Ganti Rugi Lahan yang Berujung Utang Pemprov
Transfer uang senilai Rp 35,59 Miliar dari PT Wira Karya Sakti (WKS) ke kas Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jambi pada tahun 2012 silam hingga kini masih menjadi misteri. Terbaru, masalah ini diungkit kembali oleh Panitia Khusus (Pansus) 4 DPRD Provinsi Jambi. Pansus 4 yang membahas mengenai Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 2017 dan LHP BPK RI tahun 2018 itu, menemukan fakta bahwa transfer uang dari WKS telah menjadi beban utang Pemprov Jambi.
————————

Ari Kunari
Kota Jambi
————————
BACA JUGA: Utang Samisake Rp 17,5 M
Polemik uang Rp 35 dari WKS ini kembali hangat setelah disorot DPRD Provinsi Jambi. Fraksi Gerindra, yang memulai mengungkit masalah ini dalam pandangan Fraksinya di DPRD. Kini, persoalan uang WKS itu masuk dalam pembahasan Pansus 4 yang dipimpin M Juber.
Data yang berhasil dihimpun Jambi Link dilapangan, uang senilai Rp 35,59 Miliar itu berasal dari kesalahan setor ganti rugi tegakan PT WKS. Kemudian, belakangan ada pula penambahan jasa giro dari PT WKS sebesar Rp 3,2 Miliar. Total ada sekitar Rp 43,79 M utang Pemprov yang berasal dari kesalahan setor PT WKS itu. Masalahnya, uang yang sudah masuk ke kas daerah sejak tahun 2012 itu tidak dapat digunakan.Uang tersebut tidak jelas statusnya, sehingga hanya parkir di rekening kas daerah Provinsi Jambi selama bertahun-tahun. Uang itu kini berada di rekening Bank Jambi.
Masalah lain muncul, karena menjadi temuan BPK RI. Kemudian, telah pula menjadi beban utang bagi Pemprov. Atas kesalahan transfer itu, Pemprov diwajibkan untuk mengembalikannya ke WKS.
Pemprov sudah berusaha membahas kesalahan setor ini pada Pemerintah Pusat melalui Kemenkeu dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Namun anehnya, masalah ini tak pernah tuntas hingga sekarang.
“Kami telah menyurati Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari di Kementerian LH dan Kehutanan untuk meminta petunjuk dan kejelasan. Namun sampai saat ini belum ada jawaban tertulis yang disampaikan kepada Dinas Kehutanan,”ujar Plt Gubernur Jambi, Fachrori Umar saat menyampaikan jawaban dalam pandangan Fraksi di DPRD Provinsi Jambi belum lama ini.
Ketua Pansus IV DPRD Provinsi Jambi, M Juber membenarkan jika Pemprov Jambi memiliki utang kepada pihak ketiga sebesar Rp 43,79 Miliar.
Menurutnya, sebagian utang berasal dari kesalahan setor ganti rugi tegakan PT WKS sebesar Rp 35,59 miliar dan penambahan jasa giro dari PT WKS sebesar Rp. 3,286 Miliar.
Menurutnya, pansus sudah meminta jawaban eksekutife terkait hal itu. Versi eksekutife, persoalan itu kini nyangkut di Pemerintah Pusat. Sebab, uang itu kini sudah ada di kas negara, bukan lagi kas Pemprov.
“Ada surat Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi no: 2-2076/BPIK-Dishut/IV/2017 tanggal 2 juni 2017 perihal tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK RI, untuk meminta petunjuk dan kejelasan kepada Dirjen PHPL Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. Namun sampai dengan saat ini belum ada jawaban tertulis yang disampaikan kepada Dinas Kehutanan Provinsi Jambi,” terang M Juber.
Untuk itu, Pansus IV DPRD akan kembali melakukan konsultasi klarifikasi ke Kementerian LH dan Kehutanan dan Kementerian Keuangan RI serta upaya lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Terkait permasalah itu juga, Kata M Juber, Pansus IV DPRD Provinsi Jambi akan menghadap BPK RI.
“Mungkin hari senin kami mendatangi BPK, apa saran yang dapat diberikan oleh BPK RI terhadap adanya utang pemerintah Provinsi Jambi akibat salah setor tegakan PT WKS sebesar Rp 35,59 miliar tersebut,” pungkas M Juber.
