Oleh: Riyan Ripaldi
Menjelang perhelatan hari anti korupsi sedunia (HARKODIA) pada tanggal 9 desember nanti dengan mengusung tema membangu kesadaran seluruh elemen bangsa dalam budaya antikorupsi nampaknya akan menjadi sesuatu yang sangat ironi bagi negeri ini. Sebab dua pekan terakhir ini sudah 2 menteri dari kabinet indonesia maju periode jokowi-maaruf menjadi tersangka kasus korupsi dimasing-masing kementrian tempat mereka bertugas untuk melayani rakyat sebagaimana janji mereka sewaktu disumpah oleh Presiden Joko Widodo. Pihak-pihak yang tertangkap bisa dikatakan sebagai kelas kakap.
Peristiwa penangkapan kedua menteri tersebut menjadi menarik karena komisi pemberantasan korupsi yang selanjutnya disebut KPK menjadi buah bibir kembali, pasalnya pada saat revisi Undang-Undang KPK banyak perdebatan-perdebatan yang menganggap bahwa KPK akan menjadi lemah serta ruang gerak untuk memburu para tikus tikus kantor yang makan uang negara menjadi tidak agresif lagi. Namun hal itu dibuktikan dengan gebrakan operasi tangkap tangan (OTT) setelah lama “libur” dengan menangkap menteri kelautan dan perikanan Edy Prabowo melalui OTT dibandara soetta beberapa waktu yang lalu. Dengan dakwaan tindak pidana korupsi dugaan izin ekspor lobster. Lebih lanjut, yang tak kalah hebohnya adalah kasus korupsi dana bansos covid-19 oleh Menteri Sosial Juliari P Batubara, pasalnya ditengah keadaan indonesia yang krisis ekonomi dan rakyat membutuhkan bantuan dari pemerintah untuk menyambung kehidupan dikarenakan covid-19 yang membelenggu kehidupan selama berbulan bulan malah dikorupsi serta dinikmati untuk kepentingan pribadi. Sebelum tertangkapnya politisi partai PDIP ini rupanya sudah terlebih dahulu 3 pebajat di kementrian sosial sudah diciduk KPK.
Menanggapi tertangkapnya kedua menterinya presiden jokowi, melalui twettnya diakun twiternya bahwa ia tidak akan melindungi siapapun yang terlibat korupsi. Tetapi menurut ahli hukum pidana Refly Harun pernyataan jokowi ini hanya normatif saja atau sederhananya basa basi saja. menurut penulis penyataan presiden itu pun hanyalah gertakan saja atau retorika ketegasan saja.
Menteri korupsi, hukuman pidana tak bikin jeraa ?
Korupsi merupakan perbuatan yang sangat tercela dan merugikan orang banyak. Nabi muhammad saw saja bersabda bahwa bila aisyah (anaknya) mencuri maka ia sendiri yang akan memotong tangannya. Begitu tegas tindakan dan kerasnya pernyataan nabi tersebut bila kita jadikan pedoman untuk kehidupan kita sehari-hari bahwa tak akan segan memotong tangan anaknya sendiri apabila ketahuan mencuri (korupsi). Namun dari sabda nabi tersebut banyak para pejabat di negeri ini tidak menyadari akan hal itu, padahal sebagaian dari mereka adalah orang orang yang berpendidikan tinggi, tapi tampaknya dengan banyaknya gelar tidak membuat mereka sadar diri akan mana saja hak dan kewajiban serta mana saja mana yang halal dan haram untuk mereka.
Dengan masih adanya menteri yang melakukan tindak pidana korupsi merupakan salah satu indikator bahwa hukuman bagi koruptur di indonesia tidak berfungsi, ini menandakan bahwa tidak berfungsinya hukuman pidana yang pernah dijatuhkan kepada pejabat korup tidak membuat mereka membuka mata mendengar dengan telinga untuk tidak melakukan korupsi dalam bentuk apapun. Senada dengan hal tersebut, mengutip teori dari Sun Tzun “ sang jenderal adalah pelindung negara, ketiga sang pelindung utuh, tentu negaranya kuat, Kalau sang pelindung cacat tentu negaranya lemah.” artinya jenderal ini adalah pemimpin ( presiden) merupakan seorang pemimpin yang harus tampil seutuh mungkin, sederhananya bila ungkapan presiden diatas tadi merupakan cita-cita hidup berbangsa dan bernegara maka harus dilakukan seoptimal mungkin dalam menanggapi kasus korupsi yang semakin merebak dikalangan pembantunya baik itu respon yang konsekuen,komitmen dan konsisten , ya memang bukanlah tugas yang mudah, tapi bagaimanapun untuk itulah tugas bersama agar negara ini tetap berdaulat dalam segi penegakan hukumnya.
