Sabtu pagi, 16 September 2023 di Bertam adalah sebuah kanvas. Matahari baru saja muncul dari ufuk timur, melukis langit dengan gradasi oranye dan emas, seolah menaburkan keajaiban pada hari yang baru.
Atmosfer pagi itu dipenuhi oleh suasana yang mistis, hampir magis. Saat detik-detik menjelang pukul 08:00, alam seakan berbisik, “Inilah saatnya.”
Peserta, satu per satu, mulai berdatangan, seolah dipanggil oleh alam itu sendiri. Mereka memasuki lahan seluas 15 hektar yang tak lain adalah panggung bagi drama kehidupan yang akan segera berunfold.

Meski hanya 30 menit dari Kota Jambi, Bertam menyajikan dunia yang berbeda. Di sini, beton dan aspal digantikan oleh tanah dan rerumputan. Gedung-gedung digantikan oleh pepohonan rindang yang menjulang ke angkasa, layaknya penjaga hutan yang bijaksana.
Setiap langkah yang diambil disambut oleh aroma tanah basah—tanah yang siap untuk ditaburi benih-benih pengetahuan dan pengalaman. Daun-daun yang masih menempel di pepohonan seolah berbisik, menyambut setiap tamu yang datang.
Udara pagi itu dipenuhi dengan bau segar, bercampur dengan harapan dan ekspektasi yang menggelayut di wajah-wajah penuh semangat.
Dan di sana, di tengah-tengah lahan yang luas ini, diapit oleh hutan yang asri dan langit yang cerah, peserta mengetahui bahwa ini bukan sekedar hari Sabtu biasa. Ini adalah sebuah momen penting, sebuah rintisan dari perubahan yang akan datang. Sebuah panggilan dari tanah, yang dijawab oleh mereka yang siap belajar dan tumbuh.
Jadi, ketika matahari akhirnya sepenuhnya menunjukkan dirinya, membanjiri lahan dengan cahayanya yang hangat, satu hal menjadi jelas: di Bertam, di bawah naungan pepohonan dan dalam pelukan tanah, sebuah drama kehidupan dan pembelajaran akan ditulis.
Pesan di Balik Kopi dan Ubi Kayu
Tepat pukul 08:00, layaknya deus ex machina dalam drama Yunani kuno, Irjen Pol (Purn) Syafril Nursal muncul. Dia keluar dari balik sejumput pohon—seperti sosok mistis yang baru saja berjalan melewati portal alam.
Lampu sorot matahari pagi menyorotinya, menciptakan aura yang tak bisa diartikulasikan, hanya bisa dirasakan. Ia diriingi oleh dua maestro dari Lemdikpol Polri, AKBP I Nyoman dan AKBP Wahyuni, yang tampil gagah dan anggun.
Namun, sebelum acara dimulai, sebuah ritual penting dilakukan. Tidak ada gong yang dibunyikan, tidak ada api yang dinyalakan. Hanya sebuah tray berisi ubi kayu dan seduhan kopi dan teh hangat yang disajikan.
Ah, tapi jangan salah paham. Ini bukan sekadar sarapan atau pemanis untuk mengawali hari.
Ubi kayu dan kopi—ini adalah elemen paling dasar dari tanah dan tumbuhan, hampir primitif dalam kesederhanaannya. Namun dalam kesederhanaan itulah kekuatan mereka.
Ubi kayu, tumbuh dari tanah yang sama yang kini mereka injak. Kopi, berasal dari biji yang juga pernah menjadi bagian dari tanah ini. Seperti para peserta, keduanya muncul dari sumber yang sama dan nantinya akan kembali ke sumber itu juga.
Mereka adalah cerminan dari misi hari itu: untuk tumbuh, belajar, dan akhirnya memberikan sesuatu kembali kepada tanah dan komunitas.
Sajian ini adalah sebuah simbol, sebuah peringatan, bahwa hari ini bukanlah tentang ego atau prestasi pribadi. Ini tentang koneksi, tentang meresapi esensi dari alam sekitar, dan pada akhirnya, tentang memahami diri sendiri dalam konteks yang lebih luas.
