Untuk maju dan dikenal banyak orang, kampus harus memiliki daya tarik. Menciptakan DISTINGSI adalah salah satu wujudnya. Berikut catatan penting dari perjalanan Prof Dr Suyitno, Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI ke bumi sakti alam Kerinci, Jumat 11 Juni hingga Sabtu 12 Juni 2021.
***
Ini kali kedua Prof Dr Suyitno bersambang ke Kabupaten Kerinci. Kunjungan pertamanya terjadi sepuluh tahun yang lalu. Tepatnya tahun 2010. Kala itu, jabatannya masih sebagai asesor.
Sama seperti dulu. Lawatannya kali ini membawa misi penting; memastikan kemajuan kampus di bawah naungan Kemenag RI. Nah, selama perjalanannya dari Kota Jambi menuju Kerinci, Jumat 11 Juni 2021, Prof Dr Suyitno melipir ke dua kampus Islam.
Kampus pertama yang dikunjungi adalah Institut Agama Islam Nusantara di Kabupaten Batang Hari. Hampir dua jam di sana, Prof Suyitno didaulat menjadi pembicara utama dialog ilmiah, yang dihadiri mahasiswa dan sederet civitas akademika.
Dialog yang mengusung tema “Transformasi PTKIS menuju Smart Kampus” itu tergolong spesial dan langka. Selain dimoderatori langsung Rektor IAI Nusantara Batanghari, Zulqarnain PhD. Turut hadir petinggi dua kampus Islam Negeri di Jambi. Mereka adalah Wakil Rektor II UIN STS Jambi Dr Asad Isma dan Wakil Rektor II IAIN Kerinci, Dr Jafar Ahmad.
Kebetulan, Dr Asad dan Dr Jafar mengiringi perjalanan Prof Suyitno menuju Kerinci. Jadilah dialog itu penuh warna.
Secara khusus, Prof Suyitno bicara panjang lebar tentang bagaimana strategi memajukan kampus. Ia bilang begini.
“Supaya maju dan dikenal banyak orang, IAI Nusantara harus punya distingsi…,”ujarnya, singkat, padat.
Apa itu DISTINGSI?
“Pembeda…”katanya.
Semuanya tertegun. Mereka menyimak takzim tiap kata, bait atau kalimat yang meluncur deras dari Prof Suyitno. Entah awam dengan istilah Dingtingsi. Penulis tidak bisa mereka-reka.
Profesor yang pernah mengenyam masa kuliah di Kampus UIN Raden Fattah Palembang itu lalu menjelaskan makna distingsi. Untuk menjadi berbeda, menurutnya, kampus harus mengeksplore kekhasan atau keunikan.
Bentuknya bisa macam-macam. Tergantung potensi dan kapasitas yang dimiliki masing-masing kampus. Bisa dalam wujud pengembangan budaya lokal, inovasi maupun teknologi. Untuk mendapatkannya, lakukan pemetaan.
“Tonjolkanlah kekhasan anda. Dengan menjadi berbeda, di situlah letak daya tariknya,”ujar Prof Suyitno.
Ia percaya semua kampus pasti punya keunikan. IAI Nusantara pasti punya kekhasan dari kampus lain. Tinggal bagaimana kepiawaian civitas akademika menggali potensi besar itu.
“Tidak menutup kemungkinan IAI Nusantara akan mengejar UIN STS Jambi dan IAIN Kerinci,”seloroh Prof Suyitno.
Karena itu, ia mengingatkan para punggawa kampus untuk selalu mengobarkan semangat kerja keras. Transformasi kampus hanya akan terwujud bila kerja besar itu dilakukan secara berjamaah. Prof Suyitno lantas menukil beberapa ayat dan hadis yang berkenaan dengan soliditas dan kerjasama.
Prof Suyitno juga menyinggung ihwal digitalisasi, yang mau tak mau harus dijadikan alat transformasi kampus. Karena sudah eranya, teknologi dan digitalisasi adalah keniscayaan. Tak bisa ditolak atau dilawan.
Kampus harus menyambutnya dengan gegap gempita. Jadikan teknologi sebagai instrument untuk memajukan kampus.
“Teknologi sudah menjadi semacam kebutuhan. Tak bisa ditawar lagi,”katanya.
Ingatannya langsung menerawang ke beberapa tahun silam. Ia teringat masa-masa kuliah dulu.
“Untuk bimbingan skripsi atau tesis, kita dulu harus bertemu dosen. Begitupula saat di kelas, kegiatan belajar baru terlaksana jika ada tatap muka. Zaman sekarang, bimbingan ataupun kuliah sudah bisa dilakukan lewat teknologi. Jadi, tidak ada alasan lagi untuk terlambat tamat atau terlambat ujian. Semuanya sudah bisa difasilitasi oleh teknologi,”bebernya.
“Kampus harus menggunakan teknologi untuk inovasi pendidikan,”imbuhnya.
Dari arah belakang, seorang mahasiswi, Zakia Fitriani lantas mengacungkan tangan. Ia bergegas bangkit dari kursinya lalu menggamit microphone. Ia melempar sebuah pertanyaan, yang barangkali sudah membuhul di kepala.
“Bagaimana cara kita menghadapi teknologi itu? Terutama akses internet di kampung-kampung yang masih sangat terbatas,”ujarnya.
Pertanyaan mahasiswi Bahasa Inggris ini memang singkat. Tapi, cukup mengena dengan kondisi reasional di lapangan. Faktanya, teknologi selalu berkelindan dengan akses internet. Faktanya, wifi memang belum menjangkau pelosok-pelosok desa. Bahkan, masih banyak desa-desa yang belum memiliki akses listrik.
“Teknologi itu hanya tools,”jawab Prof Suyitno.
“Teknologi harus di pandang semata sebagai alat, bukan tujuan pendidikan. Poros belajar tetap di tangan guru atau dosen. Gunakan teknologi untuk inovasi,”katanya.
Kembali Prof Suyitno mengingatkan peran penting soliditas civitas akademika dalam mewujudkan kampus berkemajuan itu. Semuanya harus berpadu mewujudkan mimpi besar kampus. caranya, upgrade terus kapasitas dosen. Yang belum S3, secepatnya lanjut kuliah. Apalagi Kemenag punya program 5.000 doktor. Beasiswa penuh untuk para dosen di kampus Islam. Dibiayai gratis.
“Sehingga transformasi kampus smart bukan barang mustahil,”tegasnya.
Panggilan untuk sholat Jumat sudah dekat. Acara pun diakhiri. Dialog ditutup dengan foto bersama. Dari Batanghari, Prof Suyitno dan rombongan bergerak ke Kerinci. Di Bangko, rombongan kembali mampir ke STAI Syekh Maulana Qori.
Beberapa jenak di sana, Prof Suyitno berdialog bersama dosen dan civitas akademika kampus. Ia membakar semangat juang mereka dengan sebuah cerita tentang “I Love U”. Seperti apa? Ikuti terus perjalan Prof Suyitno ke Kabupaten Kerinci, Jambi.(Bersambung)