Kami memanggilnya suhu. Dia pemimpin redaksi yang idealis. Juga keras.
Semasa menahkodai Jambi Independent, tahun 2000an, Joni Rizal kerap membuat awak redaksi tersungut-sungut. Tak sedikit yang kalah mental, langsung menangis tersedu-sedu.
Darinya, kami belajar tentang keuletan. Memburu berita, kata dia, memang harus ulet. Karena prosesnya tak mudah. Jalannya berkelok. Banyak rintangan.
Apalagi harus mengorek informasi tersembunyi. Yang disimpan rapat-rapat.
Bang Joni, begitu kami memanggilnya, mengharamkan awak redaksi cengeng. Tak boleh ada kata menyerah. Apalagi mundur, takluk dan kalah dalam memburu berita.
Ia memimpin dengan agak sedikit otoriter sekaligus disiplin. Untuk berita peristiwa, kasus kriminal misalnya, para jurnalis dituntut segera ke lapangan. Musti cek TKP, istilah untuk Tempat Kejadian Perkara.
Tak sedikit berita kriminal tanpa observasi TKP akan segera masuk ke folder spam. Itulah kenapa beberapa awak redaksi terpaksa sedu sedan. Mereka dipaksa bolak-balik ke TKP demi memeroleh informasi sahih. Dan detail.
Bang Joni membangun awak redaksi yang sangat kuat. Peduli data.
Ketika idealismenya menabrak tembok pragmatis, ia konsisten bahwa bagian iklan tak boleh mencampuri urusan redaksi.
Ia kerap berselisih paham, adu argumen, bahkan berseberangan dengan dewan direksi. Dewan yang selalu punya pertimbangan laba dan meyakini bahwa media adalah usaha bisnis. Di sana ada pertimbangan resiko dan untung.
Bagi bang Joni, suara idealisme musti sejajar dengan pemilik saham.
Jambi Independent pernah sampai di embargo Pemprov Jambi, karena sebuah berita. Bang Joni memimpin perusahaan pers, yang harus mempertimbangkan aspek idealis dan bisnis. Tapi ia tak pernah ragu. Apalagi takut.
Ia mengajarkan kami batas antara redaksi dan iklan. Ada bara api, katanya. Pada saat mana kebenaran memang harus diungkapkan, apapun resikonya harus dilalui. Baginya, kebenaran itu tak bisa selamanya dikubur.
Ia mengajarkan awak redaksi untuk tak menghamba pada kekuasaan. Keberpihakan pers adalah untuk kepentingan publik. Sikap keras itu membuatnya harus menepi dari pucuk pimpinan redaksi.
Api semangat itu kembali menyala beberapa tahun silam. Bang Joni menginisiasi lahirnya Jambi Leaks. Saya termasuk salah satu yang diajak terlibat. Satunya lagi Bang Asriadi, juga eks wartawan Jambi Independent, kini menjadi komisioner KPID Provinsi Jambi.
Bertiga, kami merancang program investigasi dengan model kolaborasi. Jambi Leaks menjadi rumah besarnya.
Leaks memang merujuk pada istilah Wikileaks. Merupakan organisasi media yang berfungsi sebagai clearing house yang berisi informasi-informasi rahasia.
Ide besar Jambi Leaks memang mengarah ke sana. Bedanya, kasus yang dibongkar Jambi Leaks sudah tersaji dalam bentuk berita.
Kendati skalanya hanya lokal Jambi. Jambi Leaks didesain menjadi corong untuk membongkar skandal dan kejahatan tersembunyi di Provinsi Jambi. Kami memilih jalan ini sebagai sebuah ikhtiar, karena belum ada media di Jambi yang fokus pada liputan investigasi.
Mulanya kami memanfaatkan kediaman pribadinya, di kawasan Mayang, sebagai markas. Rapat-rapat kecil mulai digeber.
Bahan liputan perdana yang harus diulas Jambi Leaks menjadi topik penting dibahas. Mulai dari kasus pajak tambang Batu Bara, Pemerasan dari ruang pasien, kasus sebuah properti ternama di Jambi hingga skandal bisnis di Muaro Jambi.
