Jakarta – Biasanya, Ramadan dan Idul Fitri selalu dipenuhi cerita melambungnya sejumlah harga kebutuhan pokok. Selama puluhan tahun drama lonjakan harga nyaris menjadi kisah klasik yang mulai diterima publik sebagai sesuatu yang wajar. Tapi tahun 2017 publik dibuat kaget.
Tapi pada Ramadan 2017 tak ada kenaikan harga bahan pokok yang mencekik leher. Kestabilan harga pangan yang terjadi pada 2017 adalah buah kerja keras Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. Namun ia bilang, banyak kementerian lain yang terkait dalam mewujudkan harga yang tetap stabil, bukan hanya kementeriannya.
Tahun ini, meski sempat di awal Ramadan harga-harga terdengar mulai meroket, Enggartiasto segera menetapkan solusi. Harga kembali stabil dan stok kembali melimpah. Mampu menstabilkan harga saat Ramadan dan Idul Fitri jelas menjadi catatan perjalanan yang jelas sangat baik, padahal ia baru memimpin kementerian ini pada Juli 2016. Mantan Ketua Real Estate Indonesia ini diangkat menggantikan Menteri Perdagangan sebelumnya, Thomas Lembong.

Politisi Partai Nasdem ini berjanji akan berjuang mati-matian agar tak ada lonjakan harga yang membuat ibu-ibu menjerit. Ia mengaku turun langsung ke lapangan dan mengumpulkan masukan, juga berhari-hari melakukan pertemuan dengan para pemangku kepentingan, termasuk pedagang untuk menetapkan Harga Eceran Tertinggi atau HET.
Apa saja yang dilakukan Enggar? Bagaimana ia mampu membuat laporan dari daerah menjadi lebih cepat diterima? Apa terobosan yang ia lakukan di kementeriannya? Jumat, (8/6/2018).
Berikut petikannya:
Menjelang akhir Ramadan dan Idul Fitri, Kemendag berhasil menstabilkan harga pangan. Sebenarnya apa yang dilakukan Kemendag hingga fluktuasi harga tak tajam?
Sampai dengan hari ini pasti harga stabil dan kalau kita lihat juga dari pengumuman BPS maupun dari PHPI dari Bank Indonesia, lebih baik dari tahun lalu, dari BPS. Kita yakin asal tidak ada framing berita. Pemberitaan yang menggiring untuk naik, Insya Allah ini tidak akan naik. Walaupun kita tetap waspada karena ada libur panjang. Ini yang barangkali kita harus lebih hati-hati lagi.
Tapi, menghadapi itu, sampai dengan hari ini staf kami ada 205 orang berada di pasar di berbagai daerah, di kota, kabupaten dan mereka berada di lapangan berkeliling ke pasar setiap hari bersama dengan Satgas Pangan dan bersama juga dengan Dinas Perdagangan setempat dan didukung oleh Bulog yang memantau ketersediaan barang dan harga. Kalau terjadi kekurangan stok maka segera akan komunikasi dengan kantor pusat.
Bagaimana koordinasinya?
Kami telah membagi koordinasi eselon I kita, tanggung jawab, jadi ada korwil-korwilnya. Eselon I bertanggung jawab atas beberapa daerah, dan dengan demikian memudahkan komunikasi dari staf yang ada di lapangan, jika stok menipis, untuk kemudian kita mengambil keputusan untuk mendrop barangnya.
Nah, Bulog sendiri sudah menyiapkan cadangan beras, sehingga pergerakan itu cepat. Jadi tidak usah ada kekhawatiran. Insya Allah ini bisa terkendali harganya.
Sepertinya upaya yang Anda lakukan sekarang berhasil memangkas jalur-jalur birokrasi?
Ya, tapi untuk kita yang utama adalah, ketersediaan, barang itu harus tersedia. Ini bicara hukum suplai dan demand. Jadi kita tidak boleh ada kekurangan dan kemudian kita juga tidak mau dipermainkan. Jadi harganya kita pastikan tetap terkendali.
