Semasa mengembara di negeri orang, lima tahun Asafri Jaya Bakri tak pernah pulang. Fachrori Umar–kini Gubernur Jambi–, kolega pertama yang ia kenal.
—————–
Di penghujung tahun 1977 ketika AJB–begitu Asafri Jaya Bakri disapa–, untuk kali pertama bersua Fachrori Umar. Pertemuan terjadi di sebuah gang sempit di Parung, Ciputat, Jakarta. Maklum, keduanya merupakan mahasiswa baru di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah–kini UIN Jakarta.
AJB tak pernah membayangkan, sesosok pemuda murah senyum, pandai mengaji, yang ia temui di sebuah kosan sederhana itu kelak menjadi seorang gubernur.
“Beliau (Fachrori Umar) orang Jambi pertama yang saya kenal. Saya sering main ke kosan beliau,”cerita AJB.
Persahabatan AJB-Fachrori terpupuk karena keduanya merasa senasib sepenanggungan. Sama-sama perantau dari Jambi dan berkuliah di kampus yang sama pula.
Keduanya terpisah ketika tamat kuliah. Mereka merintis karir masing-masing.
AJB pulang kampung dan melepas lajang. Sementara Fachrori memilih terbang ke Kalimantan menjadi seorang hakim di Pengadilan Agama setempat.
“Setelah lima tahun gak pulang, begitu balik saya langsung menikah,”ujar AJB sambil terkekeh.
Semestinya AJB memang belum terjadwal pulang. Seusai tamat, ia mesti menunggu wisuda yang tinggal beberapa bulan lagi. Tapi, entah apa yang mendorongnya bersegera pulang kampung.
“Eh…Saya malah wisuda di kampung (menikah),”ujarnya tersenyum.
Emi Zola baru saja lepas Sekolah Menengah Atas ketika merajut kasih bersama AJB. Padahal, kala itu Emi Zola ngebet ingin lanjut kuliah ke IAIN Jambi.
Jodoh memang rahasia ilahi. Emi Zola tak berdaya menolak pinangan AJB –yang kelak menjadi Rektor dan Walikota itu.
“Setelah nikah, ibu (Emi Zola) tetap lanjut kuliah di IAIN,”tutur AJB.
Seperti kebanyakan orang, mereka hanya ingin hidup tenang dan membentuk sebuah keluarga. Tak pernah terfikir apalagi bercita-cita menjadi tokoh tersohor.
Resesi moneter pada tahun 1984 menjadi titik awal kecemerlangan AJB. Disaat negara gonjang-ganjing, ketika Presiden dengan tangan besinya mulai mengontrol gerakan mahasiswa–lewat kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK)–, dimasa-masa pelik inilah AJB justru mendapat kebahagiaan. Sepucuk surat yang berisi pengangkatan sebagai Pegawai Negeri Sipil datang dari Departemen Agama–kini Kementerian Agama–.
Dulu, kata AJB, meraih status pegawai sangatlah mudah. Asal punya ijazah, bisa saja langsung diangkat. Berbeda seperti sekarang. Jalan menjadi pegawai berbelok-belok, penuh perjuangan, tidaklah mudah. Di beberapa tempat, bahkan, calon pegawai mesti menyediakan fulus biar lulus.
Nah, di era kemudahan itu, AJB diangkat sebagai tenaga administrasi di IAIN Sultan Thaha Jambi.
Pelan tapi pasti. Karir AJB terus bergerak. Dari staf administrasi ia bergeser ke staf Humas. Setahun berselang, ia lantas berbelok dan meniti karir sebagai dosen. Sementara sang istri, masih sibuk dengan bangku kuliahnya. Juga di kampus tempat AJB mengajar.
Dua tahun berselang, AJB mulai risau. Ia merasa mesti sekolah lagi. Bukan demi mengejar karir. Tapi, yang terpikir olehnya bagaimana meningkatkan basis keilmuan. AJB merasa gelar S1 belum cukup untuk seorang dosen.
“Saya berniat lanjut S2. Yang terpikir waktu itu kembali ke Ciputat,”katanya.
Bak mendapat durian runtuh. Sang istri pun mendukung.
Bismillah….
AJB mantap merantau lagi ke tanah Jawa. Di IAIN Jakarta, AJB melanjutkan pendidikan master dan doktoral.
Dan pada akhirnya kelak, kerja kerasnya itu memboyongnya menduduki tahta nomor wahid di IAIN Jambi .(Bersambung)
[AWIN]