Oleh :
Alven Stony
Saya langsung kaget begitu menerima kabar ini : Kota Sungai Penuh peringkat satu paling tidak aman dari seluruh Pilkada serentak 2020 di Indonesia. Begitu juga pada saat Pilpres dan Pilkada Kerinci, Kerinci 10 Besar wilayah tidak aman, Potensi Crash atau gesekan yang menganga lebar menjadi indikator utama penilaian Bawaslu.
Anggaplah data ini benar. Tentu saja itu menjadi kabar duka bagi kita, utamanya warga Jambi, wabil khusus kami orang Kerinci.
Sudah dari dulu, disamping terkenal dengan alamnya yang ciamik–sehingga dijuluki sekepal tanah surga–. Kerinci, yang melingkupi wilayah administratif Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh, sudah dikenal warganya yang ramah, jika mampir silaturahim ada semacam kewajiban harus makan dulu baru boleh pulang, namun akhir-akhir ini sejak trompet Demokrasi ditiupkan melalu Pilkada, kita etnis Kincai sangat dikenal orang yang mudah tersulut amarah, kerap dijuluki orang bersumbu pendek. Emosinya meletup-letup, apa akar masalahnya?
Padahal, cap itu tak sepenuhnya benar. Etnis Kerinci sebetulnya ramah-ramah.
Nah,
Yang menjadi pertanyaan kenapa potensi gesekan di Kerinci bisa tinggi?
Dari pengamatan saya, ada beberapa faktor penyebabnya.
Pertama karena kemiskinan.
Ketimpangan sosial di Kerinci sudah seperti bumi dan langit. Jarak sosial antara si kaya dan miskin sudah sangat jomplang. Ini kerap memicu kecemburuan sosial.
Faktor kedua adalah rasa frustasi yang kian meninggi. Frustasi itu dipicu oleh masalah ekonomi tadi. Mereka merasa tak punya lagi harapan akan masa depan. Hidup mereka hanya tergantung dari ladang dan sawah, yang luas arealnya terus menyempit saban tahun.
Separuh wilayah Kerinci yang berselimut Taman Nasional itu membuat kehidupan warga kian nelangsa. Mereka tak memeroleh apa-apa dari hutan itu, hal ini perlu dipertanyakan TNKS yang menghidupi paru-palu dunia dan tetangga kita yang berlimpah sumber daya alam, apa kompensasinya bagi Rakyat, adakah yang mengalir dana konpensasi Hutan tropis tersebut kepada Rakyat?
Selanjutnya adalah keringnya amal ibadah. Dominannya dorongan dan cakar-cakaran memburu materi membuat mereka menjauh dari nilai-nilai agama. Lain pihak Materialisme yang dipertontonkan oleh sebagian elit sebagai Pemicu aja mumpung , bisa ditengok dari didikan anak-anak usia sekolah, yang kini sudah jauh dari nilai religiusitas. Karakter baik yang menjadi dasar tabiat orang kerinci hampir terkikis drastis.
Berikutnya adalah kualitas pendidikan. Posisi Kerinci di bidang pendidikan kini sudah bergeser ke nomor buntut. Padahal, dulu, Kerinci terkenal sebagai pencetak orang-orang hebat dan pintar. Mereka selalu unggul dalam konteks kualitas pendidikan.Tapi, kondisi kini jauh berbeda.
Kemudian masalah lainnya, Pemimpin formal dan pemimpin informal tidak pernah lagi hadir dalam kehidupan masyarakat. Mereka baru hadir ketika masalah dan gesekan sudah terlanjur meletus.
Para pejabatnya kini seakan seperti pemadam kebakaran. Datang saat api sudah berkobar.
Lima masalah itu, setidaknya menjadi momok dan ancaman di masa depan. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana perang saudara kembali pecah, antara Semerap dan Muak, awal pekan lalu dan tahun lalu antara Pentagen vs Sleman, Tanjung Pauh dan Kuning begitu banyak deretan konflik yang terjadi, seakan menjadi ancaman bagi siapa pun Komando Keamanan jika gesekan tersebut tidak terselesaikan dengan baik kini dan kedepan
Gesekan ini akan terus terjadi jika lima akar masalah tadi tak segera dirumuskan. Dicari solusinya.
Aparat keamanan akan terus dihinggapi ancaman gesekan, yang kadang bisa dikendalikan, dalam kondisi tertentu pasti tak akan terkendali, seakan akan korban nyawa dan harta dianggap selesai dengan sederhana saja
Sebagai orang Kerinci diperantauan, saya, kita semua tentu sangat malu. Tapi, kita tak bisa menyalahkan warga. Karena akar masalahnya tak pernah dibereskan, oleh semua pemimpin yang diberi amanah di sana.
Para komandan pemerintahan seperti sibuk dengan urusan pribadi dan keluarganya. Sibuk menimbun pundi-pundi materi keluarga dan pendukungnya saja.
Karena itu, wajib hukumnya, bagi warga Kerinci untuk memilih pemimpin yang benar. Pemimpin yang bisa menjadi moderator inspirator bagi masa depan rakyatnya, untuk mengakselerasi kepentingan masyarakat.
Pemimpin yang telinganya menyentuh bumi, mau mendengar keluh kesah warganya. Pemimpin yang hatinya terpaut kepada warga, Pemimpin yang mendengar bisikan hati nuraninya, bukan bisikan emosional hawa nafsu setan
Tawaran Solusi
Setidaknya ada beberapa tawaran pertimbangan solusi dari saya.
Pertama, Kerinci membutuhkan pemimpin formal dan informal yang bijaksana, mau mengayomi semua pihak, bukan mengayomi segelintir pendukungnya.
Kedua, memperkuat fungsi pemimpin adat. Caranya dengan memberi insentif dari APBD dalam rangka memperkuat kelembagaan adat untuk melindungi masyarakat atau keluarga komunitas terdekat. Sehingga mereka benar-benar fokus dan hadir sebagai pimpinan adat dalam menyelesaikan masalah.
Ketiga, perlu adanya sinergisitas antara aparat hukum dan lembaga adat. Tidak semua persoalan di akar rumput bisa diseret ke ranah hukum. Yang bisa dibereskan secara adat, tak mesti diboyong ke penegak hukum.
Menggunakan hukum formal secara membabi buta di Kerinci, bukan malah menyelesaikan persoalan. Justru dapat memicu konflik yang lebih luas.
Sebab, orang kerinci umumnya punya keterkaitan persaudaraan. Jika hukum formal yang langsung diterapkan, itu akan menghancurkan tatanan kekeluargaan itu sendiri.
Selanjutnya menggulirkan program untuk memperkuat basis ekonomi kerakyatan. Masyarakat harus didorong dan disupport dengan sentuhan ekonomi.
Kita sangat prihatin atas ancaman gesekan yang kapan saja bisa meletus. Warga seakan mudah tersulut amarah.
Tapi, bukan berarti persoalan itu tak bisa dibereskan. Semoga pemimpin kedepan adalah mereka yang betul-betul mengerti masalah sosial dan kebutuhan rakyat.(*)
Penulis adalah orang Kerinci, Pembina Pesantren Ummul Quro Kota Santri Internasional Kerinci.