Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diam-diam rupanya tengah menyelidiki kasus dugaan suap dalam pemilihan rektor Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo mengindikasikan pemilihan Rektor di (PTN) tidak transparan. Dia meminta Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) untuk membenahi mekanisme pemilihan Rektor.
“Kami sudah mendengar adanya pengangkatan rektor yang kurang transparan,” kata Agus seperti.
BACA JUGA: GAWAT! Anulir Hasil Pemira, Rektor Ambil Alih BEM Universitas Jambi

Majalah Tempo edisi terbaru yang terbit Senin, 24 Oktober 2016 lalu menurunkan laporan soal makelar pemilihan Rektor. Ada dugaan orang dekat Menteri Pendidikan masuk jaringan makelar jabatan tersebut. Salah satunya di Universitas Jambi.
Dikutip dari laporan Majalah Tempo, dugaan suap pemilihan Rektor di perguruan tinggi negeri. Bahkan, sejumlah pengajar Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara, awal September lalu, mengadukan kejanggalan dalam persiapan pemilihan Rektor ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Menurut anggota Ombudsman, Alamsyah Saragih, laporan yang masuk antara lain menyebutkan akal-akalan pengangkatan anggota senat Universitas untuk memuluskan salah satu calon Rektor.
BACA JUGA: Gaduh Gara-gara Parkir, Rektor Anulir Hasil Pemira
Jejak “makelar” ini juga tercium dalam pemilihan Rektor Universitas Jambi pada Agustus tahun lalu. Mereka adalah Aulia Tasman; yang merupakan rektor lama, M. Rusdi; Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, dan Johni Najwan; Ketua Program Doktor Ilmu Hukum. Ketiganya menyisihkan tiga kandidat lain dalam penyaringan tahap awal.
Dalam pemilihan tingkat senat pada 25 Agustus 2015, Aulia dan Rusdi meraih 16 suara, sementara Johni hanya mendapatkan 14 suara. Tapi ini baru skor “semifinal”, yang akan diuji dalam pemilihan akhir pada 12 November 2015. Di putaran final, ada faktor lain yang menentukan, yaitu suara milik Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Di samping 52 suara Senat Universitas, ketiga kandidat Rektor harus memperebutkan 28 suara Menteri (35 persen dari penghitungan 80 suara). “Karena ingin menang, kami mencari jalur untuk mendapatkan dukungan Menteri,” kata Agus Setyonegoro, anggota tim sukses M. Rusdi, Rabu pekan lalu.
Awal September 2015, Rusdi dan tim suksesnya menemui M. Fuadi Lutfi di sebuah rumah makan Padang di kawasan Sarinah, Thamrin, Jakarta. Kepada Rusdi, Fuadi mengaku punya akses ke Menteri Nasir saat itu. Dalam pertemuan itu, menurut seorang anggota tim sukses Rusdi, Fuadi menyatakan bisa membantu mendapatkan dukungan Pak Menteri. Pada akhir pertemuan, terlontar pula bahwa mahar untuk mendapat dukungan itu minimal 1-1,5 meter. “Memang ada permintaan seperti itu,” ucap Agus, yang memahami kode “meter” sebagai pengganti kata “miliar”.
Seusai pertemuan di Sarinah, kepada tim suksesnya, Rusdi menyatakan tidak sreg dengan permintaan “mahar” itu. Tim sukses Rusdi pun mencari cara lain. Muncullah ide untuk menemui petinggi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)—partai yang menyokong Nasir hingga masuk kabinet di Jakarta.
Rusdi bertemu dengan petinggi PKB tersebut di Jakarta. Namun, setelah berbincang singkat, si petinggi mengarahkan agar Rusdi bertemu dengan seorang staf khusus Menteri. Rusdi bertemu dengan si staf khusus yang dimaksud hari itu juga. Tapi orang tersebut malah menyuruh mereka bertemu Fuadi untuk membahas teknis.
Saran untuk kembali bertemu dengan M Fuadi Lutfi, menurut Agus, membuat Rusdi tak bersemangat. “Kalau akhirnya harus bayar, buat apa?” kata Agus menirukan ucapan Rusdi.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat PKB Abdul Wahid Maktub mengatakan mungkin saja ada calon rektor yang berusaha masuk lewat PKB atau NU. “Namanya orang usaha ingin menang,” kata Wahid. Namun, menurut Wahid, pilihan Menteri atas calon rektor murni karena pertimbangan rasional dan obyektif. “Kadang-kadang ada masukan dari NU dan PKB, tapi tak selamanya diterima,” ujarnya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengincar kasus dugaan suap dalam pemilihan rektor di Perguruan Tinggi. Menurut Ketua KPK Agus Rahardjo lembaganya melihat ada yang tidak transparan dalam pemilihan orang nomor satu di universitas milik pemerintah. Apalagi kata dia, KPK sudah memperkarakan 534 orang, termasuk di antaranya gubernur.(akn)
Sumber: Tempo