Oleh
Dr Jafar Ahmad
Nama Hamka Sengaja Dihancurkan
Kasus Tenggelamnya Kapal Van der Wijck bukan hanya persoalan sastra, tapi juga persoalan politik. Hamka menjadi musuh utama Lekra, karena disamping sebagai sastrawan, dia adalah tokoh besar Muhammadiyah dan Masyumi. Dua organisasi ini bertentangan dengan PKI dan dalam beberapa kesempatan bermusuhan dengan Soekarno.
Situasi politik di balik kasus tuduhan plagiarisme Hamka memang sedang panas. Kekuatan politik nasional saat itu cenderung ke arah kiri. Pemberontak Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra Barat telah lumat disapu operasi militer pemerintah. Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi)–tempat Hamka pernah beranung– dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang terlibat PRRI, juga sudah dibubarkan Presiden Sukarno.
Soekarno dan Hamka pun berseberangan. Kawan menjadi lawan. Partai Komunis Indonesia dan ormas-ormas terafiliasi sedang di atas angin. Palagan kebudayaan mereka kuasai. Pihak yang berseberangan disebut kontrarevolusioner. Polarisasi amat tegas, antara kawan atau lawan.
Tuduhan plagiat Hamka bukan sekadar kasus kritik sastra, melainkan kegiatan bertendensi politik terhadap Hamka sebagai seorang tokoh Islam, seorang ulama kawakan.
Hamka sendiri sebenarnya banyak diamnya. Ia ogah menanggapi tuduhan itu dengan argumentasi dan pepesan kosong. Ia justru menyerahkan persoalan itu kepada ahlinya.
Kepada wartawan Gema Islam (1 Oktober 1962), Hamka mengatakan bahwa caci-maki dan tuduhan plagiat itu tidak akan menjatuhkannya. Ia mengharapkan agar novelnya yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck itu diteliti secara ilmiah, oleh para ahli sastra untuk menentukan apakah itu hasil curian, saduran, atau asli secara pasti.
Hamka berharap dibentuk Panitia Kesusastraan yang bersifat ilmiah di bawah Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan ia bersedia memberikan keterangan.
Polemik sastra itu hampir “membunuh” Hamka sebagai penulis. Dua tahun dihajar fitnah Lekra, puncaknya Hamka dijebloskan ke penjara. Ia ditangkap lewat fitnah tuduhan terlibat dalam komplotan pembunuhan berencana terhadap Presiden Soekarno dan Menteri Agama Syaifuddin Zuhri. Bahkan saya pernah membaca buku paman saya sekira waktu usia SMP, sekitar 14-15 tahun. Ada satu kalimat yang saya ingat sampai sekarang. Dalam buku itu disebutkan bahwa Hamka pernah terlintas niat untuk mengakhiri hidupnya dengan menyilet tangannya.
Buya Hamka di tahan selama 28 bulan atau 2 tahun 4 bulan lamanya, tanpa diadili dan tuduhan itu belakangan terbukti palsu. Justru, semasa ditahan itulah Buya Hamka menyelesaikan Tafsir Al Azhar yang monumental itu.
Sesuai rencana, Buya Hamka akan menjalani penyiksaan fisik bertepatan ketika meletusnya gestapu yang melakukan kudeta 1 Oktober 1965. Syukurlah…Hamka lolos dari rencana penyiksaan karena gagalnya kudeta itu.
Secara teori memang memburukkan citra itu bisa digunakan untuk memudahkan menekan atau menghancurkan seseorang. Karena mereka yang citranya sudah rusak, bisa saja menjadi musuh publik. Ketika dia dijebloskan ke penjara, publik seolah-olah tutup mata. Barangkali inilah yang terjadi dengan Buya Hamka waktu itu.
Dulu Teman Kini Lawan
Judul ini agaknya tepat menggambarkan dinamika hubungan persahabatan dua tokoh ini : Soekarno dan Hamka. Pertemanan kedua tokoh bangsa ini mengalami pasang surut, pernah menjadi teman seiring, belakangan berakhir seteru dan menjadi lawan.
