Oleh Muhammad Firdaus, S.IP
AKHIR-akhir ini jagat maya dihebohkan dengan hasil Munas NU yang menyatakan bahwa non-muslim bukan kafir, tapi warga negara. Dalam minggu ini pun isu yang paling hangat adalah seputar isu kafir dan tak heran muncul-muncul tagar di media sosial seperti hashtag #kafir di Intagram. Bahkan postingan berhashtag #kafir ini mencapai 49.400. Hal tersebut menunjukkan bahwa dunia maya sedang dijejali isu hangat, dan memicu perang cyber di dunia maya.
Masyarakat yang sangat reaktif terhadap suatu isu akan menunjukkan sikap yang lebih agresif di dunia maya. Masyarakat akan memberikan komentar, memposting, dan membagikan postingan-postingan seputar isu kafir ini, sampai mereka merasakan kepuasan yang ingin mereka capai.
Dalam kacamata cyberdemocracy, internet dan media sosial merupakan suatu alat istimewa untuk mencapai partisipasi masyarakat. Lalu, dengan munculnya isu #kafir ini mendongkrak partisipasi masyarakat yang sangat luar biasa. Masyarakat sangat antusias untuk memberikan komentar, memposting, dan membagikan postingan di media sosial.
Lalu, apakah dengan munculnya isu #kafir ini akan menyuburkan partisipasi virtual di negeri ini? apakah perang cyberdemocracy antar warganet akan menyehatkan kehidupan demokrasi kita didunia nyata?
Ambivalensi Makna “Kafir” Menurut Warganet
Dalam ajaran dan dogma agama khususnya agama Islam, kata kafir sudah memiliki makna yang jelas dan tertuang dalam kitab suci Al-Qur’an. Akan tetapi, ternyata terdapat pertimbangan lain, kenapa makna kafir dapat diperluas dan bahkan seolah membiaskan makna yang sebenarnya.
Dalam publikasi Drone Emprit mengutip aktifitas maya dalam media sosial khususnya twitter. Terdapat berbagai narasi retweet yang menyinggung hashtag #kafir, contohnya retweet dari @haikal_hassan “Gak sekalian ganti surat Al-Kafirun dg surat Al-Non-Muslim… Btw, kafir itu menutup diri dari iman kpd Allah SWT dan menolak dari Nabi Muhammad SAW… Dan Allah sendiri yg menyebut kata /istilah itu…Alangkah hebat, kini manusia mengintervensi Allah SWT… Ampuni kami Rab”.
Selain itu, mengutip dari retweet @ulil menyatakan bahwa “salah satu keputusan penting dalam Munas NU di Banjar Pattoman kali ini adalah: bahhwa Non-Muslim dlm negara nasional seperti Indonesia, status mereka adalah “muwathin”, warga negara. Istilah “kafir dzimmi” tak tepat diletakkan pada mereka. Salut pada keputusan ini”.
Dari kedua retweet tersebut menunjukkan bahwa adanya ambivalensi makna kafir, di satu sisi patuh terhadap aturan agama, dan istilah yang diturunkan langsung oleh Allah SWT. Di sisi lain, makna kafir diperluas bahwa mereka yang non-muslim dalam konteks negara nasional memiliki status yang sama yaitu “warga negara”. K.H. Ma’ruf Amin pun menjelaskan bahwa pelarangan penyebutan kata kafir menghindari diskriminasi dan untuk menjaga keutuhan dan persatuan bangsa.
Menurut penulis, untuk menghindari ambivalensi makna dan menghindari timbulnya pertengkaran verbal baik itu di dunia nyata dan dunia maya. Maka penulis memberikan saran kepada kita semua. Pertama, kita harus meyakinkan diri bahwa makna kafir yang diturunkan langsung oleh Allah SWT merupakan suatu hal yang mutlak, dan harus kita yakini. Kedua, bersikap adil, dan bijaksana dalam menjalankkan kehidupan berbangsa untuk tidak menyebutkan kata “kafir” kapada semua orang.
Menurut penulis, kata kafir pun tidak sepenuhnya ditujukan kepada Non-Islam saja. Bahkan kepada orang islam pun akan menjadi relevan apabila orang islam tersebut berbuat ingkar, baik itu ingkar kepada dirinya sendiri, ingkar kepada Allah SWT, ingkar kepada Nabi Muhammad SWT, dan ingkar terhadap hukum Allah SWT.
Pemicu Partisipasi Virtual
Terdapat kabar gembira dengan adanya isu “kafir” ini di media sosial, yaitu kita dapat melihat bagaimana partisipasi virtual masyarakat. Berbagai respon dapat kita lihat, baik itu yang positif dan negatif. Hal ini dapat dibuktikan bahwa interaction rate tinggi sebesar 7,61 interaksi pertweet (menurut hasil publikasi Drone Emprit).
Lincoln Dahlberg menyebutkan bahwa cyberdomcracy akan mempermudah masyarakat untuk berpartisipasi khususnya menyampaikan pendapat, aspirasi, bahkan kepentingannya. Melalui isu ini, masyarakat dengan antusias menyampaikan pendapat, menyampaikan aspirasi, bahkan kritikan.
Terlebih tahun ini merupakan tahun politik, dan penulis khawatir apabila isu kafir ini akan berimbas kepada sektor elektoral. Seperti hasil publikasi dari Drone Emprit menjelaskan bahwa top influences tentang “Kafir” kebanyakan dari kluster 02 dan memiliki sentimen negatif (berwarna merah). Berbanding terbalik, kluster 01 tidak banyak membicarakan isu “kafir” ini, dan sentiment cenderung positif (berwarna hijau).
Penulis menyimpulkan bahwa, Perang cyberdemocacy atau perang aktifitas di Internet/media sosial seperti memberikan komentar, memposting, dan membagikan postingan, setidaknya berdampak terhadap kehidupan demokrasi. Masyarakat semakin responsif dan berantusias untuk memberikan kritikan, saran, pendapat, bahkan masyarakat akan melakukan perdebatan virtual. Dengan melakukan etika berinternet (Netiquette) penulis yakin bahwa keberhasilan partisipasi virtual akan teraktualisasikan ke demokrasi dunia nyata. (***)
Penulis adalah Alumni Ilmu Politik Universitas Andalas