Selama ini Ramadan dan Idul Fitri adalah waktu dimana fluktuasi harga naiknya gila-gilaan? Tapi Anda berhasil mengatasinya?
Iya, kecuali 2017. Kita sudah melalui perjalanan 2017. Syukur Alhamdulillah, kami sudah bisa mengendalikan ini, karena itu (lonjakan harga) adalah sesuatu yang tidak biasa. Tidak benar, tetapi menjadi biasa karena itu rutin berjalan. Seperti yang disampaikan bahwa ini kan Ramadan ini naik. Nah, kita bisa buktikan bahwa itu 2017 tidak naik. Tidak ada gejolak harga. Sekarang pun sampai dengan hari ini, syukur Alhamdulillah tidak terjadi kenaikan harga. Tetapi kami belum selesai, kami akan ikuti terus. Karena sebenarnya tidak ada alasan untuk naik.
Kalau ada kenaikan sedikit kita masih bisa ditolerir, tetapi itu kenaikan seperti tahun-tahun lalu, lonjakan tinggi. Itu tidak ada alasan. Dan itulah perintah Presiden dari awal, menjaga kestabilan harga. Coba, apa alasannya menaikkan harga tinggi? Ini kan hanya permainan sesaat saja dan kita kan tidak bisa mentolerir itu, dan akhirnya kemudian membebani rakyat. Nah ini tugas kami untuk mengendalikan sehingga dengan demikian inflasi pun kita bisa dikendalikan.
Jadi sepertinya kenaikan harga ini memang ada permainan. Siapa yang bermain dalam urusan ini?
Ya, namanya orang dagang, orang punya usaha, kalau melihat permintaannya tinggi, lalu dinaikkan. Tahun lalu kita ajak bicara seluruh stakeholder. Cukup panjang kita lakukan itu. Dan ternyata sebenarnya dengan dialog kita bisa meyakinkan mereka. Kita berbicara dengan para pengusaha, tetapi diiringi dengan ketersediaan barang, ini kita bisa jalan
Sebenarnya dialog dengan keterbukaan itulah yang bisa jalankan. Saya belajar dari pak Jokowi, pada waktu beliau memindahkan pasar loak-nya di Solo. Waktu itu beliau melakukan lebih dari 100 kali pertemuan dengan para pedagang. Mereka diajak bicara, diyakinkan dengan sangat telaten. Akhirnya berhasil, dan kemudian pindah pasar itu sampai ada arak-arakan dan tidak ada gejolak.
Memindahkan pasar bukan suatu pekerjaan yang mudah, hampir rata-rata gagal, dan timbul reaksi. Tapi ini (Jokowi) tidak ada reaksi dan tidak ada kegagalan. Disambut dengan satu prosesi bahkan. Jadi kita itu melihat atau belajar dari beliau. Beliau juga menceritakan dan menyampaikan itu. Jadi buat saya, kalau ada hal yang kita bisa tangkap dan kita bisa pelajari, maka kita lakukan.
Artinya ada satu sistem yang dipangkas oleh Kemendag untuk membuat harga stabil?
Sebenarnya kita menggunakan jaringan yang sama, kita hanya siap kalau seandainya kurang maka kita langsung turun. Nah, jaringan distribusi yang ada itu kita ajak bicara. Terutama pasti yang saya ajak bicara adalah produsen, D1, D2, begitu juga dengan ritel modern, memang ada yang terpangkas, tapi kita lakukan dari awal.
Sejak awal kita pangkas, bukan mendadak. Kita tidak bisa melakukan pemangkasan begitu saja di dalam mekanisme pasar, tidak bisa langsung. Karena jaringan itu sudah tercipta. Si pedagang yang di D4 atau D5 dia ada ketergantungan dari berikutnya. Coba kita datang ke pasar ditanya, ‘ini bawang dari mana?’ misalnya.
