JAMBI-Polemik antara PT Erasakti Wira Forestama (EWF) di Kelurahan Sabak Ulu, Kecamatan Muarasabak Timur, Kabupaten Tanjung Jabung Timur dengan warga setempat belum usai, bahkan kini terus membara. Masalahnya, warga menolak rencana PT EWF yang akan membangun Pabrik Kelapa Sawit (PKS) tak jauh dari Taman Selaras Pinang Masak (SPM). Alasannya, kepemilikan lahan PT EWF masih ada masalah dengan warga.
Harmain warga RT 01 Muara Sabak Ulu Kecamatan Muara Sabak Timur Kabupaten Tanjung Jabung Timur, menegaskan masih ada masalah kompensasi lahan warga yang dikuasai PT EWF belum tuntas. Namun, yang menarik, Harmain justru membongkar ada aliran dana yang mengucur dari PT EWF ke oknum pejabat setempat, sehingga masalah lahan antara PT EWF dengan warga tak pernah tuntas.
Berdasarkan pengakuan Harmain, PT EWF tiap bulan mengeluarkan dana sekitar Rp 2 Juta kepada perangkat keluarahan setempat. Uang itu, kata Harmain, membuat oknum perangkat lurah justru cenderung membela perusahaan. Ini yang makin memeruncing dan memicu polemik PT EWF dan Warga ini tak pernah tuntas.
“Setahu saya, Pak Lurah Muara Sabak Ulu Kecamatan Muara Sabak Timur dan Ketua RT 06 Muara Sabak Ulu dapat jatah dari PT EWF. Setiap masyarakat yang memiliki lahan tersebut dan ingin mengurus tanah dilahan tersebut selalu dihalang – halangi oleh Pak Lurah Muara Sabak Ulu, Darohim, termasuk RT 06 Kelurahan Muara Sabak Ulu, Bakir,” ungkap Harmain.
Lurah Muara Sabak Ulu Kecamatan Muara Timut, Darohim, memberi penjelasan mengenai aliran dana dari perusahaan yang disebut Haramain tersebut. Versi Lurah Darohim, memang ada dana yang diberikan oleh PT EWF, namun itu bukan jatah bulanan seperti yang disebut Haramain. Melainkan, dana itu merupakan biaya operasional Masyarakat Peduli Api (MPA) untuk setiap keluarahn dan Desa yang berada di lokasi PT EWF.
“Untuk biaya operasional pemadaman api memang di berikan. Jumlahnya 2 orang pekerja pemantau api dan Lurah / Kades sebagai penanggung jawab. Ini berlaku untuk Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Muara sabak ulu, Desa Merbau, dan Desa Sungai Beras, dan Kabupaten Muaro Jambi. Semua biaya operasional dari MPA ini di tanggung oleh PT EWF dan diberikan setiap minggu,” jelas Darohim.
Menurut dia, biaya operasional Masyarakat Peduli Api ( MPA ) ini diberikan full disaat musim kemarau. Sedangkan jika tidak dalam musim kemarau hanya dibayar separuhnya. Menurutnya, ini sudah menjadi keputusan PT EWF sejak tahun 2017.
“MPA ini dibentuk berkaitan dengan maraknya bencana kabut asap di tahun 2016 lalu. Kami seluruh Lurah dan Kades serta Camat di seluruh wilayah PT EWF di undang di Hotel Duta membahas berkaitan dengan penanganan kebakaran lahan dan kabut asap tahun 2016,” jelas Darohim.
Apapun itu, Haramain, selaku warga yang mengklaim tanahnya turut menjadi sengketa dengan PT EWF berharap aparat negara tidak memihak korporasi dan mempermudah urusan warga. Haramain menegaskan hingga kini diirnya dan warga, masih menagih pembayaran atas kompensasi lahan yang dikuasai PT EWF tersebut.
“Lahan perkebunan yang dikuasai PT EWF sebanyak 23,5 Ha. Saat ini belum diselesaikan pembayarannya kepada warga,”ujarnya.
Sudah sejak beberapa tahun yang lalu Haramain menyeruakan permasalahan ini. Namun, klaim dia hingga kini pihak perusahaan belum merealisasikan janjinya. Pemerintah juga sepertinya belum serius turun tangan.
“Bukan hanya saya saja yang masih belum diselesaikan PT EWF. Namun masih banyak masyarakat lain yang memiliki tanah dilahan tersebut belum juga terselesaikan oleh PT EWF tersebut,” ujarnya.
Sebagai salah satu pemilik tanah, Harmain meminta BPN ( Badan Pertanahan Nasional ), baik itu BPN Provinsi Jambi maupun BPN Kabupaten Tanjung Jabung Timur agar tidak mengeluarkan sertifikat kepemilikkan atas nama PT EWF. Sampai ada penyelesaian hak – hak tanahnya dan tanah masyarakat yang dikuasai PT EWF tersebut.
