Buru Asal Uang di Villa Sabak
Terancam Pasal Pencucian Uang
JAMBI – Zumi Laza Zulkifli Nurdin, adik kandung Gubernur Jambi nonaktif Zumi Zola Zulkifli Nurdin mendapat giliran diperiksa KPK RI, kemarin. Zumi Laza dimintai keterangan soal kasus yang menjerat kakaknya sebagai tersangka. KPK menggali pengetahuan mantan Ketua DPD PAN Kota Jambi ini tentang sejumlah uang yang disita KPK di Villa mewah milik Zulkifli Nurdin beberapawaktu lalu. Pada Selasa (22/5) dan Rabu (23/5), secara berturut-turut KPK juga memeriksa istri Zumi Zola, Sherin Taria, dan ibu Zumi Zola, Harmina Djohar. Keduanya diminta keterangan yang sama dengan Laza, yaitu soal uang yang disita KPK terkait kasus gratifikasi sejumlah proyek di Jambi dengan tersangka Zumi Zola. Termasuk pula asal usul uang di Villa Zulkifli Nurdin. Namun, hingga kini KPK belum menjadwalkan pemanggilan Zulkifli Nurdin sebagai saksi Zumi Zola.Selain terkait kasus kakaknya, Laza juga akan diperiksa soal kasus gratifikasi proyek di Dinas PUPR Jambi. Dalam kasus itu, KPK menetapkan Plt Kadis PUPR Jambi nonaktif Arfan. Zulkifli Nurdin akan mendapat giliran selanjutnya untuk dimintai keterangan oleh KPK sebagai saksi Zumi Zola.

“Zumi Lala diminta keterangannya sebagai saksi atas dua tersangka, ZZ (Zumi Zola) dan ARN (Arfan),” ujar Kabiro Humas KPK Febri Diansyah kepada wartawan, Kamis (24/5/2018).
Usai diperiksa di KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (24/5/2018) pukul 15.45 WIB, Zumi Laza, enggan berkomentar soal uang yang disita KPK dari vila keluarganya. Dia juga tidak menjawab soal asal-usul uang itu. Laza yang mengenakan kemeja putih dan kacamata itu tampak didampingi seorang laki-laki. Sekitar 10 menit kemudian, dia keluar dari ruang tunggu.
Laza hanya melempar senyum dan sesekali tertawa saat ditanya soal uang yang disita KPK dari vila di Tanjung Jabung, Jambi pada penghujung Januari lalu.Dia juga enggan menjawab ada berapa banyak brankas di vila keluarga itu. Laza hanya mohon pamit kemudian beranjak pergi menumpang mobil Toyota Calya hitam berpelat nopol B 2660 SOD.
Rupanya, Zumi Zola sudah sejak lama dipantau oleh KPK. KPK secara ketat mengawasi dinasti politik, termasuk Zola karena memiliki potensi tinggi terjadi tindak pidana korupsi. KPK menilai dinasti politik di berbagai daerah berdasarkan fakta dari hasil operasi tangkap tangan (OTT) kerap terjadi tindak pidana korupsi.
“KPK memperhatikan serius terhadap dinasti politik,” kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan. Menurut Basaria, yang menjadi atensi khusus KPK adalah pejabat dinasti politik karena seolah-olah kerajaan keluarga. Yakni, dari bapak ke anaknya ada juga yang dari bapak ke istrinya. Sehingga, banyak modus-modus operandi, anak yang jadi bupati dimanfaatkan oleh orang tuanya yang menjadi gubernur untuk mencari dana.
“Keluarga itu mempertahankan kekuasaanya. Tak ikhlas dengan yang sudah dinikmati dan harus diserahkan ke yang lain. Ini menjadi atensi kami,” katanya.
Informasi yang berhasil dirangkum, Zumi Zola masuk dalam radar pengawasan KPK karena dianggap bagian dari dinasti politik Zulkifli Nurdin. Untuk diketahui, Zulkifli Nurdin adalah mantan Gubernur Jambi dua periode (2000-2005 dan 2005-2010). Zulkifli juga merupakan anak saudagar kaya atau penerus trah Nurdin Hamzah.