Hukuman mati bagi koruptor : Apakah bisa?
Merujuk pada undang-undang No 31 tahun 1999 Jo undang-undang No 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi , hukuman mati sebenarnya tercantum diawal undang-undang. Di pasal 2 ayat 2 bahwa “dalam tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Dalam lampiran penjelasan pasal per pasal diundang-undang ini, dijelaskan bahwa maksud dari keadaan tertentu ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku korupsi, sederhananya bila pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional,sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Dengan begitu hukuman mati dapat dijatuhi kepada koruptor apalagi saat ini pandemi covid-19 sudah ditetapkan sebagai bencana no alam. Lantas bisakah diterapkan diindonesia untuk hukuman mati ini ?
Jawaban dari pertanyaan diatas sudah dinyatakan oleh pemerintah telah sepakat pada hukuman ini, jauh sebelum pandemi pemerintah sudah serius dalam menegakkan aturan hukum bagi koruptor. Namun, dalam penerapannya, hukuman terberat ini tak pernah terlihat karena hakim tak mau menetapkannya. Disi lain Hukuman mati ini menyeruak lagi ke permukaan saat ketua KPK mengatakan bahwa ia minta kalau ada yang tertangkap maka diancam hukuman mati. Akan tetapi hukuman mati untuk koruptor hanyalah retorika semata dan tidak sesuai dengan norma-norma diindonesia.
Hadirnya narasi hukuman mati bagi koruptor ini menuai berbagai pro dan kontra baik dikalangan elit diatas sana maupun masyarakat ukur rumput dibawah. Misalnya saja kontra datang dari ketua DPR RI mengatakan bahwa hukuman mati bagi koruptor itu melanggar HAM dan meminta hal itu dikaji kembali,pungkasnya. Ada juga dari lembaga Institute for criminal justice reform(ICJR) menentang wacana hukuman mati sebagai pemberantasan korupsi di indonesia, mereka menegaskan penggunaan pidana mati tidak pernah menjadi solusi akar masalah korupsi, serta meminta agar pemerintah lebih baik fokus pada visi pemberantasan korupsi dengan memperbaiki sistem pengawasan pada kerja pemerintah. Khusunya dalam penyaluran dana bansos dan kebijakan pandemi lainnya.
Sebagai akhir dari opini saya kali ini, sudah seyogyanya sistem penegakan hukum bagi koruptor adalah dengan memiskinkan mereka dengan mengambil semua uang-uang negara yang telah dikorupsi serta menyita aset dan uang mereka sebagai bentuk keseriusan dalam menangani hal ini. Karena para koruptor adalah takut miskin bukan takut mati. Kita lihat saja bahwa sudah banyak para koruptor divonis pidana hukuman penjara tetapi kurungan penjara sangat singkat ada yang 1,5 tahun dan 2 tahun, terlebih lagi dipotong dengan remisi-remisi maka tidak terasa jera mereka dipenjara, apalagi dengan uang yang banyak koruptor bisa membeli semua fasilitas dipenjara dan sudah banyak juga terjadi tapi kita tidak akan masuk kedalam pembahasan tersebut. Dengan demikian, segudang keinginan agar korupsi diindonesia ini yang sudah hampir membudaya bisa secara bertahap dan berjenjang disetiap lapis di lembaga pemerintah bisa berkurang dengan semakin meningkatkan sadar diri sadar akan kekuasaan itu hanya sebentar dan kuatkan mental untuk tidak mengambil yang bukan hak kita agar tidak menari nari diatas penderitaan orang lain. Akhirnya apakah nanti saat hari H perhelatan hari anti rasuah sedunia kelak merupakan kado manis yang membanggakan ataukah kado manis namun memahitkan ? jawabannya hanya pribadi masing-masing yang bisa menjawabnya.