PARTISIPASI dan Keterwakilan perempuan di dunia politik menjadi salah satu bentuk kesetaraan jender dalam kerangka representasi politik secara umum. Kehadiran perempuan di politik diharapkan dapat membuat isu-isu sosial, terutama yang berkaitan dengan perempuan/Keadilan gender dan anak, dapat makin menjadi prioritas. Partisipasi perempuan dalam bidang politik tercermin dari keterwakilan dan peran perempuan di Institusi politik/publik seperti Legislatif (DPRD/DPR/DPD), Eksekutif (Kepala Pemerintahan Nasional/Daerah) yang ada saat ini justru menunjukkan bahwa situasinya harus ditingkatkan, baik secara kualitas dan kuantitas.
Secara Kuantitas Hasil Pemilu tahun 2014 mencatat hanya sekitar 17,32 persen perempuan di parlemen, sedikit menurun dari Pemilu lima tahun sebelumnya yang sebesar 17,49 persen. Demikian pula dengan jumlah anggota DPD perempuan yang menurun dari dari 26,52 persen pada tahun 2009 menjadi 25,76 persen pada tahun 2014. Menurut catatan Perludem, Dalam kerangka kontestasi politik daerah dapat dilihat Keterwakilan perempuan hanya 7,47% dalam pilkada 2015, 7,17% di Pilkada 2017, dan sedikit meningkat 8,85% dalam Pilkada 2018.
Berdasarkan hasil pemilu tahun 2014 (data KPU), Untuk di Provinsi Jambi, terdapat 7 (13%) orang perempuan dari 55 orang jumlah anggota DPRD Prov, 46 (12%) orang perempuan dari 375 orang anggota DPRD /Kab/Kota Se-Provinsi Jambi, 2 (28%) orang perempuan dari 7 orang anggota DPR dap\il jambi, kemudian 2 (50%) orang perempuan dari 4 orang anggota DPD dapil Jambi. kemudian terdapat dua (2) orang duduk di eksekutif sebagai Bupati dan Wakil Bupati dari 11 orang Bupati/Wakil Bupati Se-Provinsi Jambi. Dari gambaran data jumlah perempuan di Legislatif tersebut, secara umum tingkat keterwakilan perempuan masuk dalam katagori RENDAH sebagaimana di-kutip dari Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak RI Nomor 10 Tahun 2015 pada Lampiran III, dengan Pengecualian Kabupaten Batanghari pada kategori SEDANG.

Kemudian pada pada Lampiran Kedua (II) nya (tabel 9, hal.32), jika dibandingkan dibandingkan dengan dua (2) pemilu sebelumnya yaitu pemilu 2004 dan 2009 maka pola pencapaian keterwakilan perempuan di DPRD se-Provinsi Jambi masuk dalam kategori tidak stabil. Sehingga variasi keterwakilan seperti ini harus menjadi perhatian serius ke-depannya, harus ada upaya intervensi khusus setidaknya untuk pencapaian di-angka 30%.
Terbukti kuota perempuan 30 persen dalam daftar caleg partai politik pada setiap daerah pemilihan belum mampu mengakselarasi keterwakilan perempuan di-lembaga legislativ se-provinsi Jambi. Padahal perbandingan jumlah penduduk antara laki dengan perempuan hampir relatif seimbang jumlahnya. Persoalan GAPs kuantitas tersebut memunculkan pertanyaan yang menarik, bagaimana jumlah perempuan dalam institusi politik/publik bisa lebih sedikit bila dibanding jumlahnya sendiri secara keseluruhan.
Rendahnya keterlibatan perempuan dalam bidang politik setidaknya disebabkan oleh Faktor Budaya dan faktor Aksessibilitas Perempuan terhadap Instrumen Politik. Secara budaya, paradigma bahwa politik adalah domainnya laki – laki sangat dipengaruhi oleh budaya Patriakhi yang masih kental di-tengah masyarakat. Sehingga patron patriakhi tersebut mengkonstruksikan perempuan “terpinggir” dari jabatan-jabatan politik. Dan hal ini diperberat lagi dengan beban ganda perempuan dalam tanggung jawab domestik rumah tangga/keluarga, yang akan mempersempit ruang gerak perempuan itu sendiri.
Secara Prosedural, diruang-ruang politik perempuan masih rendah peluangnya untuk berperan dalam pengambilan keputusan, meski jumlahnya sudah lebih banyak saat ini. Pelibatan perempuan yang didasarkan pada kualitas harus mulai dilakukan dengan serius, jika ingin tujuan peningkatakan keterwakilan dan kapasitas perempuan di pemerintahan dan ruang politik tercapai. Jumlah perempuan itu setengah penduduk Indonesia. Perempuan harus ada di posisi strategis, bukan hanya sebagai pelengkap. Karena Saat ini, perempuan dan laki-laki ada pada posisi setara dalam konstestasi politik (pemilu).
Seharusnya para stakeholder politik (partai politik) lebih mempertimbangkan aspek kapasitas dan kapabilitas perempuan di-bidang politik, jika ingin melibatkan mereka dalam pilkada atau pemilihan legislatif. Hal itu lah yang belum terwujud hingga saat ini. Akibatnya, representasi peran perempuan dalam berbagai pengambilan keputusan strategis, masih sangat minim. Khususnya kebijakan terkait masalah perempuan.
Dalam sebagian besar kasus kontestasi perempuan di-bidang politik di-daerah provinsi Jambi (Pemilu dan Pilkada), keterlibatan perempuan politik masih di-dominasi dan dalam rangka pemenuhan kepentingan Dinasti/klan politik tertentu. Pemindahan kekuasaan masih dalam satu keluarga/dinasti politik yang diakomodasi oleh sejumlah partai politik (parpol). Popularitas tentu menjadi pertimbangan parpol dalam memilih kandidat perempuan dari dinasti politik tertentu dalam kontestasi politik seperti pemilu atau pilkada.
Lambatnya pengaderan dan ambisi kemenangan menyebabkan parpol mengambil jalan pintas dengan menggandeng keluarga petahana. Misalnya, Istri atau Anak perempuan kepala daerah/Dinasti Politik tertentu menjadi salah satu pilihan parpol karena popularitasnya dan modal politik lainnya yang di-dapat sebagai anggota dinasti politik.
Melihat pengalaman pemilu 2004, 2009, dan 2014, Perempuan dalam partisipasinya memang belum berhasil mengubah, memberdayakan perempuan. Perempuan dalam partisipasinya belum menjadi fenomena yang otonom karena belum beranjak secara signifikan dari gejala marginalisasi sosial baik secara vertikal maupun horizontal.
Kebijakan akselerasi partispasi perempuan dalam bidang politik haruslah menginfiltrasi seluruh Instrumen sosial dan Instrumen politik secara sistematis dan komprehensif. Dan Pemerintah daerah dalam hal ini Pemerintah daerah Provinsi/Kab/Kota di Jambi harus menjadi aktor utama mewujudkan akselarasi tersebut melalui kebijakan dan penganggaran daerah. (***)
Penulis adalah Advokat dan Direktur Eksekutif INDEKS JAMBI