“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al Baqarah/2 : 183).
“Marhaban Ya Ramadhan, Marhaban Syahru Shiyam.”
Tidak berapa lama lagi kedua kalimat di atas akan banyak kita temukan di persimpangan jalan, masjid atau tempat-tempat strategis lainnya dalam bentuk spanduk dan baliho, media cetak, elektronik maupun internet. Spanduk yang idealnya sebagai ucapan selamat menunaikan ibadah puasa atau ajakan untuk melaksanakannya dengan mengutip ayat suci tersebut di sinyalir akan memiliki keragaman tampilan lainnya, terlebih di tahun politik menjelang pemilu 2019.

Puasa yang tidak lama lagi akan kita laksanakan sejatinya sebagai media untuk melawan hawa nafsu dan ini menjadi jihad yang sangat berat. Sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW melalui salah satu haditsnya, jihad yang sesungguhnya bagi umat Islam adalah jihad melawan hawa nafsu dalam diri sendiri. Bahkan perang besar melawan musuh dengan senjata lengkap masih di anggap sebagai jihad asghar, jihad kecil. Kenapa demikian? Karena puasa yang dilakukan merupakan upaya manusia untuk melawan hawa nafsu yang bisa menyala-nyala. Nafsu yang bisa mendorong manusia untuk lebih memiliki kecenderungan akan sesuatu selain Allah SWT. Kecenderungan yang selalu ada pada diri manusia adalah kecenderungan akan syahwat jasmaniah berupa kebutuhan seks, makan, minum, harta kekayaan bahkan syahwat untuk meraih kekuasaan atau syahwat politik. Hal ini di gambarkan oleh Allah SWT dalam firmanNya : “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia, kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas dan perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS Ali Imran: 14). Ayat ini menyiratkan bahwa syahwat merupakan bentuk keinginan manusia. Dan itu bersifat alami dan manusiawi. Ketika lapar dan haus maka syahwat manusia cenderung pada makan dan minum. Ketika melihat lawan jenis maka kecenderungannya pada kebutuhan seks.
Karena bersifat alami dan manusiawi Islam tidak meminta ummatnya untuk menghilangkan syahwat tapi mengelola dan mengendalikannya. Disinilah fungsi puasa sebagai media management (mengelola dan mengendalikan) syahwat. Jika dilihat dari sifat alaminya, kecenderungan syahwat manusia tergantung pada kondisi yang dominan dalam dirinya. Syahwat seksual, syahwat politik, syahwat kepemilikan, syahwat menguasai dan lainnya di pengaruhi kondisi yang dominan saat itu. Jika tidak di kendalikan tentu akan berdampak buruk. Mengutip apa yang di sampaikan oleh Imam Abu Abdilah al Bushiry dalam Qashidah Burdahnya, “an Nafsu ka thifli in tahmilhu syabb ‘ala hubbu radha’i wa in thuftimhu lil fathami” (Nafsu itu bagai bayi, jka kau biarkan akan terus tetap menyusu. Namun apabila kau sapih, maka akan dia tinggalkan menyusu itu).
Management Syahwat Politik
Puasa yang secara etimologi berarti menahan, menuntut kita untuk mampu menahan keinginan-keinginan dan dorongan nafsu syahwat yang di haramkan selama batas waktu yang ditentukan. Secara terminologi puasa berarti menahan diri dari segala yang membatalkan mulai dari terbit fajar sampai tenggelam matahari. Tentu kita mafhum bahwa termasuk di dalamnya menahan untuk tidak makan (lapar) dan tidak minum (haus). Penting untuk diketahui bahwa lapar itu ada dua macam yakni lapar biologis dan lapar psikologis. Lapar biologis mudah di sembuhkan hanya dengan makan dan minum. Sedangkan lapar psikologis tak gampang disembuhkan, seperti lapar kekuasaan dan kehormatan.
Ibadah puasa juga merupakan latihan kesabaran. Kesabaran merupakan salah satu indikator dari masyarakat yang beradab. Karena ketidaksabaran akan merusak tatanan dan keteraturan sosial yang harusnya terbangun. Bulan Ramadhan yang berada di tahun politik di mana akan dilaksanakan pilkada serentak di 171 daerah pada 27 Juni 2018 sekaligus juga beririsan dengan tahapan pemilu serentak 17 April 2019 sangat menggoda kesabaran syahwat politik. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa syahwat manusia tergantung pada kondisi yang dominan dalam dirinya. Bagi mereka yang memiliki syahwat politik, tentunya Ramadhan ini adalah momentum untuk menyalurkan keinginannya mencapai kepentingan politiknya.
Menjelang pemilu serentak dan pilkada serentak di bulan Ramadhan, ada beberapa kemungkinan momentum yang digunakan oleh para politisi akibat dari lapar psikologis. Pertama, yang sangat memungkinkan terjadi adalah pemanfaatan media spanduk atau baliho maupun melalui media lainnya dalam rangka memberikan ucapan selamat puasa yang di balut dengan kalimat atau gambar-gambar yang terpenuhi unsur kampanye. Pertemuan-pertemuan dalam rangka silaturahmi dan buka puasa bersama di balut dengan pidato politik juga memungkinkan terjadi. Tentu ini akan menabrak tatanan dan aturan karena memang belum di mulainya tahapan kampanye. Praktek ini tidak seharusnya terjadi dalam tatanan aturan pemilu. Undang-undang Pemilu nomor 7 tahun 2017 pasal 276 menyebutkan bahwa kampanye baru boleh dilaksanakan sejak 3 (tiga) hari setelah ditetapkan Daftar Calon Tetap (DCT) sampai dimulainya masa tenang. Sedangkan kampanye dalam bentu iklan di media massa cetak, elektronik dan internet dilaksanakan selama 21 (dua puluh satu) hari sampai dimulainya masa tenang.
Yang kedua, semangat berbagi di bulan Ramadhan akan dijadikan balutan dalam menumbuhkan citra di masyarakat sebagai calon pemimpin yang peduli terhadap kaum dhuafa. Kita tentu tidak bisa melarang siapapun yang ingin berbagi selama Ramadhan karena memang dianjurkan oleh agama dan kita belum sampai pada maqam mampu membaca niat seseorang. Namun tentunya kita berharap tidak ada udang di balik batu dan kita tetap mampu menilai secara rasional tanpa harus mengorbankan pandangan politik hanya dengan tontonan pembagian sembako Ramadhan.
Kita semua berharap, Ramadhan yang akan kita jalani sebentar lagi tidak di kotori oleh praktik pelampiasan syahwat kampanye politik yang mengurangi esensi Ramadhan. Dan Ramadhan ini kita jadikan momentum untuk menolak money politik, black campaign dan character assasination.
Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadhan 1439 H, mohon maaf lahir dan bathin. (***)
Penulis adalah Komisioner KPU Kabupaten Tanjung Jabung Barat.