Trah Nurdin ini dikenal sebagai orang yang dermawan. Selain berhasil menempatkan Zumi Zola sebagai Gubernur Jambi, belakangan Zulkifli juga hendak mengorbitkan anaknya yang lain, Zumi Laza untuk maju di Pilwako Jambi 2018. Untuk memuluskan langkah tersebut, Zulkifli Nurdin kemudian menempatkan Zumi Laza sebagai Ketua DPD PAN Kota Jambi. Cara yang dilakukan Zulkifli terhadap Laza sama persis dengan yang dilakukan terhadap Zumi Zola. Jauh sebelum Zola diorbitkan menjadi Gubernur, terlebih dahulu Zola berhasil dijadikan Bupati Tanjab Timur dan Ketua DPW PAN. Laza sempat mensosialisasikan diri menajdi kandidat cawako sebelum akhirnya mundur dari Ketua DPD PAN Kota Jambi menyusul Zumi Zola terjerat kasus oleh KPK. Di lingkaran birokrasi, Sekda Provinsi Jambi M Dianto juga merupakan bagian dari keluarga Zulkifli Nurdin.
Basaria menegaskan KPK tidak melarang adanya politik atau kepala daerah “turun- menurun” jika dilakukan secara transparan dan akuntabel. Intinya, kata dia, apabila orang tua atau anak menjadi kepala daerah atau pejabat negara, jangan melakukan tindak pidana korupsi. Basaria menyatakan penyidik KPK akan menindak tegas pejabat negara ataupun kepala daerah yang terlibat korupsi dengan menerapkan pasal pencucian uang untuk memiskinkan koruptor.
Basaria kemudian mencontohkan dinasti politik Wali Kota Kendari Andriatma Dwi Putra bersama bapaknya, yang menjadi calon Gubernur Sulawesi Tenggara, Asrun. Langkah keduanya untuk membangun kerajaan politik berhasil dibongkar KPK.
Keduanya menjadi tersangka dugaan penerima suap dari pihak swasta untuk pendanaan kampanye pencalonan kepala daerah. Andriatma menggantikan Asrun sebagai Wali Kota Kendari, yang telah bertahta selama dua periode atau 10 tahun. KPK telah membongkar transaksi suap Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra. Rupanya, Adriatma mendapatkan suap untuk ayahnya, Asrun, yang merupakan mantan Wali Kota Kendari.
Duit suap itu disebut KPK digunakan Asrun untuk kepentingan kampanye dalam pilkada serentak 2018. Asrun memang akan berkompetisi dalam pilkada serentak 2018 sebagai calon Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra).
Dinasti politik yang dibongkar KPK yaitu pucuk pemerintahan Kota Kendari yang berlanjut dari ayah ke anak, Asrun ke Adriatma. Asrun menduduki posisi Wali Kota Kendari dari 2007 hingga 2017. Sepuluh tahun bertahta, jabatan itu kemudian ditempati Adriatma.
Namun kemudian KPK menyebut Asrun masih dapat memerintah meski tak lagi mengemban amanah sebagai wali kota. Asrun disebut KPK ingin agar Adriatma meminta suap ke pengusaha yang kerap mendapatkan proyek di Kendari bernama Hasmun Hamzah. Komunikasi yang terjadi dengan Hasmun dilakukan oleh Fatmawati Faqih, mantan Kepala BKSAD Kendari yang juga disebut sebagai orang kepercayaan Asrun. Hasmun pun menyediakan uang Rp 2,8 miliar untuk Adriatma, yang kemudian uang itu dipakai Asrun untuk kepentingan kampanye. Keempatnya pun kini telah ditetapkan KPK sebagai tersangka.
Untuk diketahui, akhir januari 2017 lalu, KPK menyita uang dalam pecahan rupiah dan dolar. Uang di Villa inilah, yang kemudian kini menjadi perhatian KPK. Sebab, KPK menduga uang tersebut dikumpulkan dari pengusaha sebagai bentuk gratifikasi.
