Di tengah persiapan kampanye Pemilu 2024, sebuah kebijakan kontroversial mencuat dari Provinsi Jambi.
Kepolisian Daerah Jambi, dalam sebuah Forum Group Discussion (FGD), mengusulkan penghentian total mobilisasi batubara selama 75 hari dalam rangka menyambut pemilu.
Kebijakan ini dianggap penting untuk menjaga keamanan dan ketertiban selama masa kampanye.
Namun, pandangan berbeda datang dari Robert Samosir, seorang aktivis pemerhati lingkungan di Jambi.
Menurutnya, kebijakan penghentian angkutan batubara ini perlu ditinjau ulang. Samosir berargumen bahwa aktivitas batubara, yang selama ini menjadi salah satu penyumbang devisa negara, tak seharusnya dihentikan begitu saja tanpa mempertimbangkan dampak ekonominya.
“Kita harus memahami apa yang sebenarnya ditakutkan oleh polisi hingga mengusulkan penghentian tersebut. Saya menilai itu tidak pas,” ujar Samosir.
Ia menegaskan bahwa kebijakan tersebut tampak tidak bijaksana dan tidak mempertimbangkan aspek-aspek penting lainnya, seperti kontribusi sektor batubara terhadap perekonomian daerah dan negara.
“Karena tidak ada hubungannya penghentian mobilisasi batubara dengan kampanye lima tahunan. Ekonomi harus tetap berjalan,”ujarnya.
Kebijakan ini muncul dari FGD yang diadakan oleh Direktorat Intelkam Polda Jambi dan dihadiri oleh berbagai stakeholder, termasuk perwakilan partai politik, relawan pemilu, camat, dan perwakilan organisasi batubara.
Komisaris Besar Polisi Ronalzie Agus, Dirintelkam Polda Jambi, mengemukakan bahwa kebijakan ini diperlukan untuk mendukung pelaksanaan Pemilu yang aman dan damai.
Sementara itu, Samosir menekankan bahwa penghentian angkutan batubara dapat membawa dampak ekonomi yang signifikan, terutama bagi Provinsi Jambi.
Ia menyerukan agar kebijakan ini dikaji lebih mendalam, dengan mempertimbangkan semua faktor, termasuk kepentingan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan.
“Kita tidak boleh terburu-buru dalam membuat keputusan yang bisa merugikan banyak pihak. Harus ada keseimbangan antara kepentingan keamanan dan ekonomi,” tuturnya.
Dengan ini, terbuka ruang diskusi lebih lanjut mengenai bagaimana Indonesia harus menyeimbangkan kepentingan ekonomi, keamanan, dan keberlanjutan lingkungan dalam menyikapi setiap kebijakan yang diambil, terutama menjelang perhelatan besar seperti pemilu.(*)
Analisis
Kami tim Litbang Jambi Link mencoba menganalisis atas kebijakan dan gagasan penghentian total angkutan batubara di Provinsi Jambi selama kampanye Pemilu 2024. Kami akan memfokuskan pada dampak potensial yang merugikan bagi negara dari segi ekonomi dan hukum.
Dari Perspektif Hukum:
- Kesinambungan Kontrak dan Kewajiban Hukum: Penghentian total angkutan batubara bisa melanggar kontrak yang telah disepakati antara pemerintah dan perusahaan-perusahaan batubara. Hal ini menimbulkan risiko hukum, termasuk gugatan dan klaim kompensasi.
- Preseden Buruk dalam Tata Kelola Hukum: Kebijakan ad hoc seperti ini menciptakan ketidakpastian hukum dan bisa mengurangi kepercayaan investor terhadap stabilitas hukum di Indonesia. Ini berpotensi menghambat investasi jangka panjang.
Dari Perspektif Kebijakan Publik:
- Penilaian Risiko dan Manfaat: Kebijakan harus didasarkan pada penilaian risiko dan manfaat yang menyeluruh. Penghentian total tampaknya tidak mempertimbangkan dampak ekonomi yang luas terhadap sektor batubara dan perekonomian regional.
- Partisipasi dan Transparansi Stakeholder: Proses pengambilan kebijakan harus melibatkan semua stakeholder, termasuk industri batubara, untuk memastikan bahwa semua pandangan dan kepentingan terwakili.
Dari Perspektif Ekonomi:
- Dampak pada Perekonomian Lokal dan Nasional: Batubara merupakan salah satu komoditas ekspor utama Indonesia. Penghentian aktivitas dapat menyebabkan penurunan signifikan dalam pendapatan devisa, yang berdampak negatif pada ekonomi nasional.
- Ketidakstabilan Pasokan dan Harga: Penghentian ini bisa menyebabkan ketidakstabilan pasokan dan fluktuasi harga batubara di pasar global, merugikan posisi Indonesia sebagai eksportir batubara.
Kesimpulan kami: Kebijakan penghentian total angkutan batubara untuk 75 hari di Jambi, meskipun mungkin bermaksud menjaga keamanan selama kampanye Pemilu, tampaknya kurang mempertimbangkan implikasi hukum, kebijakan publik, dan ekonomi yang lebih luas. Kebijakan ini cenderung merugikan kepentingan ekonomi nasional dan reputasi Indonesia dalam tata kelola hukum dan ekonomi yang stabil. Oleh karena itu, sebagaimana ditegaskan aktivis Robert Samosir, kebijakan ini perlu ditinjau ulang dengan pendekatan yang lebih holistik dan partisipatif.(*)