Ada banyak pertanyaan yang menggantung di udara dan satu nama yang mencari keadilan—Arismunandar. Pria asal Desa Kayu Aho, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi ini menggelar sebuah laporan mendesak kepada Ketua Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Ia merinci bagaimana kasusnya terjebak dalam labirin hukum dan birokrasi.
Tak sekadar mencari keadilan, Arismunandar membawa bukti kepemilikan tanah sah dengan sertifikat nomor 06.05.17.10.00240 tahun 2021, tetapi hingga saat ini masih belum menemukan kejelasan dari aparat penegak hukum.
“Kami sebagai pelapor ingin ketegasan dan kejelasan,” tegas Arismunandar dalam suratnya yang diterima oleh Kompolnas pada tanggal 18 Agustus 2023.

“Kami menduga ada pihak yang merintangi proses penyidikan,” ujarnya, mengutip Pasal 221 KUHP yang mengancam pelaku penghalang penyidikan dengan hukuman penjara.
Dalam bayang-bayang hukum yang seharusnya menjadi pelindung keadilan, Aris mengatakan terdapat kekuatan misterius yang nampaknya sengaja menaburkan pasir dalam mesin roda keadilan.
Tapi apa yang lebih mengguncang daripada aksi terang-terangan ini adalah sikap pasif dari pihak kepolisian. Arismunandar menekankan peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 12 Tahun 2009 dengan jelas menuntut transparansi bulanan melalui Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP).
“Tapi apa yang terjadi? Saya hanya mendapatkan dua lembar kertas tipis itu sejak pertama kali melaporkan kasus ini pada 24 Oktober 2022,!”ujarnya.
Keadaannya seolah memberikan gambaran kelam, sebuah teater keadilan yang dipentaskan dengan lakon-lakon yang abai dan penuh intrik. Tidak hanya prosesnya yang dirintangi, tetapi jembatan komunikasi antara penegak hukum dan publik tampaknya sengaja diputus, meninggalkan Arismunandar dalam kegelapan dan ketidakpastian.
Saat berbagai pihak menanti langkah Kompolnas, satu harapan besar terpaut pada Arismunandar: keadilan. Di balik kata-kata resminya dan nomor-nomor hukum yang ia sebut, ada sosok warga biasa yang berjuang melawan kebingungannya sendiri, dan yang paling penting, melawan ketidakadilan yang ia rasakan.
“Harapan kami agar mendapat perlindungan hukum dari Bapak Kompolnas,” tutup Arismunandar.
Mungkinkah Kompolnas akan memberikan keadilan yang selama ini ia cari? Ataukah ia akan tetap menjadi bagian dari statistik pahit tentang lambatnya roda keadilan di Indonesia? Saat ini, semua mata tertuju pada Kompolnas.(*)