Oleh Yulfi Alfikri Noer S.IP., M.AP
KETIKA Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi Khalifah pada dinasti Bani Umayyah, pada hari Jumat tanggal 10 Shafar tahun 99 Hijriyah, menggantikan khalifah Sulaiman bin Abdul Malik, beliau menangis terisak-isak. Di dalam tangisnya, Umar mengucapkan kalimat, Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un, sambil berujar, Demi Allah, sungguh aku tidak meminta urusan ini sedikitpun, baik dengan sembunyi-sembunyi maupun dengan terang-terangan. Persoalannya sekarang adalah seberapa banyakkah pemimpin kita pada masa ini yang mempunyai semangat, roh dan motivasi seperti Khalifah Umar bin Abdul Aziz? Sebab, fakta menunjukkan, justru banyak diantara pemimpin kita yang hanya bijak menjadikan khalifah Umar sebagai alat, simbol dan slogan politik, tetapi cara berfikir, kebijakan yang berlaku dan tindakan yang dilakukan, justru sangat jauh dengan apa yang dilakukan oleh Umar bin Aziz. Semangat menjadi pemimpin serta gairah merebut jabatan dan kedudukan, tidak sebanding dan sejalan dengan apa yang dia lakukan setelah terpilih. Kekuasaan, jabatan dan kedudukan bukan lagi dipandang sebagai suatu amanah mulia yang harus dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT, tetapi lebih banyak dipergunakan untuk kepentingan pribadi, keluarga dan kelompok. Bahkan yang paling hebat dan mengagumkan adalah orang yang mengenali Allah kemudian mendurhakai Nya, mengenali setan kemudian mengikutinya, mengenali dunia kemudian condong kepadanya.
Revolusi “Mental” para pejabat publik adalah suatu ikhtiar menuju pemerintahan yang bersih (clean government). Upaya ini bukan semata-mata bermaksud untuk melakukan perubahan sistem, namun juga perubahan signifikan pada moralitas yang dikedepankan para pejabat publik. Asumsi ini berdasar pada argumentasi bahwa sistem tetap memiliki ketergantungan terhadap siapa yang mengatur atau menjadi penguasanya. Sebagaimana ungkapan man behind the gun, sistem sebaik apapun, tanpa ada mekanisme kontrol yang kuat dari masyarakat, tetap bisa diselewengkan oleh penguasa. Bahkan, sistem bisa diciptakan oleh penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Begitu juga dengan posisi jabatan para birokrat. Persoalan klasik yang melanda dunia birokrasi kita sepertinya masih saja sulit untuk dituntaskan. Selama ini, jabatan dalam birokrasi pemerintahan masih merupakan sesuatu yang sangat menarik dan bahkan menjadi primadona bagi sebagian kalangan birokrat. Oleh karena itu, biasanya berbagai cara dan upaya juga pasti akan dilakukan dalam rangka mendapatkan suatu jabatan, termasuk dengan melakukan suap menyuap. Jabatan sering dijadikan sebagai bisnis yang menggiurkan oleh para kepala daerah. Sementara para birokrat menganggap hal demikian sebagai sesuatu yang tidak asing lagi. Kondisi inilah yang membuat birokrat busuk menemukan ruang untuk menjalankan praktik kotor. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kasus yang menjerat kepala daerah, 1) Bupati Klaten, Jateng, Sri Hartini, yang terjaring operasi tangkap tangan KPK di rumah dinasnya bersama sejumlah orang dan juga disita barang bukti berupa uang Rp. 5 M yang diduga uang suap mutasi jabatan di lingkungan Pemkab Klaten; 2) Bupati Nganjuk, Taufiqurrahman, menerima uang suap jual beli jabatan sebesar Rp. 298 juta. Suap terhadap Taufiq diduga terkait pengisian sejumlah posisi seperti kepala sekolah SD, SMP dan SMA; 3) Bupati Jombang, Nyono Suharli Wihandoko, terjaring dalam operasi tangkap tangkan KPK terkait perizinan penempatan jabatan di Pemkab Jombang. Total uang suap yang diberikan kepada Nyono sebesar RP.275 juta; dan 4) Bupati Cirebon, Sunjaya Purwadisastra, terjaring dalam operasi tangkap tangan KPK, Sunjaya diduga mematok setoran dalam mutasi jabatan di lingkungan Pemkab Cirebon. Patokan setoran untuk beragam mutasi jabatan, seperti lurah,camat hingga kepala dinas. Mulai dari puluhan juta hingga ratusan juta.
Kenyataan ini membuktikan praktik makelar jabatan masih terjadi di birokrasi kita. Bahkan, pucuk pimpinan di daerah menjadi aktor utama jual beli jabatan. Dengan kewenangan untuk menata organisasi yang dipimpinnya, kepala daerah tak canggung melacurkan diri untuk memberi posisi atau jabatan kepada birokrat di daerah yang berambisi menduduki jabatan tertentu. Praktik makelar jabatan yang terbongkar di beberapa daerah adalah fenomena gunung es. Karena, praktik semacam ini diyakini juga terjadi di banyak daerah. Dengan 34 provinsi, 416 kabupaten dan 98 kota, tentu berdampak pada luasnya rentang kendali dan pengawasan. Sudah seharusnya, kepala daerah harus membuat kebijakan secara bijak dan transparan. Karena, keputusan terkait penunjukan pejabat akan rentan dengan penyelewengan. Untuk itu, seorang kepala daerah harus memperhatikan azas tata kelola dengan baik, sehingga nantinya pejabat yang ditunjuk untuk menduduki jabatan, benar-benar sesuai dengan kompetensinya sehingga tidak menimbulkan pergesekan tidak sehat di jajaran pejabat.
Dalam bukunya Birokras dan Politik, Prof.DR. Miftah Thoha, MPA. Mengatakan bahwa moral merupakan operasional dari sikap dan pribadi seseorang yang beragama. Ajaran agama melekat pada pribadi-pribadi seseorang. Dengan melaksanakan ajaran agamanya maka moral masing-masing pelaku akan berperan besar sekali dalam menciptakan tata kepemerintahan yang baik. Selama ini moral selalu dikesampingkan tidak menjadi perhatian yang saksama dalam birokrasi pemerintah, hanya digunakan sebagai pelengkap permainan sumpah jabatan saja. Ketika birokrasi melakukan sumpah jabatan bagi pejabatnya, maka disusunlah rangkaian kalimat sumpah jabatan yang memuat perintah yang bersumber dari moral. Akan tetapi setelah sumpah jabatan diucapkan dan pejabat birokrasi pemerintah mulai memangku jabatannya, sumpah tersebut mudah untuk dilupakan. Inilah salah satu penyebab banyaknya pejabat-pejabat public yang berhubungan dengan KPK, Kejaksaan dan Kepolisian. Sebagai penutup dari apa yang penulis utarakan diatas, penulis menyimpulkannya dalam sebuah pantun yang berbunyi, “Abdul Syukur pergi ke pasar, buka lapak sampai ke Kuningan, jika salah berniaga, rompi orange di kenakan. Tuntas?” (***)
Penulis adalah Seorang Dosen Luar Biasa Fakultas Syariah UIN STS Jambi