Dia akan menyebut sumbernya. Apakah ini dari Brebes atau dari Nganjuk dia bilang ‘saya terima dari situ’. Kemudian tiba-tiba dipangkas, dia akan kaget, karena dia sudah ketergantungan, karena dia masih ada hutang, ada kewajiban, dan sebagainya. Dan biasanya orang berdagang kan punya kenyamanan sendiri pada supliernya. Saya biasa menerima dari si A, untuk langsung dipotong dia, bukan suatu pekerjaan yang mudah. Apakah dijamin keberlangsungan suplai itu sendiri.
Apakah ada resisten dari mereka yang terkait ini, karena kan ini seperti memotong mata rantai?
Ya, resistensi pasti di awalnya. Namanya orang dikurangi untungnya pasti ada yang tidak suka. Kalau mau ambil contoh, gula misalnya, yang rata-ratanya Rp15 ribu Kemudian saya turunkan jadi Rp12.500 itu bukan resisten lagi, marah mereka. Karena kalau konsumsi 3 juta ton, artinya Rp9 triliun. Beban itu yang kita potong dan itu reaksinya cukup besar. Tapi itu harus kita hadapi dengan kita meyakinkan dan kita bicara dan yang pasti adalah sisi suplainya harus kita siapkan. Tanpa itu enggak mungkin.
Kenaikan beras yang sempat terjadi, ya pasti naik karena suplainya kurang. Tetapi sekarang saya berani sampaikan bahwa tidak usah ada kekhawatiran, karena suplainya berlebih. Kemarin itu berkurang. Itu aja.
Suplainya ini, impor atau tetap produk lokal?
Dua-duanya. Kalau sekarang kita harus akui bahwa pada waktu awal tahun, dari suplai lokalnya kita kekurangan. Kalau kita tidak ada impor maka kita akan ada kekurangan beras. Belum pernah terjadi dalam sejarah di Republik ini ada kekurangan seperti itu. Ini kenyataan yang harus kita akui, tetapi itu bisa kita atasi dengan impor.
Jangan lupa tahun 2013-2014, impor beras kita berasa di kisaran 3,5 juta ton. Tahun 2015-2016, 1,5 juta ton impor beras, untuk mengisi kekurangan. Saya tidak akan mungkin impor kalau stoknya ada.
Jadi agar harga stabil, Anda memilih menjaga supaya stok selalu tersedia dan tak sampai kosong?
Nah iya, kalau stoknya tidak ada, ya kita harus impor. Jangan pernah kita bermain-main dengan perut. Karena kalau bermain-main dengan perut, catatlah sejarah perjalanan bangsa ini dan bangsa-bangsa di dunia akan timbul gejolak sosial, akan timbul chaos, pada saat kita lapar. Dan saya tidak mau mengambil risiko itu. Apa pun akan saya lakukan demi pangan yang harus kita sediakan. Mau dari mana datangnya itu nomor dua. Kalau stoknya ada, kita tidak akan impor, gitu aja.
Bulog bilang bahwa data pangan itu tumpang tindih. Bagaimana Mendag melihat data pangan dari data yang tumpang tindih ini?
Saya melepaskan penilaian dari data. Ya pas waktu saya cek ternyata kurang, saya impor, gitu saja. Kan kita barangnya enggak ada, makanya harga naik. Kenapa harga naik diintervensi tapi tidak bisa? karena uangnya tidak ada. Nah sekarang kalau ada barangnya kan bisa intervensi dan harga turun.
Ke depan nanti ada upaya untuk menyamakan data?
Satu, data yang boleh kita pegang hanya satu, dari BPS. Dan bapak Presiden sudah memerintahkan BPS.
Terkait impor beras kemarin publik sempat membandingkan, impor terjadi ketika sedang panen raya? Bagaimana menjelaskan ini?