Semuanya menyangkut kepentingan orang banyak. Tentu saja menarik dibongkar. Tapi, mana yang duluan diluncurkan menjadi bahasan serius. Dari berbagai pertimbangan, liputan perdana Jambi Leaks mengerucut ke skandal bisnis di Muaro Jambi.
Kami mulai merancang liputan bersama. Walau senior, Bang Joni tak pernah memosisikan sebagai bos. Semua yang terlibat mendapat peran sama. Bahkan, kami ikut mengumpulkan data, dokumen dan wawancara narasumber secara bersama.
Dari seorang pejabat, kami memeroleh cerita penting ihwal bisnis di Muaro Jambi itu. Wawancara berlangsung di sebuah hotel, di Kota Jambi.
Seperti laiknya penyidik, Bang Joni mulai menggali informasi dari pejabat itu. Sementara saya lebih banyak menyimak, mendengar, duduk di muka komputer jinjing, sambil mencatat hasil wawancara.
Pejabat itu membongkar bagaimana bisnis tersebut sudah bermasalah sedari awal. Sang pengusaha rupanya memaksa memanfaatkan kawasan itu meski menabrak aturan tata ruang.
Lalu, sebagian wilayahnya beririsan pula dengan cagar budaya, percandian Muaro Jambi.
Kami juga memeroleh salinan dokumen yang berisi ikhtiar sang pengusaha melobi pemerintah pusat hingga pemerintah lokal untuk merubah tata ruang.
Si pejabat tadi bahkan bercerita pernah dititipi sebuah tas, yang berisi rupiah. Kompensasinya supaya menerbitkan surat persetujuan pengelolaan lokasi untuk kawasan industri. Ia mengaku menolak tas itu karena takut. Sebab kejahatannya sangat terang benderang.
Kami terus memetakan siapa saja aktor yang bermain. Dari proses investigasi, terjejak beberapa pejabat lokal, sekelas kepala daerah, hingga oknum menteri bahkan oknum purnawirawan jenderal di belakangnya.
Lokasi yang akan dijadikan lahan bisnis juga sedang bersengketa.
Kami berhasil melacak si pengusaha yang menjadi pelaku utama. Mereka ada dua orang. Satu pengusaha keturunan tinggal di Jambi. Satunya lagi pengusaha keturunan asal Medan.
Mereka join untuk membangun kawasan industri itu.
Fakta lain yang membuat kami terperangah, kawasan industri itu sudah dijual di Luar Negeri sana. Ingat kasus reklamasi Jakarta? kasusnya hampir mirip.
Pun soal pelabuhannya. Dari observasi di lapangan, kami menemukan proses reklamasi pelabuhan menyalahi aturan. Pasir yang dipakai menimbun lokasi pelabuhan, disedot dari Sungai Batanghari yang ditengarai ilegal.
Dari instragram, kami juga melacak perkembangan bisnis ini. Belakangan, kami menemukan sejumlah warga protes karena ganti rugi lahan di sana belum beres.
Fakta-fakta lain terus saja terkuak seiring proses penggalian data itu berlangsung.
Untuk memperkuat data, verifikasi berlapis kami lakukan. Kami misalnya, sampai berulang-ulang mengecek apakah tanda tangan di dokumen surat perintah itu betul-betul pejabat A. Walaupun kami tahu di dokumen itu tertera namanya.
Seorang tokoh politik sempat mensupport ide besar Jambi Leaks. Ia menghibahkan sebuah rumah toko miliknya, sebagai markas.
Tapi, gagasan Jambi Leaks belum bisa mewujud. Seiring kesibukan masing-masing, proses liputan investigasi yang membutuhkan keuletan, termasuk biaya, menjadi alasan klasik kerja besar ini mandeg.
Saya bahagia mendengar Bang Joni dipercaya memimpin redaksi koran Metro Jambi. Sebuah koran lokal yang tetap eksis di tengah wafatnya banyak koran serupa.
Metro Jambi pastilah akan fokus memperkuat dapur redaksinya dengan keberadaan Bang Joni. Karena inilah kapasitas utamanya. Dia yang mengajarkan kami tentang pentingnya kekuatan tulisan dan tangguhnya investigasi.
Mungkin ide investigasi Jambi Leaks itu akan menyala di sana. Semoga!
Awin, seseorang yang pernah menjadi murid jurnalis bang Joni.