Untuk diketahui, Uang itu ditransfer PT WKS ke kas Pemprov Jambi pada tahun 2012. Gubernur HBA saat itu sempat berkonsultasi dengan Kementerian Keuangan terkait setoran ke kas daerah dari PT WKS tersebut. Uang itu terkait perluasan lahan WKS seluas 2.000 ha di Kabupaten Batanghari, yang berlangsung sejak 2005-2007. Namun hingga Gubernur berganti, masalah ini tetap menjadi polemik.
Masalah uang setoran WKS ini juga sudah pernah masuk dalam radar Kejaksaan Tinggi Jambi. Justru, Kejati yang memerintahkan kepada PT WKS untuk menyetorkan uang pengganti tegakan pohon tersebut. Sebab, tegakan pohon yang dimanfaatkan berada diluar wilayah konsesi PT WKS. Sehingga secara hukum WKS diwajibkan menyetor uang pengganti senilai Rp 35 miliar.
Menindaklanjuti hal itu, WKS sudah memenuhi kewajibannya dengan menyetor uang tersebut pada tahun 2012. Rupanya, setoran uang itu salah prosedur.
Disisi lain, Kejati Jambi diam-diam menyelidiki kasus dugaan penyerobotan lahan yang dilakukan oleh PT WKS di Kabupaten Batanghari, seluas 2.000 hektare di luar konsesi atau diluar izin Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) tersebut. Kejati Jambi bahkan telah memanggil beberapa orang terkait persoalan itu yakni Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi saat itu, Irmansyah Rachman dan beberapa staf lainnya untuk menjelaskan terkait konsensi yang dimiliki oleh PT WKS tersebut.
Dalam kasus ini, Kejati sudah pernah memeriksa sejumlah saksi pada Senin 13 Januari 2014 lalu. Tim penyelidik di Kejati Jambi memanggil lima orang saksi diantaranya Kepala Sub Bidang (Kasubid) di Dinas Kehutan Provinsi Budi Maryanto (bidang bina usaha dan produksi), Wahyu Widodo (bidang penataan kawasan hutan), Agus Riyanta (bidang perlindungan hutan).
Kemudian dua orang lainnya adalah Agus Rizal (bidang bina hutan dan konvervasi alam) dan Erizal (Balai Inventarisasi dan pemetaan hutan). Belakangan, kasus lahan PT WKS di Batanghari ini redup dengan sendirinya.
Kasus ini bermula dari laporan LSM Gemphal ke Kejati Jambi. Dalam laporan tersebut, LSM Gemphal melaporkan PT WKS memegang SK Menhut Nomor 346/Menhut-II/2004 untuk menguasai lahan seluas 293.812 hektare di Provinsi Jambi. Namun, dalam laprannya mereka menemukan indikasi PT WKS menguasai areal di luar izin tersebut, yang diduga berlangsung sejak 2005.
Para aktivis LSM mengaku memiliki bukti pengukuran dengan alat global positioning system(GPS). Mereka menduga kerugian negara akibat sekitar Rp 210 miliar dari penjualan kayu dan Rp 30 miliar dana reboisasi (DR). Angka itu belum termasuk dana provisi sumber daya hutan (PSDH).
Masalah setoran ini kini kembali dibahas oleh DPRD Provinsi Jambi. Seperti sudah dijelaskan, bahwa transfer WKS ini telah menjadi beban utang Pemprov.
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI Perwakilan Jambi 21 Mei 2015 lalu, telah terbit rekomendasi ke Gubernur Jambi saat itu, Hasan Basri Agus, agar memerintahkan Kepala Dinas Kehutanan untuk berkoordinasi dengan Kementerian LHK untuk menyelesaikan status dana Rp35,59 miliar tersebut.
Uang tersebut disetorkan oleh pihak PT WKS dalam dua tahap. Tahap pertama WKS menyetorkan sebesar Rp 15 Miliar dan tahap kedua sebesar Rp15 Miliar pada tahun 2014 silam.
Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Jambi Muslim Rijal pada rapat dengan Komisi II, Selasa 24 Mei 2016 silam, mengatakan, uang tersebut masih utuh di salah satu bank, dan ada buktinya. Selain itu, jumlahnya bertambah menjadi Rp 39 miliar.
Komisi II DPRD Provinsi Jambi saat itu berjanji akan terus menindaklanjuti masalah ini. Apakah ini uang hasil kejahatan apakah tidak. Namun, hingga sekarang persoalan ini tidak pernah tuntas dan malah menjadi utang Pemprov.
Bos PT WKS, Akien dikonfirmasi Jambi Link mengatakan mereka hanya melaksanakan kewajiban untuk menyetor ganti rugi biaya tegakan pohon.
