Dr Asa’ari, Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kerinci menanggapi ihwal rencana pemerintah mengurangi subsidi biaya haji tahun 2023, sehingga menyebabkan biaya perjalanan haji alias ongkos naik haji naik, dari sekitar Rp 39 juta menjadi Rp 69 juta. Rektor IAIN Kerinci mendukung rencana tersebut dengan sejumlah alasan.
Menurutnya, rencana itu bukan ujug-ujug datang. Tapi, sudah dipertimbangkan secara matang. Tujuannya untuk melindungi nilai manfaat jemaah dan calon jemaah haji di masa yang akan datang.
“Skema Biaya Perjalanan Ibadah Haji dan Nilai Manfaat berkeadlilan dan lebih proporsional. Ini hasil evaluasi menyeluruh untuk berbagai hal yang menyangkut pelaksanaan ibadah haji. Sehingga bukan rencana kebijakan yang tidak terukur. Kementerian Agama telah mempertimbangkan aspek secara matang dan sama sekali tidak ada niat membebani masyarakat,” ucapnya kepada Jambi Link, Ahad (22/1/2023).
Pada tahun sebelumnya, biaya perjalanan ibadah haji sebesar Rp 98.379.021,09 dengan komposisi yang ditanggung jemaat sebesar Rp 39.886.009,00 (40,54%) dan nilai manfaat (optimalisasi) sebesar Rp 58.493.012,09 (59,46%).
Sementara itu, pada tahun 2023 ini, biaya perjalanan ibadah haji sebesar Rp 98.893.909 dengan komposisi yang ditanggung jemaat sebesar 69.193.733 (70%) dan nilai manfaat (optimalisasi) sebesar Rp 29.700.175 (30%).
Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, secara umum besar biaya Haji 2023 dan 2022 tidak jauh berbeda yakni di kisaran Rp 98 jutaan per jemaah. Namun yang jadi pembeda adalah besaran biaya yang ditanggungkan kepada masyarakat dan nilai manfaat yang diterima.
“Jadi dana manfaat atau bahasa awamnya itu orang sering menyebut subsidi. Nah, subsidi itu yang dikurangi, tinggal 30 persen. Yang 70 persen menjadi tanggung jawab jemaah,” katanya.
Rektor IAIN Kerinci menjelaskan, sejumlah negara lain yang memfasilitasi pemberangkatan ibadah juga menaikkan biaya ibadah haji. Seperti Uzbekistan, Pakistan, Malaysia, dan Qatar.
“Faktor utama kenaikan biaya adalah inflasi ekonomi global, pajak, nilai tukar mata uang, biaya penerbangan, dan harga akomodasi (hotel) di Makkah dan Madinah,” jelasnya.
Selain itu, faktor lain kenaikan biaya ibadah haji adalah perubahan PPN di Arab Saudi dari 5 persen menjadi 15 persen. Kenaikan ini berpengaruh pada berbagai jasa layanan.
“Durasi haji negara kita 40 hari, lebih lama di banding beberapa negara lain. Ini tentu saja, berdampak pada biaya karena di negara tujuan (Arab Saudi) berbagai biaya hidup untuk selama satu bulan lebih mengalami penyesuaian yang signifikan. Selain itu, fasilitas konsumsi dan pemondokan jemaah di Mina akan mengalami peningkatan kualitas layanan yang berakibat pada naiknya biaya ibadah haji. Begitu juga, biaya pengobatan yang akan diterima gratis oleh jemaah 24 jam sehari mengalami kenaikan. Wajar kalau biaya haji di beberapa negara mengalami kenaikan,” jelasnya.
Rektor IAIN Kerinci berpandangan, negara hadir membantu dengan memberikan subsidi biaya ibadah haji. Hanya saja, dengan segala kondisi yang terjadi, harus sama-sama menanggung biaya berbagai hal terkait ibadah haji yang naik.
“Salah satu bentuk keberpihakan negara pada jemaah haji adalah alokasi anggaran dari APBN. Sampai saat ini, Pemerintah masih tetap memberikan subsidi biaya ibadah haji,” terangnya.
Situasi ekonomi global, lanjut Rektor IAIN Kerinci, memaksa Pemerintah, melalui Kementerian Agama, merencanakan perubahan besaran biaya ibadah haji. Hal ini dilakukan dalam rangka menyelamatkan jemaah haji juga.
“Memang, hal ini bukan pilihan yang popular. Namun, ini dalam rangka menyelamatkan keberlanjutan penyelenggaraan kegiatan ibadah haji di tahun-tahun yang akan datang dan menjaga kesehatan anggaran negara untuk haji. Pilihan Kementerian Agama yang berencana mengubah jumlah pembiayaan ibadah haji adalah rencana yang sudah dikaji dan didalami secara matang, bukan tanpa pertimbangan,” tutupnya.(*)