Pagi itu, udara di kota Jambi yang sejak pekan lalu diselimuti kabut asap, tampak lebih segar dari biasanya. Itu menandakan awal hari yang menyenangkan.
Di simpang Puncak, sebuah penjuru kota yang tak pernah sepi dari keramaian, aroma kopi dan hidangan pagi bertiup dari warung Keko.
Tak cuma jadi favorit para wong cilik, warung ini juga menjadi pilihan pejabat untuk melepas penat—termasuk Irjen Pol (Purn) Syafril Nursal.

Mantan Kapolda Sulteng itu duduk di kursi kayu, mengenakan atasan kaos berkerah dan bawahan jeans.
Di hadapannya, secangkir teh Talua dan sepiring lontong—sederhana, namun merepresentasikan kehangatan suasana.
“Sudah lama saya nggak ke sini, Keko. Yang punya ini teman sekolah saya. Suasananya masih sama, seperti dulu,” ucap Syafril, sambil tersenyum menyapa beberapa wajah familiar di antara pelanggan.
Tak hanya menikmati sarapan, Syafril juga tampak asyik berbincang dengan koleganya—membahas politik, mungkin, atau sekadar gurauan pagi untuk memulai hari.
Sesekali, tangannya bergerak cepat meraih ponsel, menjawab pesan atau menerima panggilan—tanda seorang tokoh yang tak pernah lepas dari tanggung jawabnya.
Namun, di antara semua itu, Syafril tak lupa berinteraksi dengan masyarakat yang juga datang sarapan.
Sebuah tindakan kecil yang mungkin tak tampak signifikan, namun menciptakan aura simpati. Terutama ketika ia dikenal sebagai caleg DPR RI dapil Jambi dari partai Demokrat.
Seakan disutradarai oleh kebetulan, atau mungkin takdir, Buya Suhaimi Chan, Ketua PW Muhammadiyah Provinsi Jambi, juga sarapan pagi di warung Keko.
Syafril bergegas bangkit dari kursinya. Ia mendekati meja Buya Suhaimi.
Mereka bertemu mata, lalu tersenyum, seolah mengetahui bahwa pagi itu tak hanya tentang kopi dan lontong. Tapi juga tentang dialog antar jiwa-jiwa besar.
Buya Suhaimi, dengan sorot mata yang tajam namun penuh kedamaian, duduk berhadapan dengan Syafril.
Dalam hitungan detik, suasana berubah. Jika sebelumnya hangat dan santai, kini ada getar spiritual dan intelektual yang meresap ke setiap sudut ruangan. Mereka terlibat diskusi serius.
“Pak Syafril, tahu tidak, sejarah Muhammadiyah di Jambi dimulai dari tanah kelahiran Anda, Kerinci,” ujar Buya Suhaimi, memecah keheningan.
Kata-katanya bukan sekadar informasi. Tapi sebuah undangan untuk merenung lebih dalam tentang akar dan identitas.
Syafril, dengan mata yang menyala-nyala, mendengar dengan penuh hormat.
Ia seperti sedang mendengar sebuah epos yang melintas waktu. Sebuah narasi yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan.
Dan tak kalah penting, sebuah narasi yang menghubungkan dirinya dengan masyarakat yang ia cintai.
“Itu inspiratif, Buya. Saya sendiri sedang membangun kota santri di Kerinci,” balas Syafril, membagikan visinya yang ambisius namun sarat dengan cinta tanah air.
“Menurut saya, pendidikan karakter dan spiritual adalah fondasi pembangunan bangsa,”jelasnya.
Buya Suhaimi mengangguk, memberi respons positif namun juga penuh kebijaksanaan.
“Visi yang luar biasa, Pak Syafril. Memang, dunia ini butuh lebih banyak tempat-tempat yang memupuk iman dan kebajikan,”kata Buya.
Pagi itu, di warung Keko, dua tokoh besar berdialog. Keduanya membentuk kolaborasi pikiran dan hati yang lebih besar dari sekadar pertemuan kasual.
Ada getaran yang keluar dari pertemuan itu. Getaran yang akan berimbas pada banyak orang, dari keramaian kota Jambi hingga ke perbukitan Kerinci.
Ketika keduanya akhirnya berdiri dan memberikan salam perpisahan, ada perasaan tak terucapkan yang mengisi udara—rasa harapan, kesempatan, dan mungkin, awal dari sesuatu yang akan mengubah banyak kehidupan.
Syafril dan Buya Suhaimi, dua orang dengan latar belakang dan misi yang berbeda, namun pada akhirnya, berdiri bersama dalam visi yang sama: membangun masa depan yang lebih baik.
Yang jelas, pagi itu di warung Keiko, Syafril Nursal bukan hanya sekadar memenuhi perut, tapi juga mempererat relasi dan memanaskan mesin politiknya di tanah kelahiran.(*)