Pengacara Zola, M Farizi, pernah menyebut asal-usul uang di Villa tersebut.
“Itu merupakan milik Bapak Zumi Zola sebelum menjabat Gubernur, termasuk sisa uang kuliahnya di UK,” ujar Farizi belum lama ini.
Mengenai jumlah uang, Farizi mengakui tidak mengetahui jumlah pastinya berapa uang yang disita KPK dalam brankas tersebut.
“Untuk jumlah pastinya berapa, saya tidak mengetahui, karena itu sisa uang yang dipergunakan keluar dan masuk. Bahkan ada juga uang sisa uang pemberian ayahnya sebagai modal untuk kampanye Gubernur,” ungkapnya.
KPK masih belum membuka ke publik berapa sebenarnya jumlah uang yang mereka temukan dan sita dalam brankas dari vila Zulkifli Nurdin saat penggeledahan akhir Januari 2018 lalu. Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan tim tengah fokus kepada pengumpulan bukti melalui proses pemeriksaan saksi pada tahapan penyidikan.
“Hasilnya tentu sudah dihitung, tapi ada pertimbangan dari penyidik untuk saat ini kami masih fokus terlebih dahulu pada hal-hal yang sifatnya teknis penyidikan,” kata Febri.
Berbagai pihak masih menerka-nerka jumlah uang yang ditemukan di dalam tiga brankas di villa Zola itu. Informasi yang beredar jumlah uang yang disita KPK di nominal 70 miliar rupiah, sebab uang yang disita juga terdapat pecahan Dolar Amerika. “Kabarnya sampai Rp 70 M,”ujar salah satu pejabat Pemprov Jambi MS.
Vila mewah yang terletak di Muara Sabak, tanjab timur itu dibangun atas inisiatif ayahanda Zumi Zola, Zulkifli Nurdin. Sejumlah warga meyakini, bangunan tersebut berdiri tak lama setelah Tanjabtim resmi sebagai kabupaten pada 2000-an. Saat itu, ayahanda Zumi Zola, Zulkilfi Nurdin, masih duduk sebagai Gubernur Jambi.
Pengamat : Dinasti Politik Rusak Birokrasi
Anggota Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Almas Syafrina, mengatakan dinasti politik bisa merusak birokrasi tata kelola pemerintahan di suatu daerah. “Masalah ini bukan hanya dikuasainya akses APBD. Masalahnya di kunci jabatan sentral untuk memutuskan jabatan penting politik ke depan,” kata Almas.
Almas menyebutkan umumnya kepala daerah ditawari posisi menjadi ketua dewan pengurus daerah atau dewan pengurus cabang partai politik. Dengan demikian, mereka akan masuk birokrasi yang ujungnya cenderung koruptif.
Almas menilai cengkeraman dinasti politik di daerah tersebut sangat kuat. Akibatnya, distribusi kekuasaan tidak terjadi.
“Mereka memaknai demokrasi pilkada sebagai alat mereka naik ke kursi kekuasaan,” ujar Almas.
Ia menambahkan, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan bisa jadi dari hasil rapat pemerintah yang didominasi keluarga, sehingga akan mengancam jalannya demokrasi karena tidak ada check and balance.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, menilai, untuk mencegah masifnya dinasti politik, peran penyelenggara pemilu sangat penting. Misalnya dalam hal pencalonan kepala daerah. Mekanisme pencalonan harus diubah.
“Bangun uji publik untuk menentukan calon kepala daerah,” tuturnya.
Fadli mengatakan sejauh ini para pemimpin partai politik memiliki akses yang kuat untuk menentukan kader yang akan maju pencalonan kepala daerah. Menurut dia, mekanisme tersebut harus diubah. Bila perlu, masyarakat berpikir kritis. “Jangan pilih calon kepala daerah yang berasal dari dinasti politik,” ucapnya. (wan)
BACA JUGA: