Dari Manipulasi Suara Hingga Intimidasi
JAMBI – Hari ini Rabu 27 Juni 2018 masyarakat Jambi di tiga daerah (Kota Jambi, Merangin dan Kerinci) menggunakan hak politiknya untuk memilih Kepala Daerah di Pilkada serentak 2018. Selain politik uang, ada kerawanan yang memungkinkan terjadinya kecurangan di hari pencoblosan. Kecurangan itu berada di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
BACA JUGA: Kerinci Daerah Paling Rawan

Berdasarkan data yang dihimpun Jambi Link dilapangan, titik penting dalam pemilu adalah momen saat di TPS. Di sana paling rentan terjadi main-main. Namun, bila permasalahan di TPS sudah beres, akan lebih mudah melakukan perbaikan data jika ditemukan kecurangan.
BACA JUGA: Melawan Politik Uang dengan Operasi Intelijen
Setidaknya ada beberapa titik rawan terjadinya kecurangan di TPS. Pertama adanya kemungkinan ada yang mencoblos dua kali. Kemungkinan ini bisa saja terjadi karena sejak awal DPT sudah dikondisikan untuk calon tertentu atau data DPT bermasalah. Kemudian bisa saja pencoblosan dilakukan oknum KPPS. Kecurangan di TPS selalu melibatkan KPPS dan tak mungkin dilakukan satu oknum saja. Minimal tiga petugas TPS yang terlibat.
Kedua suara sisa dipakai semua, seolah-olah seluruh pemilih datang. Ada banyak faktor menyebabkan warga enggan datang ke TPS. Apalagi jika sejak awal sengaja ada oknum yang memecah pemilih sehingga seseorang justru terdaftar di TPS yang jauh dari rumahnya. Harapannya, banyak orang yang malas mencoblos. Warga yang tidak datang mencoblos ini, kemudian surat suaranya tetap dipakai oleh petugas KPPS untuk memenangkan kandidat tertentu. Atau dengan memanfaatkan undangan yang tak disebar atau sudah mengincar sejumlah surat suara yang telah “dipesan”, KPPS pun akan mencoblosnya sendiri.
Ketiga intimidasi saksi oleh sekelompok tertentu terhadap saksi dari wilayah lain. Keempat Serangan “Dhuha-Zuhur”, yaitu memanfaatkan momen-momen kritis saat pemilih mulai sepi di TPS. Maksudnya, pada momen Dhuha dan Zuhur ini, pencoblosan itu dilakukan sendiri oleh KPPS karena waktu sepi saat jeda istirahat antara selesainya proses coblosan dan akan masuknya penghitungan suara. Saksi harus mengawasi semua anggota KPPS saat jeda atau makan ini. Karena itu sangat penting.
Terakhir adalah intervensi saat penghitungan suara. Biasanya terjadi saat masa penghitungan suara atau ketika anggota KPPS menuliskan perolehan suara di kertas plano besar (formulir/form C2). Juru tulis biasanya memanfaatkan kelengahan saksi saat pembacaan hasil. Sebab, biasanya saksi terpaku pada calon yang dia bela saja. Jadinya, mudah saja menambahkan suara ke lawan. Atau ada intimidasi terhadap saksi yang ada di TPS sehingga dia tidak berani protes.
Kemudian, beberapa hal lain yang patut di awasi adalah saat penyusunan berkas acara (mengisi form C1). Form C1 inilah yang memegang peran krusial. Sebab, kelak dalam rekapitulasi di tingkat panitia pemilihan kecamatan (PPK) hingga KPU, berkas form C1 itulah yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung, bukan surat suara. Di form tersebut terdapat data mengenai jumlah surat suara, surat suara sah, surat suara tidak sah, hingga sisa surat suara. Sering kali sisa surat suara bisa dikurangi sehingga ada tambahan puluhan atau ratusan surat suara yang bisa di-entry untuk memenangkan salah satu calon.
Setelah “bermain-main” di DPT dan TPS, inilah saatnya mendulang suara pada saat rekapitulasi. Caranya ialah menyiasati habis-habisan mekanisme rekapitulasi yang ada.
Begini prosedurnya. Dari TPS, rekap suara langsung dilakukan di PPK (tingkat kecamatan). Namun, entry data dilakukan PPS (petugas setingkat kelurahan). Entry data itu dilakukan dengan melihat C1 dan membuka kertas plano penghitungan. Dalam pelaksanaannya, entry data tersebut dilakukan secara manual di komputer, sebelum hasil rekapitulasi per PPS dipaparkan untuk penyusunan C1 di tingkat kecamatan.
Dengan mekanisme seperti itu, banyak penyiasatan yang bisa terjadi. Modus pertama, KPPS bekerja sama dengan PPS. Setelah penghitungan suara di tingkat TPS kelar, anggota KPPS langsung menghubungi anggota PPS dan menyebutkan telah melakukan penambahan sisa surat suara misalnya. Maka, anggota PPS yang sudah ikut bermain langsung menyiapkan plano pengganti yang sesuai dengan form C1 akal-akalan dari TPS tersebut. Jadi, plano asli dari TPS dibuang dan sudah disiapkan kertas plano baru untuk rekap di tingkat PPK.
Yang kedua adalah saat entry data. Petugas entry data kadang asal memasukkan angka. Misalnya, beralasan mengantuk, seorang petugas entry data memasukkan angka yang seharusnya 475, jadi 4747. Ketika dipergoki, alasan ngantuk dan angka 47-nya kepencet dua kali. Itu bisa saja terjadi.
Kelemahan ketiga ialah langsung memasukkan data ngawur. Misalnya, di tingkat PPK tiba-tiba jumlah surat suara yang tidak sah menurun. Misalnya 5 ribu jadi 4 ribu. Tim sukses pun pasti kelabakan mengeceknya karena harus membuka satu-satu lagi data per TPS. Belum kelar mengecek, tiba-tiba proses sudah selesai dengan alasan waktu. Pihak KPU atau PPK tinggal mempersilakan tim pemenangan yang tak puas untuk melapor ke panwas.
Terkadang tujuan pencurangan-pencurangan tersebut bukanlah mencuri suara sebanyak-banyaknya. Namun hanya mencocokkan setting suara yang sudah dibuat sebelumnya.
Sementara, Badan pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mendapati ada beberapa variabel kerawanan di TPS saat perhelatan Pilkada serentak tersebut. Bawaslu mendefinisikan kerawanan sebagai peristiwa yang mengganggu pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara yang berdampak hilangnya hak pilih, mempengaruhi pilihan pemilih, dan mempengaruhi hasil pemilihan.
Pertama, kerawanan akurasi data pemilih. Bawaslu menemukan 91.979 TPS berpotensi tidak mencatatkan pemilih yang memenuhi syarat atau sebaliknya, tidak memenuhi syarat, tetapi masuk daftar pemilih tetap (DPT).
Kedua, kerawanan penggunaan hak pilih. Sebanyak 80.073 TPS masuk kategori ini. Indikatornya terkait akses pemilih disabilitas, jumlah pemilih tambahan yang melebihi 2,5%, dan berbagai permasalahan di TPS wilayah khusus.
Ketiga, kerawanan netralitas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS). Bawaslu menemukan 5.810 TPS rentan dengan masalah netralitas petugasnya. Adanya kemungkinan penyalahgunaan atau hilangnya hak pilih seseorang karena suatu hal. Setidaknya terdapat 80.073 TPS atau sekitar 21% TPS yang dianggap rawan dalam variabel tersebut. Ada tiga indikator yang dilihat dalam variabel ini yaitu keberadaan pemilih disabilitas, terdapat jumlah pemilih DPTb di atas 20 pemilih dalam satu TPS, serta TPS di wilayah-wilayah khusus seperti sekitar rumah sakit, daerah pegunungan, daerah yang sulit terjangkau dan lain sebagainya.
Keempat, kerawanan kampanye. Variabel ini meliputi praktik penggunaan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dalam bentuk mempengaruhi pemilih atau hasutan berdasarkan sentimen primordial tersebut. Sebanyak 10.735 TPS masuk kategori kerawanan ini.
Kelima, kerawanan pemungutan suara. Sebanyak 40.574 TPS berpotensi bermasalah karena tidak terdistribusinya formulir C6, lokasi TPS terletak di dekat tim sukses, kelemahan pengetahuan KPPS, dan masalah logistik. Setidaknya terdapat 40.574 TPS atau 10% TPS yang rawan kehilangan suara pemilih karena hal-hal prosedural dan kondisi dalam pemungutan suara. Ada empat indikator yang dilihat oleh Bawaslu RI yaitu formulir C6 yang tidak didistribusikan kepada pemilih di TPS, TPS berada di dekat dengan posko atau rumah tim sukses pasangan calon, ketua dan anggota KPPS tidak mengikuti bimbingan teknis, serta ketersediaan logistik yang masih kurang.
Kemudian ada pula kerawanan politik uang. Politik uang masih menjadi kerawanan yang patut diwaspadai dalam pemilihan umum di Indonesia, meskipun kini jumlahnya semakin sedikit. Setidaknya Bawaslu menemukan sekitar 26.789 TPS atau 7% TPS yang rawan politik uang.
Kerawanan ini dinilai dari lima indikator yaitu terdapat aktor politik uang di sekitar wilayah TPS, terdapat praktek pelanggaran berupa pemberian uang atau barang pada masa kampanye, terdapat relawan bayaran calon kepala daerah yang tinggal di wilayah TPS, terdapat praktik mempengaruhi pemilih untuk memilih atau tidak memilih berdasarkan SARA di sekitar TPS, atau terdapat praktik menghina dan menghasut di antara pemilih terkait isu SARA di sekitar TPS.
Selanjutnya, netralitas KPPS juga menjadi titik rawan. TPS yang dianggap rawan karena adanya ketidaknetralan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di tingkat TPS. Bawaslu melihat terdapat setidaknya 5.810 TPS atau sekitar 1% TPS di mana terdapat petugas KPPS yang mendukung pasangan calon tertentu. Provinsi Papua adalah daerah dengan TPS rawan netralitas terbanyak, yakni sejumlah 1.877 TPS.
Ketua Bawaslu Abhan mengatakan variabel dan indikator kerawanan tersebut didapat dari pengumpulan informasi pengawas pilkada tingkat desa sepanjang 10-22 Juni 2018. Kendati dikumpulkan di masa kampanye, tetapi temuan tersebut harus menjadi perhatian selama masa tenang.
“Sejak masa tenang Minggu kemarin, jajaran Bawaslu melakukan pengawasan. Kami akan bekerja maksimal,” ujarnya, Senin (25/6/2018).
Badan Pengawas Pemilihan Umum mewaspadai 26.789 tempat pemungutan suara atau TPS rawan politik uang menjelang pencoblosan pemilihan umum kepala daerah serentak 2018. Untuk itu Bawaslu meningkatkan fokus pengawasan dan perhatian lebih terhadap TPS yang terindikasi rawan dengan melakukan strategi pencegahan dan penindakan.
Strategi pencegahan yang dilakukan menjelang pemungutan suara adalah patroli pengawasan, koordinasi dengan pemangku kepentingan di setiap daerah Pilkada, dan konsolidasi antara penyelenggara Pilkada.
“Pengawas Pemilu juga telah menyediakan tata kelola penindakan cepat jika ditemukan adanya laporan potensi pelanggaran selama pemungutan dan penghitungan suara berlangsung,” kata Mochammad Afifuddin, komisioner Bawaslu.
Bawaslu pun mengajak masyarakat pemilih untuk melaporkan setiap potensi pelanggaran terutama terkait dengan hak pilih, politik uang, dan politisasi SARA.
“Laporan tersebut dapat disampaikan kepada Pengawas pemilihan dengan disampaikan langsung atau melalui aplikasi Gowaslu,” himbaunya.
Afif melanjutkan, KPU menjamin pemenuhan hak pilih terhadap pemilih yang mengalami kendala sebab tidak terdaftar, padahal memiliki KTP Elektronik atau Surat Keterangan.
KPU juga menjamin untuk mempermudah pemilih yang terdaftar di DPT dalam melaksanakan hak pilihnya secara benar dan jurdil.
Selain itu, Bawaslu juga merekomendasikan KPU untuk memaksimalkan distribusi Surat Pemberitahuan Memilih (C6) kepada pemilih yang berhak menerimanya, dan menyampaikan secara langsung hingga satu hari menjelang pemungutan suara untuk semakin menjamin hak pilih dan meningkatkan partisipasi pemilih.
Rekomendasi selanjutnya, KPU menjamin nama-nama yang terdaftar di DPT yang Tidak Memenuhi Syarat (TMS), untuk tidak disalahgunakan siapapun dengan menandai nama-nama pemilih yang TMS tersebut dan disampaikan ke Pengawas Pemilihan dan Saksi Pasangan Calon.
“KPU menjamin ketersediaan Surat Suara di masing-masing TPS untuk menghindari kekurangan jumlah dan kendala distribusi surat suara di wilayah pemilihan yang terdapat di Rumah Sakit/Puskesmas, Rumah Sakit Jiwa, Rumah Tahanan, dan Lapas, untuk menjamin hak pilih secara optimal,” katanya.
Selain itu, berdasarkan data pelanggaran pemilu legislatif yang dihimpun Bawaslu hingga 25 Mei, terdapat 3 jenis pelanggaran yakni pelanggaran administrasi, pidana dan kode etik. Laporan terkait pelanggaran administrasi yang masuk ke Bawaslu 7.722 kasus. Pelanggaran pidana 665 kasus. Pelanggaran kode etik 65 kasus. Dari jumlah itu tidak semua kasus ditindaklanjuti.
Menurut Dewan kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), kecurangan pemilu juga bisa dilakukan oleh penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu. Kecurangan umumnya dalam bentuk menambah atau mengurangi hasil perolehan suara untuk calon tertentu yang bekerja sama dengan calon terkait.
“Modusnya penyuapan kepada petugas dengan rupa-rupa,” kata anggota DKPP Nur Hidayat Sardini.
Ada juga modus di mana petugas penyelenggara pemilu di tingkat bawah atau lapangan, mempengaruhi atau mengarahkan pemilih agar mau memilih calon tertentu. “Itu masuknya pelanggaran hak pilih,” terang Nur Hidayat.
Modus lainnya, lanjut Nur Hidayat, misalnya abuse of power atau penyalahgunaan jabatan. “Ya sama seperti mengintimidasi (pemilih).”
Kecurangan pemilu lainnya yang paling ditakutkan adalah penghitungan dengan sistem Information Technology (IT). Guna mencegah kecurangan itu terjadi, diminta masyarakat untuk menjaga perolehan suara nanti. Dia juga mengingatkan agar para saksi benar-benar melihat dan menghitung dengan baik Formulir C-1.
Tak hanya mengawasi secara ketat di TPS, Sekjen Kopipede Mochamad Farisi mengatakan, kecurangan juga dapat diatasi dengan pengamanan berlapis untuk setiap kotak suara dari TPS ke KPU Pusat.
“Pertama laporan tertulis hasil penghitungan suara di TPS difoto dengan handphone oleh petugas dan saksi, langsung dikirim ke KPU Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat melalui MMS,” ujarnya.
Setelah itu, lanjutnya, kotak suara yang dibawa langsung ke kabupaten tanpa melalui kelurahan dan desa, harus terus dalam pengawasan kepolisian.
Menurutnya, tempat yang paling rawan terjadi penggelembungan suara yakni di kelurahan atau desa dan kecamatan. Tempat ini harus diwaspadai karena pengawasannya lemah. (akn)