Perjumpaan Hamka dan Soekarno kali pertama terjadi di Bengkulu. Adalah seorang muslim Tionghoa bernama Karim Oei Tjeng Hien yang mempertemukan dua tokoh ini.
Begini ceritanya.
Berawal ketika Soekarno yang berstatus tahanan politik Belanda, di pindah dari Pulau Ende ke Bengkulu. Semasa di bumi raflesia, Soekarno kerap mendengar cerita dan kiprah Karim Oei, sebagai pengusaha sekaligus aktivis muslim Tionghoa. Bagi Soekarno, Karim Oei memiliki suatu kombinasi unik yang tak pernah ditemuinya di tempat lain.
Selepas berkenalan, keduanya langsung akrab. Apalagi Soekarno melihat cara pandang Karim Oei yang sangat Nasionalis. Haji Junus Jamaluddin, konsul Muhammadiyah untuk Bengkulu dan Sumatera Selatan, mulai sakit parah dan tak bisa melanjutkan tugasnya. Soekarno mengusulkan Karim Oei menggantikan posisi Haji Junus Jamaluddin. Bak gayung bersambut, usul Soekarno diterima.
Keduanya kian akrab. Selama di Bengkulu, Karim Oei memulai usaha baru–membuka perusahaan mebel dan bahan bangunan–Hamka bermuhibah ke Bengkulu, dalam satu misi tugas di Persyarikatan Muhammadiyah, 1938. Bertemulah Hamka dengan Karim Oei, aktivis yang baru saja diangkat menjadi konsul Muhammadiyah di Bengkulu itu. Dari organisasi Muhammadiyah ini pula, keduanya menjadi sahabat karib. Karim Oei takjub dengan sosok Hamka yang brilian dan sudah dikenal sebagai sastrawan.
Di sela-sela mengurus kegiatan Muhammadiyah, Karim Oei mengenalkan sohibnya itu–sang pujangga muda–, kepada Soekarno, aktivis pergerakan. Mereka bertemu di rumah Karim Oei dan berdiskusi hingga dini hari.
Karim Oei mengenalkan Hamka kepada Bung Karno sebagai seorang pujangga yang baru saja menerbitkan roman berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah. Mereka lantas berdiskusi tentang pengalaman masing-masing. Sementara Hamka bercerita tentang pengalamannya semasa di Bukit Tinggi hingga berpetualang sampai ke Mekkah. Soekarno justru lebih banyak bercerita tentang perjalanan hidupnya, yang sudah menduda di umur 22 tahun, lalu kuliah di Bandung hingga menjadi tahanan politik.
Sejak pertemuan pertama itu, Hamka dan Soekarno kian lengket. Mereka menjadi akrab dan menjadi sahabat. Soekarno dan Hamka menjadi sering bertemu, terutama di acara-acara Muktamar Muhammadiyah. Tahun 1945, ketika Soekarno diangkat menjadi Presiden RI pertama, ia mengajak Hamka pindah ke Jakarta. Namun karena terjadi agresi pertama, tahun 1947 permintaan Soekarno sempat tertunda. Setahun berselang, Soekarno berkunjung ke Sumatera Barat dan bertemu Hamka di Bukit Tinggi. Kala itu Hamka menghadiakan sebuah puisi kepada Presiden pertama itu, dengan judul “Sansai juga aku kesudahannya”.
Selepas pertemuan itu, tahun 1949, Hamka benar-benar pindah ke Jakarta. Ia memboyong keluarganya bertepatan dengan penyerahan kedaulatan dari Belanda. Atas peran Soekarno, Hamka diangkat menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Agama. Sebagai tokoh yang ia kagumi, Bung Karno acap kali mengundang Hamka untuk berceramah di Istana Negara, utamanya ketika memperingati hari besar keagamaan. Buya Hamka juga kerap diminta oleh Soekarno untuk mengimami sholat pada peringatan hari besar Islam, seperti Sholat Idul Fitri di Lapangan Benteng.
