih membutuhkan waktu yang cukup lama menanti hingga ada payung hukum yang mengatur dan melindungi hak-hak dari korban kekerasan seksual.
*)penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jambi