Oleh: Yulfi Alfikri Noer S.IP., M. AP
CITRA daerah ditandai oleh kegiatan dan kehidupan kebudayaan atau adanya eksistensi dari nilai-nilai luhur kearifan lokal daerah itu. Kegiatan kebudayaan yang insidental tidak akan memberikan citra yang mengesankan kedalam diri orang-orang yang datang kedaerah tersebut. Daerah yang sepi atau miskin kehidupan kebudayaannya akan memberikan citra yang kerdil. Kegiatan kebudayaan seharusnya kontinyu. Di Bali misalnya, di setiap pojok kita dengar suara-suara gamelan, pergelaran seni dan disetiap rumah, kita bisa melihat penghuninya melakukan sesajen, melukis, membuat patung dan sebagainya. Demikian juga di Yogyakarta dengan Malioboronya. Melalui kebudayaan dan produknya termasuk nilai-nilai luhur kearifan lokal, orang akan mengenal terutama citra jiwa suatu tempat. Citra yang tidak mudah dilupakan dan mungkin menjadi mitra dialog secara spiritual dan pemikiran. Kearifan lokal adalah sari jiwa, mengandung pola pikir, mentalitas, wacana holistik suatu bangsa atau daerah. Ia tidak bisa diperjual belikan. Yang bisa diperjual belikan adalah produk-produk yang lahir dari sari jiwa ini.
Kearifan lokal masyarakat Jambi muncul sejak zaman Kerajaan Melayu Kuno dan mencapai puncaknya pada masa zaman Kesultanan Melayu jambi. Banyak terdapat kearifan lokal yang disusun dari ajaran agama islam dan adat resam melayu. Kearifan lokal ini dapat dilihat dari seloko adat Jambi yang dipengaruhi sastra dan budaya islam. Secara umum konsep yang ingin disampaikan seloko yaitu Hablumminallah dan Hablumminannas. Yaitu konsep vertical bagaimana berhubungan dengan Kholiq (sang pencipta) dan hubungan horizontal, bagaimana hubungan dengan sesama manusia. Seloko adat jambi tidak hanya sekedar ungkapan yang mengandung pesan, pepatah-petitih, amanat petuah atau nasehat yang bernilai etik dan moral tapi lebih dalam lagi seloko adat Jambi merupakan pandangan hidup atau pandangan dunia yang mendasari seluruh kebudayaan. Bila diteliti secara seksama, Jambi memiliki kearifan lokal dan nilai-nilai agama yang di implementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tentunya merupakan suatu kearifan yang dapat mencegah tingkah laku negatif dan menangkal godaan perilaku korupsi. Namun, terkadang pandangan tersebut tidak dianggap mungkin dilupakan. Karena pada kenyataannya Jambi mendapat label garis merah KPK. Hal ini di karenakan provinsi Jambi sangat rawan terjadi tindak pidana korupsi. Artinya para pemimpin atau pembuat kebijakan tidak lagi mengimplementasikan nilai-nilai luhur kearifan lokal dalam melaksanakan tugas mereka. Padahal, mengimplementasikan nilai-nilai luhur kearifan lokal tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-Undang ini, otonomi daerah di definisikan sebagai hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam arti, daerah diberikan kekuasaan untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan daerah diluar urusan yang menjadi urusan pemerintahan pusat yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang ini.

Jambi Kota Beradat mempunyai dua pengertian. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia arti kata “Beradat” yaitu mempunyai adat, menurut atau melakukan secara adat, menjalankan perhelatan dan sebagainya menurut adat dan tahu sopan santun. Beradat sebagai penjabaran dari Jambi kota yang bersih, aman dan tertib. Jambi Kota Beradat, terlintas dalam pikiran penulis sebuah kota yang menjunjung nilai-nilai adat dan menjalankan kehidupan sesuai dengan adat. Lazimnya sebuah semboyan akan memberikan gambaran kearifan lokal yaitu adat istiadat melayu. Terutama dalam seloka adat bersendi Syara’, Syara’ bersendi Kitabullah, Syara’ Mengato, Adat Memakai. Sungguh sebuah kota yang damai,bersih, aman dan tertib. Penghargaan Adipura juga pernah di raih oleh Jambi, bukan hanya merupakan bukti prestasi para pejabat pemerintah daerah tetapi juga menjadi kebangaan seluruh masyarakat Jambi. Pada era gubernur Abdurahman Sayuti, siapa yang tidak mengenal Lembaga Kebudayaan Jambi, Kajanglako Art Center (KAC). Semasa jayanya di bawah arahan Lili Abdurahman Sayuti, mengharumkan nama Jambi sampai keluar negeri. Berdiri pada tahun 1998, KAC memasuki masa keemasannya pada tahun 1999. Nama KAC bergaung di mana-mana, baik di dalam maupun di luar negeri lewat penampilan seni tradisi. KAC mengajak negara-negara luar untuk belajar banyak tentang Jambi. Bahkan seingat penulis, dulu rumah-rumah warga masyarakat Jambi pun bercorak kajanglako. Apalagi rumah-rumah yang lokasinya dipinggir jalan kota Jambi. Ini merupakan suatu bentuk penguatan identitas kearifan lokal. Itu dulu. Redupnya kejayaan KAC sedikit banyak dipengaruhi bergantinya tampuk kepemimpinan di tingkat provinsi Jambi dan mulai tergerus kebijakan politik. Ajuan-ajuan program