JAMBI – Air sungai Batanghari mengalir perlahan, membawa sejarah dan misteri benda-benda kuno yang tertanam di dasar sungainya. Tapi hari ini, bukan sejarah yang menjadi perhatian. Di Desa Suak Kandis, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi, sebuah kapal nampak berlabuh, dilengkapi dengan kompresor dan selang berukuran besar. Tepat, ini adalah pangkalan dari para pemburu benda kuno yang telah beroperasi sejak tahun 2022 lalu.
Mereka tidak peduli pada dampak atau bahkan risiko jiwa. Seperti kabar yang disampaikan oleh Agus Sudaryadi, Kasubag Umum Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah V, seorang penyelam bahkan telah meninggal karena longsor tebing sungai saat beraksi. Ironisnya, penyelam itu bukanlah warga lokal, melainkan datang jauh-jauh dari Sumatera Selatan.
“Kendaraan yang ditemukan di sana bernomor polisi BG, terutama roda empat. Saya curiga, pelakunya adalah yang sebelumnya melakukan pengangkatan ODCB (Objek Diduga Cagar Budaya) di Sungai Musi, Palembang,” kata Agus yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Komisariat Sumbagsel periode 2017-2021.

Benda-benda yang diangkat dari sungai itu bukan barang sembarangan. Dari operasi yang dilakukan oleh Polres Muaro Jambi dan Tim gabungan dari pemerintah Kabupaten Muaro Jambi, benda-benda seperti keramik, koin Cina, bahkan benda terbuat dari emas di dalam karung 10 Kilogram telah disita. Namun, Agus mengatakan, “Warga yang menjadi pemodal dan penyelam dari luar Jambi masih beroperasi tanpa penindakan.”
Kenapa bisa terjadi? Agus mengidentifikasi empat permasalahan utama. Selain melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan Keputusan Penetapan Situs Bawah Air Muara Kumpeh, kegiatan ini juga mengganggu alur pelayaran kapal dan kehidupan masyarakat yang semakin sulit mencari ikan. Terlebih lagi, ada korban jiwa.
Sungai Batanghari telah berubah warna, dari gelap terang menjadi coklat keruh—sebuah pertanda ekosistem dan budaya di sana sedang digerogoti. Dan sementara pemerintah setempat tampaknya masih belum menemukan jalan keluar, perburuan benda kuno masih terjadi.
“Mereka menunggu waktu yang tepat untuk beroperasi kembali karena sungai yang keruh atau sebab lainnya,” kata Agus, menambahkan bahwa kegiatan preventif seperti sosialisasi, pemasangan spanduk, dan penetapan sebagai Situs Bawah Air Muara Kumpeh ternyata belum efektif.
Agus menekankan perlu adanya upaya represif untuk mengatasi pelanggaran tersebut. “Dari Pulau Belitung informasi yang saya terima setelah terjadinya penangkapan dan proses pengadilan yang pernah terjadi maka pengangkatan ODCB dari laut mereda,” tutupnya.
Mungkinkah pemerintah daerah dan pusat akan bergerak cepat untuk menyelamatkan sisa-sisa warisan budaya ini? Atau, apakah Sungai Batanghari akan kehilangan jejak peradabannya selamanya? Jika tidak ada tindakan nyata, sejarah mungkin akan lenyap, tersapu oleh arus waktu dan ketidakpedulian.(*)