Kolonel Chk. Irman Putra, putra Kerinci yang bertugas sebagai Inspektorat Utama Pengawasan Khusus Inspektorat Babinkum TNI itu resmi menyandang gelar doktor. Irman berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Sinergi Antara Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pemberantasan Terorisme Berdasarkan Sistem Ketatanegaraan Indonesia” di hadapan 9 tim penguji Universitas Jayabaya.
***
Kamis 26 Agustus 2021, menjadi hari berbahagia bagi Kolonel Chk. Irman Putra. Ia sudah berhak menyandang gelar doktor, setelah menyelesaikan studi doktoralnya di Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Jayabaya, Jakarta. Disertasinya sudah diuji pada sidang promosi doktor di ruang Seminar Lantai 5 Universitas Jayabaya siang tadi. Hasilnya, ia lulus dengan predikat cumlaude.
Sidang Promosi Doktor pria kelahiran Kerinci, 15 Maret 1972 itu disiarkan live streaming melalui channel YouTube Program Doktor Universitas Jayabaya (https://www.youtube.com/channel/UCLtK-7rmYEAeWsZi-jHBwhg). Sang kolonel terlihat percaya diri dan mampu mempertahankan disertasinya di hadapan tim penguji yang dipimpin Rektor Universitas Jayabaya Prof. H. Amir Santoso, M.Soc, Sc, Ph.D.
Beberapa tim penguji lainnya antaralain Prof. Dr. Abdul Manan, SH, SIP, M.Hum (Direktur Pascasarjana/Pengawas Sidang), Prof. Dr. Fauzie Yusuf Hasibuan, SH, MH (Ketua Program Doktor Ilmu Hukum/Penguji), Prof. Dr. Idzan Fautanu, MA (Promotor/Penguji), Dr. Ramlani Lina S, SH, MH, MM (Ko-Promotor I/Penguji), Dr. Ismail SH, MH (Ko-Promotor II/Penguji), Dr. Maryano, SH, MH (Penguji), Mayjen (Purn) Dr. Mulyono SIP, SH, MH (Penguji), dan Prof. Dr. Muhammad Mustofa, MA (Penguji).
Dalam disertasinya, ia menjelaskan mengenai norma pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme. Itu sudah diatur dalam UU No. 5 Tahun 2018. Menurutnya, norma hukum pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme sejalan dengan konstitusi negara sebagai “norma dasar” (grundnorm) atau “aturan pengakuan” (rule of recognition).
Pelibatan TNI itu sesuai ketentuan Pasal 30 ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan TNI merupakan alat negara yang bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
Kolonel yang juga dosen di Sekolah Tinggi Hukum Militer ini, menjelaskan dalam perspektif UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, bahwa aksi teror bersenjata yang dilakukan jaringan terorisme– baik internasional atau yang bekerja sama dengan terorisme dalam negeri atau terorisme dalam negeri bereskalasi tinggi–, sangat membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa.
Semua itu, kata dia, termasuk ke dalam kategori ancaman militer. Di situlah peran TNI sebagai komponen utama pertahanan dibutuhkan untuk menghadapi ancaman tersebut.
Sang kolonel juga menukil UU No. 3 Tahun 2004 tentang TNI. UU itu mengatur pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme termasuk ke dalam tugas pokok TNI dalam cakupan OMSP.
“Sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b nomor 3 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dalam Pasal tersebut disebutkan bahwa tugas TNI dalam “mengatasi aksi terorisme” merupakan tugas pokok, bukan tugas perbantuan kepada instansi manapun,”jelas Kolonel Chk. Irman Putra.
Karena itu, menurutnya, norma pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme memiliki validitas kuat. Kewenangan TNI dalam hal ini bersifat atributif, bukan delegatif dan mandataris. Disebut atributif karena kewenangan itu ditentukan secara normatif oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Bukan delegasi atau mandat dari badan pemerintahan tertentu.
Dalam hal sinergi antara TNI dan Polri, jebolan S1 Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM) ini menjelaskan, itu dapat diwujudkan jika kedua lembaga bekerja sesuai norma kewenangan yang diatur konstitusi.
Kedua lembaga ini sama-sama memiliki kewenangan atributif dalam pemberantasan terorisme, namun dalam ruang lingkup berbeda.
Kewenangan TNI dalam pemberantasan terorisme berada dalam area pertahanan dan kedaulatan negara. Sementara kewenangan Polri berada pada dimensi keamanan, ketertiban dan penegakan hukum.
“Dengan demikian, untuk kategori aksi-aksi terorisme yang berada di luar ruang lingkup pertahanan dan kedaulatan negara, TNI tidak memiliki kewenangan,”kata Kolonel Chk. Irman Putra.
Tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme, lanjutnya, mencakup tiga fungsi utama, yakni penangkalan, penindakan dan pemulihan. Ia lalu menjelaskannya satu per satu.
Fungsi penangkalan dilaksanakan melalui operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi dan/atau operasi lainnya. Fungsi penindakan dilaksanakan dengan strategi penggunaan kekuatan TNI melalui OMSP.
Fungsi penindakan yang dilakukan TNI tidak bersifat pro justitia. Tetapi bersifat sementara. Hasil penindakan TNI tetap diserahkan ke Polri untuk diproses sesuai hukum yang berlaku.
“Dengan demikian, fungsi penindakan TNI tidak mereduksi fungsi Polri dalam proses penegakan hukum,”ujarnya.
Adapun fungsi pemulihan dilaksanakan oleh TNI di bawah koordinasi BNPT.
Di akhir disertasinya, Kolonel Chk. Irman Putra memberikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah.
Pertama, pemerintah perlu merumuskan dan merampungkan Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang Tugas TNI Dalam Mengatasi Aksi Terorisme sesuai amanat UU No. 5 Tahun 2018. Dalam Perpres tersebut, pemerintah harus menjabarkan jenis-jenis aksi terorisme yang termasuk ke dalam kategori ancaman terhadap pertahanan dan kedaulatan negara. Pemerintah juga perlu mengatur tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme sebagai bagian dari OMSP ke dalam tiga fungsi, yakni penangkalan, penindakan dan pemulihan.
Pelaksanaan fungsi-fungsi ini harus ditentukan secara limitatif pada kategori aksi terorisme yang mengancam pertahanan dan kedaulatan negara.
Kedua, dalam rangka membangun sinergi antara TNI dan Polri dalam pemberantasan terorisme, Pemerintah c.q. BNPT perlu membentuk deputi bidang kerjasama antar lembaga. Tugasnya, untuk memetakan, merumuskan dan mengkoordinasikan kebijakan, strategi dan program nasional penanggulangan terorisme berdasarkan kewenangan masing-masing.
Dalam pelaksanaan tugas tersebut, jelasnya, deputi bidang kerjasama antar lembaga berkoordinasi dengan TNI dan Polri. Koordinasi dimaksudkan untuk mengidentifikasi, memetakan dan menentukan jenis-jenis aksi terorisme mana yang termasuk ke dalam kewenangan TNI dan Polri.(*)