TANJABTIM – Di ufuk timur Sumatera, tepatnya di pesisir pantai Kabupaten Tanjung Jabung Timur, para juragan dan anak buah kapal meratapi nasib. Pasalnya, rimba biru yang selama ini menjadi sumber penghidupan telah merenggut sebagian rejeki mereka. Sumber daya laut yang mengalir menipis, memaksa para pelaut untuk kembali ke darat dengan tangan yang jauh lebih ringan.
Sesama nelayan, yang biasa bahu-membahu menarik Pukat Tarik, kini harus berbagi pahitnya penghasilan yang serupa dengan secuil garam di lautan. Mereka, yang biasa pulang membawa harap, kini hanya mampu mengais antara Rp20 ribu hingga Rp30 ribu per kepala, bagi hasil antara tujuh hingga delapan orang yang sama-sama memburu rizki di atas satu Pompong.
Madi, seorang nelayan asal Kecamatan Kuala Jambi, mengungkapkan kerisauannya. “Kini laut sudah tidak sebaik dulu, tapi kala harga ikan naik, pendapatan kami tidak ikut naik,” ucapnya dengan nada berat. Ikan gulama, yang menjadi buruan utama Pukat Tarik, kini dibanderol dengan harga yang membebani. Dari yang dulu hanya Rp3.000 hingga Rp3.500 per kilogram, kini melonjak hingga Rp5.000 hingga Rp6.000 per kilogram.
“Ikan gulama, yang biasanya menjadi penopang hidup kami, kini seolah menjadi beban,” tutur Madi, sembari menambahkan bahwa alhamdulillah, meskipun sedikit, harga ikan kini lebih baik.
Namun, bayang-bayang musim cuaca ekstrem yang kerap menghampiri menjelang akhir tahun seakan menjadi pengingat akan ketidakpastian hidup. November yang sudah di depan mata membawa ancaman gelombang tinggi yang bisa memaksa para nelayan untuk menggantung jala dan pukat mereka.
“Kami masih bertahan di laut sekarang, sebab cuaca masih bersahabat. Namun, jika sudah bergelora, tiada pilihan selain menambatkan perahu, karena nyawa lebih berharga,” tutur Madi, merenung atas pilihan yang terbatas.
Kisah para nelayan ini adalah cerminan dari ironi nafkah yang tak pernah menentu. Dalam suasana dimana laut memberi lebih sedikit, harga ikan malah melambung, menambah pilu kisah perjuangan hidup para pahlawan tanpa tanda jasa dari laut. Di penghujung wawancara, Madi menutup pembicaraan dengan nada filosofis, “Pekerjaan nelayan ini, seperti mencari harta karun yang tersembunyi; kadang kala berlimpah, kadang pula sepi, namun kami selalu bersyukur atas segala yang diberikan.”(*)