“Saya juga sudah beberapa kali menghadap Bupati Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Sampai saat pihak perusahaan PT EWF tidak menanggapi dan tidak ada itikad baik untukmenyelesaikannya,” terangnya.
Dihimpun dari berbagai sumber, masalah PT EWF ini sudah pernah menghangat setahun yang lalu atau tahun 2017. Keberadaan PT EWF, bahkan sempat menjadi sorotan tajam DPRD Kabupaten Tanjabtim. Namun anehnya, masalah ini sepertinya tidak sampai dituntaskan oleh wakil rakyat.
Seperti, Fraksi Karya Demokrasi Nasional (KDN) DPRD Tanjabtim pernah menyampaikan dan mendesak pemerintah daerah mengkaji dan mengevaluasi kembali izin-izin yang telah dikeluarkan untuk PT EWF.
Sorotan tersebut, bahkan disampaikan Fraksi KDN pada rapat sidang paripurna dengan agenda pemandangan akhir fraksi terkait APBD-P Kabupaten Tanjabtim di gedung DPRD, Selasa (19/2017) silam.
Selain diminta mengkaji izin yang telah diberikan, Fraksi KDN bahkan juga meminta Pemkab Tanjabtim menghentikan aktifitas pembangunan jalan PT EWF yang disinyalir tidak memiliki kajian Andalalin. Sehingga menurut Fraksi KDN, itu menimbulkan ketidak patuhan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan.
“Seperti pembangunan jalan perusahaan perkebunan yang berada di Kelurahan Muara Sabak Ulu,” kata anggota DPRD Tanjabtim H Anwar yang saat paripurna tersebut menyampaikan pemandangan akhir Fraksi KDN.
Jauh sebelumnya, sejumlah aktivis lingkungan juga ikut bersuara. Seperti salah satu LSM setempat, Arie Suryanto yang juga menyoroti berdirinya PT EWF di Muara Sabak Ulu.
Menurutnya, lokasi pabrik sangat membahayakan kesehatan warga dan lingkungan sekitar. “Saya berharap Pemda mengkaji ulang izinnya, mengapa tidak ditempatkan di lokasi lain yang jauh dari pemukiman,’’ ujarnya saat itu.
‘’Apalagi, sejak dibangunnya perusahaan ini, banyak menuai polemik, mulai dari tidak pernah bersosialisi dengan warga, pembebasan lahan yang bermasalah, dan dampak limbahnya. Kini, lokasi pabrik juga menjadi sorotan, karena terlalu dekat dengan pemukiman masyarakat,” kata Arie.
Namun, suara-suara itu kini tak pernah mengemuka lagi. Hanya sebagian dari warga yang masih berpolemik saja terus bersuara. Mengenai penempatan Lokasi PKS PT EWF, dewan juga sempat menyinggu bahwa di dalam Perda Tata Ruang Wilayah nomor 11 tahun 2012, jelas mengatakan wilayah Kecamatan Muarasabak Timur, tidak termasuk dalam kawasan industri.
Artinya jika lokasi PKS tetap dibangun di wilayah tersebut, sudah jelas melanggar aturan. Atau, Perda tata Ruangnya diganti agar rencana itu tidak melanggar aturan.
Masalah PT EWF ini tidak hanya terjadi di Tanjabtim. Namun PT EWF yang berada di Kabupaten Muarojambi juga sempat mendapat masalah. Warga Kemingking Luar, Teluk Jambu, Kecamatan Taman Rajo, Muarojambi mengelughkan limbah Pabrik Kelapa Sawit (PKS) PT EWF yang ada di Desa Sakernan, Kecamatan Kumpeh Ulu itu.
Seperti dikutip dari Metrojambi.com, selain aroma tak sedap, dampak kesehatan dan ekonomi juga mejadi keluhan warga. “Mulai penyakit gatal-gatal pada kulit, tanaman warga juga banyak yang mati akibat limbah dari perusahaan tersebut,” ujar Hasan (33) warga Desa Kemingking, Kecamatan Raman Rajo.
Selain itu, Ahmad, warga Desa Teluk Jambu menyampaikan, sungai Batanghari yang biasa jadi tempat mandi sudah tak aman lagi.
Ia menduga sungai sudah dicemari limbah dari perusahan PKS tersebut. “Sejak perusahaan berdiri, banyak warga yang menderita penyakit gatal-gatal. Yang lebih memperhatinkan, sulitnya bercocok tanam di dekat perusahan itu, bahkan kerap kali ditemukan ikan mati dengan jumlah yang banyak,” ujarnya.
