Jakarta – Harga minyak mentah berjangka jenis Brent pada perdagangan Selasa atau Rabu pagi WIB sedikit melemah 23 sen menjadi US$ 83,42 per barel setelah diperdagangkan dari posisi tertinggi US$ 84,23 sebelumnya. Sebelumnya, pada Senin lalu, harga minyak acuan global itu mencapai US$ 84,6, tertinggi sejak Oktober 2018.
Adapun harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS untuk pengiriman November naik 12 sen ke level US$ 80,64 per barel setelah bergerak di kisaran US$ 81,62 dan US$ 79,47. Sehari sebelumnya, WTI menyentuh level tertinggi sejak akhir 2014 di US$ 82,18.
Kendati berakhir dengan sedikit beragam setelah sebelumnya bergejolak, harga minyak mentah berada di tingkat yang lebih tinggi di atas US$ 80-an per barel. Sebelumnya reli yang telah membawa harga emas hitam ke level tertinggi multitahun telah meningkatkan kekhawatiran bahwa biaya energi yang lebih tinggi dapat menggagalkan pemulihan ekonomi global.
Merespons hal itu, pihak berwenang dari Beijing hingga Delhi bergegas mengisi kesenjangan pasokan listrik pada hari Selasa kemarin. Kesenjangan pasokan listrik ini yang kemudian mengguncang pasar saham dan obligasi global di tengah kekhawatiran bahwa kenaikan biaya energi akan memicu inflasi.
Dalam beberapa pekan terakhir harga listrik terpantau melonjak ke rekor tertinggi. Hal ini dipicu oleh kekurangan di Asia dan Eropa, dengan krisis energi di Cina diperkirakan akan berlangsung hingga akhir tahun. Pertumbuhan ekonomi terbesar kedua di dunia dan eksportir utama itu diperkirakan bakal terimbas.
Sementara di London dan Inggris tenggara, sepersepuluh stasiun bahan bakar minyak (SPBU) tetap kering karena pembelian panik bahan bakar pada bulan lalu, kata Asosiasi Pengecer Bahan Bakar Minyak.
Analis di Price Futures Group di Chicago, Phil Flynn, menyebutkan bahwa banyak orang mulai menyadari bahwa risiko harga energi yang lebih tinggi dapat menggagalkan pertumbuhan. “Apakah permintaan energi itu baik atau buruk?” katanya.
Adapun Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan gangguan rantai pasokan yang terus-menerus dan tekanan inflasi bisa menghambat pemulihan ekonomi global dari pandemi. Hal itu disampaikan saat lembaga itu memangkas prospek pertumbuhan untuk Amerika Serikat dan kekuatan industri lainnya.
Dalam World Economic Outlook, IMF memangkas perkiraan pertumbuhan global 2021 menjadi 5,9 persen dari perkiraan 6 persen yang dibuat pada bulan Juli. IMF mempertahankan perkiraan pertumbuhan global 2022 tidak berubah di 4,9 persen.
Bahkan, saat permintaan meningkat, Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak dan produsen sekutu, yang dikenal sebagai OPEC+, tetap berencana memulihkan produksi secara bertahap daripada secara cepat. Harga minyak Brent telah melonjak lebih dari 60 persen tahun ini. (*)