JAKARTA – Nilai tukar rupiah ditutup pada posisi Rp14.159 per dolar Amerika Serikat (AS) pada akhir perdagangan pasar spot hari ini. Posisi tersebut melemah 73 poin atau 0,52 persen dari posisi akhir perdagangan pekan lalu, Jumat (22/6), sebesar Rp14.159 per dolar AS.
Sementara, kurs referensi Bank Indonesia (Jakarta Interbank Spot Dollar/Jisdor) hari ini berada di posisi Rp14.105 per dolar AS.
Kendati begitu, rupiah tak terperosok sendirian. Sebab, mayoritas mata uang di kawasan Asia juga melemah. Mulai dari won Korea Selatan melemah 0,85 persen, renmimbi China minus 0,55 persen, dan rupee India minus 0,44 persen.

Lalu, ringgit Malaysia minus 0,37 persen, peso Filipina minus 0,31 persen, dolar Singapura minus 0,31 persen, baht Thailand minus 0,09 persen. Hanya yen Jepang yang berhasil menguat 0,48 persen.
Begitu pula dengan mayoritas mata uang negara maju. Dolar Australia melemah 0,23 persen, poundsterling Inggris minus 0,2 persen, dolar Kanada menguat minus 0,1 persen, dan euro Eropa minus 0,4 persen. Namun, franc Swiss berhasil menguat 0,08 persen dan rubel Rusia 0,16 persen.
Analis sekaligus Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan tekanan dolar AS pada rupiah dan mata uang lain hari ini disebabkan oleh kuatnya perlawanan AS terhadap negara-negara yang dimusuhinya melalui kebijakan perang dagang.
“Meski negara-negara itu melawan, tapi ternyata proyeksi Bank Dunia dan IMF justru mengatakan bahwa perang dagang ini akan menimbulkan krisis perdagangan baru di dunia. Itu memberi kekhawatiran, tapi berhasil membuat dolar AS menguat,” katanya.
Pasalnya, meski negara musuh AS melawan, nyatanya seruan perang dagang dari Presiden AS Donald Trump sukses membuat mereka panik. Hal ini ditandai dengan pemasangan tarif balasan. Yang terbaru, bank sentral China akan menggelontorkan pinjaman kepada pengusaha untuk mengantisipasi dampak perang dagang ke pertumbuhan bisnis mereka.
Sementara dari dalam negeri, rilis neraca perdagangan yang mencatat defisit US$1,52 miliar rupanya tak mampu mengangkat keyakinan pelaku pasar. Meski, defisit tersebut terbilang lebih rendah dari ekspektasi, namun impor yang tinggi tetap membuat perdagangan defisit.
Kendati begitu, menurutnya, rupiah masih punya sentimen lain di tingkat internal yang bisa menguatkan rupiah, yaitu pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pemilu) Serentak pada Rabu besok (27/6) dan Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada Jumat (28/6).
“Kalau Pilkada Serentak berlangsung aman dan tenang, tentu bisa menguatkan rupiah. Begitu pula dengan rencana kenaikan bunga acuan BI,” pungkasnya. (*)