tidak lagi disambut positif, baik oleh gubernur maupun DPRD Provinsi Jambi, kala itu. Jambi kekinian adalah ado sirih nak makan sepah, kendatipun tersedia yang baik, masih juga berkendak yang buruk. Suatu kenyataan yang sudah dinikmati manusia di era globalisasi yang menimbulkan pengaruh negative dan positif yang akan mengancam dan sulit untuk dihindari. Globalisasi juga berdampak terhadap sosial budaya masyarakat (kearifan lokal). Globalisasi telah mendorong terjadinya pergeseran atau perubahan terhadap system atau aturan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Hal tersebut menyebabkan kearifan-kearifan yang berlaku dalam masyarakat mulai terkikis. Kearifan lokal yang berlaku di masyarakat yang merupakan symbol kebangaan, namun saat ini, hampir tidak ada lagi makna yang berarti di era globalisasi ini. Nilai-nilai kebudayaan luar yang beragam menjadi basis dalam pembentukan suku budaya luar yang berdiri sendiri dengan kebebasan-kebebasan ekspresi. Dalam hal ini , globalisasi inheren dengan konstruksi, diaspora dan internalisasi suatu nilai-nilai budaya tertentu melalui cara yang khusus seperti komersil, maupun adopsi ideologis ke suatu wilayah sebagai konsekuensi logis dari proyek globalisasi. Dalam konteks ekonomi politik, globalisasi juga dianggap sebagai kelanjutan baru dari penjajahan ekonomi (neo imperialism) dari akibat kegagalan negara-negara yang menganut Teori Keynesian pada kebijakan perekonomiannya ke negara-negara maju di dunia ketiga. Proses produksi dan ekspansi ruang produksi ekonomi pada suatu wilayah ke wilayah yang lain merupakan bagian dari neo imperialism dan neo liberalism yang mencita-citakan konektivitas global demi efisiensi serta akumulasi kapital tak terhingga.
Maka, dalam situasi mutakhir seperti ini, sebenarnya kita tidak lagi membutuhkan pemimpin atau calon pemimpin yang hanya memiliki kapasitas tehknis atau intelektual untuk membereskan banyak soal kenegaraan dan kebangsaan diatas lembar-lembar angka dan statistik. Kita tidak membutuhkan pemimpin yang hanya sekedar menjadi eksekutor regulasi dan konstitusi dan berhenti pada hasil kompromi politik diantara beberapa kepentingan. Kita lebih membutuhkan pemimpin yang bukan hanya seorang insinyur pembangunan atau teknokrat kenegaraan, melainkan seorang pemimpin yang mampu membaca ruh atau kultur yang mengendap, tersembunyi atau disembunyikan. Hal-hal fundamental yang menjadi landasan dan alasan untuk menciptakan promosi sebuah adab. Memberadadkan manusia dan kebudayaan menuju harkat tertinggi sebagai manusia, sebagai mahkluk yang diberi semua kelebihan oleh Nya.
Dalam menjalankan roda pemerintahan dan pelaksana pembangunan, lembaga adat memegang peranan yang besar dalam menggerakan partisipasi masyarakat. Kedudukan lembaga adat sangat strategis untuk menampung aspirasi maupun dalam proses penyelesaian sengketa antara anggota masyarakat adat atau antar wilayah adat maupun antara warga masyarakat adat dengan pemerintah dengan cara arif bijaksana dengan berpedoman kepada norma adat bersendikan Syara dan Kitabullah. Lalu sampai sejauh manakah implementasi dari Perda Kota Jambi Nomor 04 Tahun 2014 tentang Lembaga Adat Melayu Tanah Pilih Pusako Batuah Kota Jambi? Sudah adakah Peraturan Gubernur (Pergub) untuk pelaksanaannya? Jika belum, ini akan menjadi kendala dalam pelaksanaannya dan apabila sudah ada tentu saja, semua itu bukan sekedar lip service belaka, bukan pula tindakan-tindakan sementara demi mendapatkan kekuasaan, bukan sebuah identitas rekaan yang di legitimasi oleh upacara-upacara, sebagaimana hal itu menjadi tren di kalangan petinggi juga elit-elit lokal lainnya. Negeri ini menanamkan kesejatian selama ribuan tahun, satu diantara hanya hitungan jari peradaban dunia. Salah satu seloko sebagai bentuk kecintaan dan kepedulian terhadap Kota Jambi Beradat, tempat penulis di lahirkan, adalah, “Batang pulai berjenjang naik, meninggalkan ruas dengan buku. Manusia berjenjang turun meninggalkan perangai dengan laku.” Jadi, siapapun orang yang ada di Jambi, baik pribumi ataupun pendatang hendaklah berbuat baik sesuai dengan akar budaya orang Jambi dan tugas rumah Sang Putra Daerah adalah mempertahankan eksistensi kearifan lokal daerahnya yang telah diwariskan secara turun temurun oleh leluhurnya dibantu oleh putra-putra daerah yang betul-betul merasa putra daerah yang tidak mengejar popularitas, jabatan atau antek-antek kaum kapitalis yang berusaha merusak tatanan kearifan lokal demi kepentingan ekonomis segelintir orang. Putra Daerah bukan pula suatu wacana yang digadang-gadangkan dalam ajang Pemilukada demi meraup suara sebanyak-banyaknya. Sejatinya Sang Putra Daerah adalah, “Berfikir Global, Bertindak Lokal.” (***)
Penulis adalah Dosen Luar Biasa Fakultas Syariah UIN STS JAMBI