Jambi, sebuah provinsi yang dikenal dengan keindahan alam dan budayanya, kini sedang menghadapi cobaan besar: sebuah kemarau panjang yang telah memberi dampak signifikan pada sejumlah wilayah, khususnya Kota Jambi. Di tengah suasana yang semakin menegangkan, kisah ini mencoba menangkap potret keseharian warga Jambi dalam menghadapi krisis ini.
Sungai Batanghari, yang biasanya memenuhi kebutuhan hidup banyak orang, tampak jauh dari normalitas. Tingkat curah hujan yang rendah telah meredam semangatnya, menyeret debit airnya ke angka yang alarmant. Pada Senin, 18 September, debit sungai hanya mencapai 7,80 meter—angka yang lebih rendah dari hari sebelumnya yang mencapai 8,24 meter dan jauh di bawah angka normal minimal 9 meter.
Syahruddin, penjaga di Pintu Air Ancol, Kota Jambi, dengan wajah cemas, melaporkan, “Kami sedang menghadapi situasi yang sangat kritis. Debit Sungai Batanghari telah mencapai level yang sangat rendah.”
Tak hanya itu, penurunan debit ini sudah mulai terasa di masyarakat. Kekeringan merayapi setiap sudut Kota Jambi, mempengaruhi kualitas hidup warganya. Pasokan air bersih semakin langka, dan keluhan warga menjadi suara yang tak lagi bisa diabaikan.
Pelayaran di Sungai Batanghari, yang biasanya lancar, juga terganggu. Kapal tongkang besar dan kecil menghadapi tantangan tersendiri. “Kapal tongkang kecil hanya bisa melintas pada malam hari saat pasang. Siang hari, itu tidak memungkinkan karena kondisi air yang surut,” ungkap Syahruddin lagi, menyiratkan urgensi masalah ini.
Beberapa faktor telah berkontribusi pada krisis ini, salah satunya adalah surutnya air laut. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah bahwa kondisi ini diperkirakan akan terus berlanjut jika tidak ada hujan yang cukup dalam waktu dekat.
Krisis ini tak hanya menjadi pembicaraan di kota tetapi juga sebuah panggilan untuk aksi yang mendesak. Memasuki pekan-pekan ke depan, sangat penting bagi pemerintah dan warga Kota Jambi untuk berkolaborasi dalam mengatasi dampak kekeringan yang semakin parah ini.
Ini bukan hanya tentang debit air sungai atau kapal yang tidak dapat melintas, ini tentang keberlangsungan hidup suatu komunitas. Di tengah perubahan iklim yang tidak bisa diprediksi, kekeringan ini mungkin hanyalah salah satu dari banyak tanda bahaya yang mendatang. Apa yang akan dilakukan Kota Jambi untuk menavigasi masa depan yang penuh ketidakpastian ini? Waktulah yang akan menjawab.
Kehidupan di Kota Jambi, dan di banyak tempat lainnya, semakin tergantung pada langkah-langkah adaptif dan proaktif yang diambil sekarang. Menghadapi kemarau yang membayangi, setiap tetes air menjadi simbol harapan, setiap aksi menjadi tonggak perubahan.(*)
