Oleh Yulfi Alfikri Noer S.IP., M. AP
SEBAGIAN besar individu saat ini banyak berlomba-lomba mengejar jabatan, berlomba-lomba menjadi pemimpin dan berebut kedudukan, bahkan menjadikannya obsesi hidup dan kehidupan. Jabatan hanya dipandang sebagai aset, karena seorang pemimpin baik secara langsung maupun tidak langsung berkonsekuensi kepada keuntungan, kelebihan, kemudahaan, kesenangan dan setumpuk keistimewaan lainnya. Maka tidaklah heran menjadi kepala negara, gubernur, bupati, walikota, direktur dan menduduki posisi strategis di lembaga-lembaga pemerintahan dan sebagainya merupakan impian dan obsesi semua orang. Padahal tidak sedikit dari mereka yang mengejar jabatan tersebut tanpa mengetahui siapa sebenarnya dirinya dan bagaiamana kemampuannya. Bahkan yang lebih parah lagi mereka kurang memahami tentang hakikat kepemimpinan itu sendiri dan menganggap jabatan sebagai sebuah kebanggaan dan popularitas.
Bila kita mengingat riwayat bagaimana kekuasaan para penguasa jatuh seperti Julius Caesar, Saddam Hussein akibat serbuan militer Amerika Serikat, Shah Iran oleh revolusi kaum mullah hingga lenggsernya Soeharto sebagai presiden akibat sebuah reformasi, maka kita tersadar akan satu makna, bahwa kekuasaan yang membengkak dan menggurita cenderung lupa kepada dirinya sendiri. Kekuasaan yang berkembang biak, yang tumbuh menjadi gurita, menjadi kekuatan yang sangat dominan. Ia tidak hanya sebuah kekuasaan yang memaksa pihak lain atau publik lupa pada kerakusan kekuasaan yang dimilikinya. Tetapi, lebih utama ia lupa pada hal-hal ideal yang dahulu berhasil mendapuknya kesinggasana. Ia lupa untuk apa dan demi siapa sebenarnya ia berkuasa dan ia lupa apa kekuasaan itu pada akhirnya.
Melihat kekuasaan merupakan suatu gejala psikologis atau semacam sindrom le pouvoir d’publi (forgetful power) bisa kita temui dibanyak tempat, dibanyak waktu dalam sejarah peradaban manusia. Termasuk di negeri kita sendiri. Kita dapat menyaksikan bagaimana para pejabat publik yang pernah atau sedang memegang kekuasaan, ia lupa pada makna kekuasaan yang dipegangnya. Kekuasaan itu tidak lain adalah sebuah amanah. Apapun tanggung jawab atau hak yang ada pada amanah itu hanya berlaku untuk masa temporer dan mereka pemegang amanah kekuasaan itu telah disumpah. Akan tetapi, kita bersama menjadi saksi, bagaimana sumpah itu dikhianati. Entah dalam kondisi apapun, dengan cara apapun, mereka berusaha menggenggam erat kekuasaan itu. Mempertahankannya betapapun amanah itu sudah tidak didapatnya lagi, titipan sudah ditagih oleh moralitas pemilik aslinya. Penguasa telah melihat kekuasaan bukan lagi sebuah kepercayaan, melainkan sebagai kekayaan, sebagai harta miliknya yang harus dibela mati-matian.Sebaliknya, para pencari kekuasaan juga berusaha merebut kekuasaan dengan segala cara. Pada saat itu, sebenarnya adab dari kekuasaan, budaya dalam politik telah binasa. Ia telah kehilangan hak dan kepercayaannya pada kekuasaan serta tidak lagi mewakili etos dan etik yang menjadi dasar nilai utama yang menggerakan founding fathers untuk menegakkan dan memperjuangkan negeri ini.
Saat meyaksikan banyak para pemimpin politik atau kepala pemerintahan yang terjerat kasus korupsi, kebijakan yang tidak pro-rakyat, minim moralitas, sosial dan jauh dari rasa keadilan, terlintas dalam pikiran penulis tentang sosok Umar bin Abdul Aziz (682 – 720) yang dikenal sebagai Khalifah Dinasti Umayyah yang bijak, adil, hati-hati dan sederhana. Ia juga tegas terhadap pejabatnya yang melakukan korupsi yaitu dengan langsung memecat pejabat tersebut dan harta kekayaan yang diperoleh secara tidak wajar juga dikembalikan ke negara. Sosok Umar merupakan peringatan bagi para pemimpin, khususnya yang hanya menggunakan agama sebagai kendaraan untuk mendapatkan kekuasaan serta jalan untuk korupsi. Tidak hanya itu, Umar bin Abdul Aziz juga sangat selektif dan hati-hati ketika hendak mengangkat seorang pejabat atau gubernur. Mereka haruslah kompeten dan amanah dalam menjalankan tugasnya sehingga rakyat bisa sejahtera. Karena bagaimanapun juga, pejabat-pejabat negara adalah ujung tombak dalam pelaksanaan kebijakan-kebijakan sang Khalifah. Bukan pembangunan yang hanya mengejar angka pertumbuhan dan mengundang ketimpangan sosial. Kemajuan itu tampak dari kehidupan penduduk yang sejahtera dan makmur karena semua sektor usaha mendatangkan hasil melimpah ruah dan penuh berkah. Kepada pejabat yang diketahui melakukan tindakan kasar kepada rakyatnya, Umar tak segan-segan melakukan teguran. Termasuk gubernur Khurasan yang menggunakan pedang dan cemeti tentaranya dalam mengumpulkan pajak. Umar menyatakan, “rakyat akan baik jika diperlakukan secara adil dan benar. Rakyat anda membangkang justru karena anda mengahadapi mereka dengan kekuatan senjata. Padahal anda tahu, pasukan dan senjata itu dibeli dari rakyat”. Pemerintah yang baik dan sukses akan menjawab serangan opisisi dengan prestasi, keadilan dan kesejateraan rakyatnya. Sebaliknya, pemerintah yang gagal akan menjawab serangan oposisi dengan pembungkaman, penangkapan, penjara dan penembakan. Kepada para pejabat di daerah pusaran kekuasaannya, Umar memberi instruksi jelas dan tegas, haram melakukan bisnis, baik dilakukan sendiri maupun oleh sanak sekeluarga, kenalan dan kolega-koleganya.
Wahai, Umar, apa yang dapat kami pelajari dari ceritamu yang luar biasa itu? Cerita yang tak Cuma satu dua, menggambarkan pemimpin yang berjiwa halus, teramat sederhana dan begitu prihatinnya pada nasib keseluruhan rakyatnya. Pada saat bersamaan, ia begitu keras, tegas dan tak pandang bulu saat menghadapi musuh agama dan negara atau ketika menerapkan hukuman pada tiap pelanggaran. Kita pun ikut prihatin sedalam-dalamnya saat menyadari betapa kita tidak berhasil menemukan pemimpin formal kita,para penguasa yang seolah-olah merupakan pilihan hati rakyat, terbukti banyak menyakiti hati rakyat karena kebijakan mereka yang tidak pro-rakyat dari tingkat terendah hingga tingkat tertinggi, yang walau tidak harus berlaku sikap sama dengan khalifah Umar, tapi setidaknya mendapatkan inspirasi. Memimpin itu sebuah keprihatinan, bukan sekedar sukses apalagi kegembiraan. Satu kesadaran yang bertentangan dengan setiap “pesta” miliaran-triliunan rupiah semasa pemilihan atau pasca terpilihnya seorang pemimpin. (***)
Penulis adalah Dosen Luar Biasa Fakultas Syariah UIN STS JAMBI