Awal Seteru
Perselisihan dua sahabat ini muncul kepermukaan ketika rezim Soekarno mulai menunjukkan gelagat membenci partai Islam. Seiring pengaruh PKI mulai kental menghinggapi Soekarno. Bermula dari bergabungnya Partai Sarekat Islam (PSI)–dimana Hamka adalah salah satu anggotanya sejak 1925–, menjadi Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi), yang merupakan partai politik terbesar, tahun 1950. Soekarno diam-diam tak menyukai langkah Hamka yang bergabung ke Masyumi itu.
Untuk menghadang langkah Hamka, Soekarno lantas menerbitkan kebijakan melarang pegawai negeri merangkap sebagai anggota partai. Tujuannya, agar Hamka fokus menjadi pegawai dan meninggalkan Masyumi, yang kala itu amat dibenci PKI.
Di luar perkiraan Soekarno, Hamka justru memilih meletakkan jabatan sebagai pegawai negeri–yang pada waktu itu gajinya merupakan tulang punggung keluarga–, dan malah melanjutkan karir politiknya di Masyumi.
Sebelum mengundurkan diri, Hamka sempat meminta pandangan istrinya, pilihan mana yang hendak diambil, tetap menjadi PNS dan menikmati pendapatan yang pasti atau melanjutkan perjuangan umat melalui parpol. Dengan ketabahan seorang istri pejuang, pendamping hidupnya itu menjawab tegas, “jadi hamka sajalah”.
Karir politik Hamka terus berkibar hingga menjadi juru kampanye Masyumi. Melalui pemilu 1955–yang dinilai sebagai pemilu paling demokratis sepanjang sejarah Republik Indonesia–, Hamka terpilih menjadi salah seorang anggota Konstituante dari Masyumi.
Sejak itu, kedekatan Soekarno dan Hamka kian merenggang. Mereka dipisahkan oleh perbedaan ideologi. Sebagai anggota Konstituante, pada sidang Bandung (1957) Hamka menyampaikan pidato menolak gagasan Presiden Soekarno yang ingin menerapkan sistem Demokrasi Terpimpin.
Dari sinilah benih-benih permusuhan dua sahabat ini kian meruncing. Berdasarkan beberapa analisis Hal itu tidak lepas dari pengaruh PKI yang mulai memperalat secara politik posisi Bung Karno, dan Hamka saat itu aktif di Masyumi, partai yang paling dibenci oleh PKI.
Puncaknya, Dewan Konstituante dibubarkan oleh Soekarno melalui Dekrit 5 Juli 1959. Soekarno kemudian membubarkan Masyumi dengan menyatakannya sebagai partai terlarang pada 1960.
Perseteruannya dengan Presiden Soekarno terus berlanjut. Pada Agustus 1960, majalah “Panji Masyarakat” yang diterbitkan Hamka sebagai corong dakwah islam dibreidel. Hamka lantas ditangkap dengan tuduhan keterlibatan percobaan pembunuhan terhadap Bung Karno dan Menteri Agama saat itu.
Hamka ditangkap pada tanggal 27 Januari 1964, bertepatan dengan awal bulan Ramadhan 1383 H, kira-kira pukul 11 siang. Hamka dijemput di rumahnya, ditangkap dan dibawa ke Sukabumi.
Semasa berseteru dengan Soekarno, nama Hamka dihancurkan, perekonomiannya dimiskinkan, kariernya dimatikan dan buku-bukunya dilarang beredar.
Soekarno Minta Maaf
Malam hari 16 Juni 1970. Berita itu menjadi pembicaraan rakyat dimanapun mereka berada. Jamaah sholat Isya Masjid Agung Al Azhar turut membicaarakan berita wafatnya Soekarno. Selepas Buya Hamka mengimani jamaah di masjid itu, ia bergegas balik ke rumah.