Kerusakan lingkungan yang diduga akibat limbah PT EWF juga dirasakan tiga desa lainya, yakni Desa Sekumbung, Manis Mato dan Rukam.
“Yang paling sering terjadi, seperti gatal-gatal pada anak-anak dan banyak ikan mati. Tanaman kami juga banyak yang mati, apalagi setelah
air surut dari banjir,” ungkapnya.
Dugaan limbah PT EWF yang dibuang ke sungai tersebut diperkuat dengan adanya rekaman video yang diambil oleh warga yang memperlihatkan limbah PT EWF dibuang dari kolam penampungan limbah yang masih berwarna hitam.
Dalam video itu, limbah dialirkan ke parit kecil (kanal) yang ujung parit diduga akan berakhir ke aliran sungai Batanghari.
Menanggapi hal itu, Zulpandri Humas PT EWF, menegaskan pihak PT EWF sudah menjalankan prosedur yang benar mengenai penanganan pembuangan limbah perusahaan tersebut.
“Saya rasa limbah pabrik PT EWF sudah ditangani dengan benar dan tidak benar dibuang ke sungai Batanghari,” ucapnya.
Kemudian, di tahun 2018 ini, PT EWF di Murojambi sempat disorot lagi. Ini berkaitan dengan masalah pemecatan karyawan, bukan masalah limbah lagi. Dikutip dari Jambidaily.com, PT EWF melakukan pemecatan terhadap 11 karyawannya. Karyawan yang dipecat kemudian meminta agar perusahaan memberikan haknya berupa pesnagon.
“jangan kan pesangon, mau minta tolong agar barang-barang pribadi kami seperti pakaian, piring dibawakan keluar dari camp (areal perkebunan) tidak boleh,” ungkap Rini, salah satu mandor yang dipecat.
Dijelaskannya, dirinya dipecat karena dituduh menjual pupuk perusahaan. Sementara rekan-rekannya yang lain dipecat karena melakukan perjudian di camp. Tapi ada juga karyawan yang dipecat tanpa alasan yang jelas.
“Cukup banyak yang dipecat, termasuk manager dan operator alat berat,” jelasnya.
Yang menjadi persoalan, lanjutnya, saat pemecatan itu mereka dipaksa menandatangani surat pengunduran diri dan dilarang melakukan penuntutan. Dalam pemaksaan itu, karyawan yang dipecat disuruh memilih apakah ingin menandatangani surat pengunduran diri atau diserahkan ke pihak yang berwajib atas tuduhan penjualan pupuk dan perjudian.
Makanya, hingga saat ini pihaknya belum melaporkan kejadian ini ke Dinas Ketenaga Kerjaan Tanjabtim, karena adanya surat yang telah mereka tandatangani.
“Bingung juga, karena kami sudah nandatangani surat pengunduran diri. Tapi, surat itu kan kita tanda tangani atas paksaan,” tegasnya.
Tidak jauh berbeda apa yang disampaikan M. Sobri, operator yang dipecat. Dirinya juga menandatangani surat pengunduran diri, karena managernya dan semua putra daerah dipecat. Padahal, mereka sudah bekerja diatas lima tahun.
“Putra daerah juga dipecat, jadi mau bagaimana lagi, memang kata personalia tidak masuk dalam daftar yang dipecat. Tapi kan manager kami juga dipecat, makanya saya juga ikut nandatangani surat,” tambahnya.
Kadis Nakertras Tanjabtim, Mariontoni mengakui adanya laporan pemecatan 11 karyawan di PT. EWF. Hanya saja, dirinya belum mengetahui alasan pemecatan. Karena pelapor saat dipanggil untuk klarifikasi tidak memenuhi panggilan Disnakertrans.
“Nanti kita akan panggil lagi, kita akan pinta keterangan dan pihak perusahaan juga akan kita minta klarifikasi,” katanya.
Masalah PT EWF dan warga ini hendaknya diselesaikan secara bijak. Aparatur pemerintah, mulai dari Bupati, DPRD, Kepala Dinas, aparat keluarahan dan Desa sebaiknya hati-hati dan bijak dalam menangani konflik warga dan korporasi. Mendudukkan permasalah pada trak dan jalurnya agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan.
Memberikan solusi terbaik dan meredam konflik adalah tugas aparatur pemerintah dan aparatur negara. Bukankah mereka digaji oleh negara untuk itu? Konflik dan masalah-masalah perizinan dan hal lain menyangkut PT EWF patut segera dituntaskan, agar tidak berkepanjangan yang justru akan merugikan perusahaan itu sendiri. Walau bagaimanapun warga pasti akan mendukung investasi yang mendatangkan keuntungan dan kesejahteraan bagi masyarakat, bukan bagi segelintir orang.(ok1)