Panen raya, panen itu setiap hari ada. Tetapi bagaimana kategori panen raya itu sebesar apa. Jadi tidak ada korelasinya antara impor beras dengan nasib petani, enggak ada korelasinya. Berapa pun hasil panen, kita serap. Pasti diserap. Karena ada juga peraturan yang mengatakan kalau harganya di bawah patokan, maka bulog wajib menyerap. Jadi tidak usah ada kekhawatiran itu. Tidak ada korelasinya, dan kami Pemerintah pasti tidak akan mengimpor.
Keputusan impor itu adalah keputusan Rakor Menko Perekonomian yang dihadiri oleh Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan, kemudian Dirut Bulog, juga dari Deputi Meneg BUMN. Itulah keputusannya. Diputuskan dan menugaskan Bulog untuk melakukan impor.
Itu rakornya di bulan apa?
Oh sudah lama, Desember 2017, itu sudah diputuskan nah kemudian dilakukan lah itu. Jadi, Februari kalau tidak ada impor, kita akan ada kekurangan. Sekarang, kita cukup. Sekarang sudah lebih dari 1,4 juta ton. Jadi itu yang kita bilang. Belajar dari tahun lalu, kita sekarang tenang, tidak ada soal. Dulu kalau ditanya saya tidak mau jawab.
Kebijakan impor kerap dikaitkan dengan kemandirian bangsa. Terlalu banyak impor dianggap menjual harga diri. Menurut Anda?
Impor itu bukan sesuatu yang haram. Ambil contoh Vietnam. Dia adalah negara importir gabah, dia impor gabah. Tapi dia juga impor beras, dan dia ekspor ke Indonesia, ke China, ke Filipina, dan Thailand. Dia impor juga, dan dia ekspor juga. Daging, di kita itu cuma ada satu kata yaitu impor. Jadi kita ada impor, juga ada ekspor.
Kalau sekarang saya tidak mau impor produk orang lain, ya mereka juga bisa bilang “saya juga tidak terima impor anda.” Jadi harus ada timbal balik. Hidup itu tidak bisa hanya semata-mata menang sendiri. Kita harus ada give and take. Kalau memang kita butuh ya kita impor.
Misalnya?
Saya ambil contoh dengan Palestina, dia tanya apakah hanya kurma saja dengan minyak zaitun atau olive saja yang kita impor. Enggak. Karena perintah bapak Presiden kita dukung Palestina. Kita dukung bukan hanya politik, tapi kita dukung ekonominya. Saya bilang apa pun yang anda punya, kita kasih zero tarif impor. Jadi silakan. Sejauh itu ada marketnya di Indonesia silakan, dan saya langsung sampaikan. Karena itu adalah perintah presiden untuk mendukung Palestina.
Nah penjabaran dukungan itu saya implementasikan dalam bentuk impor. Termasuk di dalam WTO, saya perintahkan duta besar kita di WTO untuk memperjuangkan supaya dia jadi anggota di situ. Lalu Palestina juga meminta, tolong juga kirim barang-barang ke Palestina. Nah sekarang itulah yang kita pertemukan. Itulah dagang.
Pada awalnya dagang sederhana begitu. Hanya sekarang kita hitung-hitungan dengan negara lain. Seperti sekarang membuat perjanjian dengan negara Australia, apa yang saya mau, apa yang dia mau, kita susun. Itu perjanjiannya. Tetapi, sekali lagi, kalau kita bisa memproduksi, kita tidak akan (impor), pasti tidak akan. Kita pasti akan menjaga petani. Itu impor pun petani dijaga kok. Walaupun harga barang impor lebih murah dari barang produksi di sini. Ya itu adalah sesuatu yang lain lah. Itu yang bagian produksi.
Tetapi sekali lagi. Saya hanya melakukan di Rakor Menko Perekonomian yang dihadiri Mentan, Mendag dan Dirut Bulog ada kekurangan yang harus kita isi. Thats it. (*)
Sumber: viva.co.id