“Jadi bukan utang. Dulu kita diminta untuk setor, sudah kita laksanakan. Rupanya salah prosedur, jadi Pemprov harus kembalikan lagi ke WKS,”singkatnya.
Akien enggan memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai masalah uang tersebut.
“Coba nanti tanya ke Taufik (Humas WKS),”ujarnya.
Sementara, Taufik Humas WKS belum berhasil di konfirmasi. Dihubungi via ponsel tidak dijawab. Pesan SMS yang dikirimkan Jambi Link juga tidak direspon.
Jejak Kasus WKS
Persoalan yang mendera perusahaan dibawah bendera Sinar Mas Group ini tidak pernah berhenti. Terbaru, Yusril Ihza Mahendra ditunjuk sebagai Kuasa Hukum PT Riki Mas Jaya (RMJ) dalam masalah sengketa tanah dengan PT WKS di kawasan Tanjung Jabung Barat (Tanjabbar). Kasus ini sudah masuk dalam persidangan.
Versi Yusril, perseteruan bermula dari pencaplokan lahan seluas 5.000 hektare oleh PT WKS. Menurut Yusril WKS berdalil bahwa lahan itu sudah memiliki izin HTI dan juga tumpang tindih.
“Tapi apa yang dikatakan PT WKS itu tentang izin HTI itu tidak ada. Bisa dikatakan fiktif,” ujar Yusril.
Juga mengenai perjanjian, sambung Yusril, dalam suatu perjanjian itu harus ada objeknya. Jika perjanjian yang telah dibuat objeknya tidak ada maka batal demi hukum.
“Seperti perjanjian membeli motor. Jika motor yang dijanjikan tidak ada maka akan batal dan jual beli tidak ada,” jelas Yusril.
Yusril juga menjelaskan, kedatangan dia dan Maskur Anang, untuk mendengarkan jawaban dari tergugat yakni PT WKS dan beberapa nama lainnya seperti Gubernur Jambi, Bupati Muaro Jambi, Dinas Kehutanan dan Notaris Nova Herawati.
“Sebenarnya perkara ini sudah lama masuk. Minggu kemarin pembacaan gugatan dan hari ini adalah mendengarkan jawaban pada tergugat,” ujar Yusril.
Sebenarnya, sambung Yusril, dalam perkara ini pihaknya tidak menggugat secara langsung pihak-pihak yang terlibat dalam kasus sengketa lahan ini.
“Karena ada beberapa nama-nama itu menjadi statusnya adalah turut tergugat. Seperti notaris Eva Herawati. Jadi mereka sebenarnya bukan lawan kami,” pungkas Yusril.
Kemudian, yang masih hangat terjadi, WKS terlibat perseteruan dengan petani yang tergabung dalam Serikar Mandiri Batanghari (SMB). Terbaru, Pos pengamanan milik PT WKS yang berlokasi di Distrik VIII, Kabupaten Batanghari sempat dibakar massa. Insiden ini terjadi Kamis (21/6/2018) sekitar pukul 14.45Wib. Pembakaran pos pengaman milik PT WKS ini merupakan buntut dari perseteruan antara WKS dan SMB.
Humas PT WKS, Taufik, mengatakan pos yang di bakar tersebut berada di Distrik Delapan yakni Pos 801 oleh massa SMB.
Antara PT WKS dan SMB memang sudah terlibat perseteruan sejak lama. Informasi yang berhasil dirangkum, SMB pada Rabu 25 April 2018 lalu sempat menduduki lahan yang berada di Kecamatan Mersam Kabupaten Batanghari. Lahan itu, versi petani SMB adalah merupakan eks lahan perusahaan Indotani, bukan milik PT WKS.
Tapi, lokasi itu tumbuh pepohonan akasia yang ditanami oleh PT WKS. Versi WKS, lahan itu memang bukan milik mereka. Tapi, pohon akasia itu memang WKS yang menanam. Dasar hukum WKS menanam akasia dilokasi yang disengketa tersebut adalah karena mereka menjalin kemitraan dengan beberapa koperasi.
Lokasi tersebut masuk dalam lahan yang dikelola oleh Koperasi Rimbo Karimah Permai (KRP).
”Setelah kita cek dan verifikasi, ternyata areal itu ada kepemilikan lain. Bukan milik PT WKS. Kenapa disitu ada tanaman Akasia, karena kita bermitra dengan pemilik lahan tersebut,” jelas Taufik, Humas WKS beberapa waktu lalu.
Versi WKS, secara perizinan, areal itu adalah kawasan hutan. Secara perizinan diberikan oleh Kementerian Kehutanan adalah Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang tergabung dalam Lima Koperasi.