Dua tamu penting sudah menunggu. Tamu penting itu ternyata adalah dua orang pejabat pemerintahan. Mereka adalah Sekjen Departemen Agama, Kafrawi dan Mayjen Soeryo, ajudan Presiden Soeharto. Keduanya bertandang ke rumah Hamka membawa pesan penting dari Bung Karno.
Isi pesan itu adalah “bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam salat jenazahku”.
Mendengar pesan itu, Hamka terkejut. Pesan itu datang seiring dengan kabar kematian Sukarno. Karenanya, setelah menerima pesan itu, tanpa pikir panjang Hamka kemudian melayat ke Wisma Yaso, tempat jenazah Bung Karno disemayamkan.
ampai di sana Hamka mengimani shalat jenazah Soekarno, sosok yang pernah menjebloskannya ke penjara. // Bahkan, Hamka memuji keberhasilan Soekarno yang membangun Masjid Baitul Rahim di Istana Negara dan Masjid Istiqlal.
“Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa itu semua merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Alquran 30 juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk menyelesaikan pekerjaan itu.”
Pram pun demikian, bahkan meminta maaf secara halus, dengan mengirim anak dan calon menantunya untuk belajar Islam kepada Hamka. Menjelang menjemput ajal, Soekarno berwasiat kepada ajudannya untuk meminta kesediaan Hamka menyolatkan mayitnya.
Siapa Hamka?
Nama aslinya Haji Abdul Malik Karim Amrullah, disingkat Hamka. Lahir di Maninjau 1908, tujuh tahun lebih muda dari Soekarno yang lahir 1901. Secara formal, Hamka hanya mengenyam pendidikan Sekolah Desa. Ia memulai mendalami agama di Pondok Pesantren Thawalib, Padang Panjang. Dan belakangan Hamka lebih banyak menghabiskan waktunya dengan belajar sendiri, otodidak. Ia banyak membaca buku dan belajar langsung pada para tokoh dan ulama, baik yang berada di Sumatera Barat, Jawa bahkan sampai ke Mekkah dan Arab Saudi.
Hamka adalah seorang yang mempelajari berbagai ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi, dan politik baik Islam maupun Barat secara otodidak. Tapi jangan salah, meskipun sepintar apapun Hamka, ia pernah ditolak menjadi guru di sekolah Muhammadiyah. Anda bisa baca dalam buku AYAH yang ditulis anaknya Irfan Hamka sebagian dari video ini bersumber dari buku itu.
Ok, kita lanjutkan. Proses belajar secara otodidak sangat ditunjang dengan kemampuan bahasanya, terutama bahasa Arab. Hamka mahir berbahasa Arab. Itu sebabnya, ia dapat meneliti karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah, seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal.
Berkat kemampuannya berbahasa Arab itu juga, dia meneliti karya sastra Perancis, Inggris, dan Jerman, seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti.
Pada 1927 Hamka memang pernah berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Dia tinggal selama 6 bulan di kota tersebut. Selama enam bulan, dia berkesempatan mengasah kemampuan berbahasa Arab, sekaligus mendapat pengalaman menginpirasi dalam menciptakan novel pertamanya yang berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah.
Hamka adalah salah satu orang Indonesia yang paling produktif menulis dan menerbitkan buku. Itu sebabnya Hamka dijuluki sebagai Hamzah Fansuri di era modern. Dia mendapat sebutan Buya, berasal dari bahasa Arab, abi atau abuya, yang berarti ayahku. Itu adalah panggilan yang ditujukan untuk seseorang yang dihormati.
Hamka juga seorang wartawan. Dia menjadi pemimpin redaksi Mingguan Pedoman Masyarakat hingga tahun 1942. // Pada 1932 Hamka pernah menerbitkan majalah Al Mahdi. Ia menikahi wanita sesukunya di Maninjau Siti Raham Binti Endah Sutan pada 29 April 1929.(*)
Dikutip dari chanel video Youtube Dr Jafar Ahmad. Jafar Ahmad adalah doktor ilmu politik yang saat ini menjabat Kepala Ombudsman Perwakilan Jambi.