Ketika setiap peserta menyeruput kopi mereka, makan ubi kayu, dan merasakan hangatnya teh di tengah udara pagi yang segar, mereka tahu. Ini adalah suatu bentuk sakralitas, sebuah momen transenden yang menandai awal dari perjalanan mereka. Mereka sedang menyiapkan diri untuk sesuatu yang jauh lebih besar dari diri mereka sendiri.
Briefing dan Debat: Kuda vs Angsa—Sebuah Konfrontasi Ide dan Identitas
Setelah ritual pembuka yang mengesankan, Irjen Pol (Purn) Syafril Nursal naik ke panggung—yang dalam konteks ini, adalah lapangan terbuka di tengah-tengah lahan.
Dengan tatapan yang tajam namun hangat, dia memulai sesi briefing. Kata-katanya tidak hanya mengisi udara tapi juga menembus ke dalam jiwa setiap peserta, membuka horizon baru tentang apa yang akan mereka lalui dan pelajari.
Ini bukan sekadar informasi; ini adalah manuskrip untuk transformasi.
Sebelum melangkah lebih jauh, Irjen Pol Syafril Nursal menyisipkan komentar yang mendalam.
“Tujuan dari kegiatan ini bukanlah untuk menemukan siapa yang paling unggul. Kita di sini untuk memahami bahwa setiap individu memiliki kekuatan dan kelemahan, dan memahami itu adalah kunci untuk membangun tim yang solid. Ketika kita bisa saling melengkapi, kita bisa mencapai lebih banyak daripada berjalan sendiri,”jelasnya.
Kemudian, sebuah keputusan yang mengejutkan namun menarik dibuat: peserta dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing diberi identitas yang menarik dan ikonik.
Ada “Kelompok Kuda,” yang menggambarkan kekuatan, kecepatan, dan kebebasan. Lalu ada “Kelompok Angsa,” simbol dari keanggunan, kebijaksanaan, dan kerjasama komunal.
Sesi debat dimulai.
Tidak seperti debat formal di ruangan bertutup dengan mikrofon dan podium, ini adalah debat alam terbuka. Sesi ini berlangsung di bawah langit biru Bertam, dengan latar belakang pepohonan yang rindang dan tanah yang subur.
Peserta diharapkan untuk tidak hanya menggunakan kata-kata, tetapi juga energi, ekspresi, bahkan keseluruhan jiwa mereka, untuk mempertahankan kelebihan dari hewan yang mereka wakili.
Kelompok Kuda menekankan pada kekuatan dan kecepatan, bagaimana kuda bisa mengejar horizon dan membuka peluang baru.
Angsa, di sisi lain, mengedepankan keanggunan dalam kebersamaan dan kerjasama, menggambarkan kebijaksanaan yang tumbuh dari hubungan sosial dan kepedulian terhadap sesama.
Pertukaran ide dan kritik berlangsung sengit tetapi konstruktif. Sesi ini menjadi ruang di mana setiap peserta bisa berdebat, saling mengkritik, dan pada akhirnya, memperluas pemahaman mereka sendiri. Ketika mereka berbicara, ada perasaan bahwa ini bukan sekadar debat antara dua kelompok dengan nama hewan.
Ini adalah konfrontasi antara dua filosofi, dua pandangan dunia, yang keduanya memiliki tempat dan nilai dalam konteks kehidupan yang lebih luas.
Tidak ada pemenang atau pecundang di sini—hanya ada kebijaksanaan yang tumbuh dari percakapan dan perbedaan.
Di Bertam, di bawah matahari yang mulai meranjak tinggi, setiap peserta memahami bahwa mereka adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar.
Mereka masing-masing adalah kuda dan angsa dalam perjalanan hidup mereka, mencari cara untuk mengeksplorasi, tumbuh, dan pada akhirnya, berkontribusi… untuk publik untuk republik.(Bersambung)
Awin Sutan Mudo