Dijelaskan Taufik, pihak WKS melakukan pengecekan menggunakan drone. Selanjutnya dilakukan pemetaan. Ternyata masuk dalam wilayah izin HTR Koperasi Rimbo Karimah Permai yang di Ketuai Muhammad Yusuf Gofar. Dari lokasi koperasi ke areal WKS total 3.100 ha.
Kalau terkait dengan kapasitas WKS disitu, sambung Taufik, karena itu tanaman WKS. Maka itu menjadi aset WKS dan Koperasi. Karena antara PT WKS dan lima koperasi sudah bermitra.
Untuk diketahui, Ratusan warga berasal dari dua kecamatan, yakni Maro Sebo Ulu (MSU) dan Mersam sempat melakukan aksi pendudukan dilahan tersebut Rabu (25/4/2018) lalu.
Salah seorang peserta aksi, Lepiana mengatakan, warga menuntut hak lahan kepada PT WKS untuk mereka bertani.
“Kami ingin hidup. Kami akan terus di sini hingga kami diberi lahan dari pihak perusahaan,” ujar Lepiana sembari menggendong anaknya yang masih berumur 1,5 tahun.
Muslim, yang merupakan ketua dari SMB sekaligus kordinator akai dalam orasinya menyampaikan pihaknya tidak akan bertindak anarkis jika tidak ada yang memancing tindakan terlebih dahulu.
Dalam aksi tersebut ada beberapa poin yang dituntut massa. Diantara tuntutan massa tersebut, pertama, meminta kepada pihak pemerintah agar lahan yang pernah digarap warga sejak 1999 sampai tahun 2006 dan digusur oleh PT WKS pada tahun 2007 hingga 2009 dikembalikan ke petani.
Kedua, PT WKS harus mengganti kerugian petani senilai Rp. 5,8 miliar. Ketiga, meminta kepada Menteri Kehutanan agar mencabut izin PT WKS, karena menimbulkan masalah yang berkepanjangan.
Keempat, meminta kepada TNI, Polri tidak melarang, mengusir, menangkap mayarakat berdasarkan PP Nomor 88 Tahun 2017 Pasal 30 huruf B.p
Kelima, meminta kepada Menteri transmigrasi agar merealisasikan program TSM ( Trans Swakarsa Mandiri) di Batanghari. Tuntutan keenam, meminta kepada Menteri Kehutanan untuk menghentikan program HTR karena diduga mementingkan diri sendiri dan kekayaan pribadi.
Aksi pendudukan lahan yang dilakukan kelompok Serikat Mandiri Batanghari (SMB) di Distrik IV Desa Belati Jaya, Kecamatan Mersam Batanghari membuat PT WKS kalang kabut. Sebab, lahan yang dikuasai SMB tersebut sudah siap panen.
Selain itu, pada tahun 2012 lalu, PT WKS juga pernah terlibat perseteruan dengan petani senyerang. Bahkan, ribuan petani Desa Senyarang, Kabupaten Tanjung Kabung Barat, Provinsi Jambi melakukan aksi demo pendudukan di lahan konflik selama lebih sebulan. Mereka menuntut agar PT WKS segera mengembalikan tanah ulayat mereka.
Aksi pendudukan di lahan sengketa yang dilakukan petani Senyerang, memang membutuhkan keberanian. Ini mengingat pihak perusahaan PT WKS di bawah panji Sinar Mas Group ini juga menurunkan ratusan pengawal termasuk oknum aparat.
Dalam catatan Persatuan Petani Jambi, dugaan perampasan tanah warga ini sudah berlangsung sejak tahun 2001 lalu. Ketika itu ketika Pemerintah Tanjung Jabung Barat mengeluarkan Perda No. 52 tahun 2001 yang disusul oleh terbitnya Adendum SK Menhut No. 64\/Kpts-II\/2001. Kebijakan ini secara sewenang-wenang mengalih-fungsikan 52.000 hektar kawasan kelola rakyat Senyerang dan desa-desa sekitarnya menjadi Kawasan Hutan Produksi, untuk selanjutnya diberikan kepada PT WKS.
Dalam catatan Walhi Jambi, WKS telah menguasai seluas 357.461 hektar lebih tanah Jambi. Wilayah itu tersebar di beberapa kabupaten yakni Tebo, Batanghari, Muaro Jambi, Tanjung Jabung Timur, dan Tanjung Jabung Barat. Perusahaan ini masih menargetkan 432.677 hektar kawasan hutan Jambi untuk perluasan bisnis mereka. (awn)