Konflik Lahan Eks Transmigran Vs Korporasi Sawit
Warga eks Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Tebing Jaya Kabupaten Batanghari menggalang kekuatan melawan korporasi yang diklaim telah menggarap Lahan Usaha (LU) I milik mereka. Konflik lahan kian meruncing dan meluas. Warga hidup dalam bayang-bayang perang saudara.
—————————-
Rabu pukul delapan pagi Medio tahun 2018. Suasana di Desa Tebing Jaya I Kabupaten Batanghari mencekam. Semua orang keluar rumah. Ada yang menenteng senjata tajam ada yang mengandalkan tangan kosong. Sebagian mengenakan ikat kepala. Mereka berkumpul disatu titik. Sambil berteriak penuh semangat. Mereka siap-siap hendak perang.
Hari itu, warga bersepakat akan mengambil alih Lahan Usaha (LU) I yang tengah digarap perusahaan sawit. Mereka kesal lantaran korporasi seenaknya menggarap lahan menggunakan eskavator di depan mata kepala warga.
Gerakan warga rupanya bocor. Perusahaan pun menyiapkan perlawanan. Untuk menghadang massa, raksasa sawit itu menurunkan para pekerja yang mayoritas juga berasal dari warga setempat. Andai saja perangkat desa Tebing Jaya I dan aparat kepolisian terlambat menetralisir emosi warga. Gejolak perang saudara nyaris saja pecah.
“Sampai detik ini masalah belum klir. Kami masih mencari titik temu,”ujar Kades Tebing Jaya I, Jaiz ditemui Jambi Link, 3 April 2019 kemarin.
Konflik lahan antara warga versus perusahaan sawit sudah berlangsung bertahun-tahun. Berawal dari pemberian Lahan Usaha (LU) I dari pemerintah kepada warga eks Transmigrasi Tebing Jaya. Lahan Usaha I merupakan jatah warga transmigran untuk dikelola sebagai penyambung hidup.
Lahan-lahan usaha itu lantas dikelola secara beragam. Ada yang ditanami padi, ada pula yang ditanami sawit. Menurut warga, luas Lahan Usaha I tersebut sekitar 200 Hektar. Sebagai bukti kepemilikan, mereka sudah pula mengurus sertifikat di Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Malah, sebagian lain memanfaatkan sertifikat lahan untuk jaminan pengajuan pinjaman uang di Bank. Dan Bank pun mengucurkan pinjaman dengan jaminan sertifikat lahan itu. Warga benar-benar merasa beruntung. Pinjaman Bank bisa dipakai untuk pengembangan usaha lain.
Jaiz menjelaskan, sekitar tahun 2011 pemerintah menggulirkan program cetak sawah. Warga menyambut baik program itu. Mereka inisiatif mulai membuat petak-petak sawah. Padahal program cetak sawah belum bergulir dan baru sebatas wacana. Tapi, karena warga sudah terlanjur bahagia, banyak diantara mereka kemudian menyulap Lahan Usaha menjadi petak-petak sawah.
“Tinggal nunggu bibit dan penanaman saja. Lahannya sudah disiapkan,”ujar Jaiz.
Setahun berselang, program cetak sawah tak kunjung jadi. Lahan-lahan usaha yang telah disulap itu pun mulai ditumbuhi rerumputan. Seperti lahan tidur tak bertuan. Saat itulah korporasi masuk. Perusahaan pelan-pelan mulai mengambil alih lahan yang diklaim tidur dan tak bertuan itu.
Sebenarnya, perusahaan menggarap lahan yang sudah dibeli dari warga. Tapi, versi warga, belakangan lahan-lahan lainnya pun ikut digarap. Sebagian warga malah mengaku tidak pernah menjual lahannya. Dari sinilah konflik mulai pecah.
“Warga sudah pernah lapor aparat dan pemerintah. Tapi posisi warga memang lemah. Sampai sekarang belum ada titik temu,”kata Jaiz.
Salih, warga Tebing Jaya I mengatakan bukti kepemilikan lahan itu adalah sertifikat. Menurutnya, warga juga rutin membayar pajak. Sejumlah Bank bahkan bersedia mengucurkan pinjaman dengan jaminan sertifikat lahan. Ia mengklaim, itu sudah cukup menjadi bukti kepemilikan secara sah. Dan mereka menilai perusahaan telah menggarap lahan secara ilegal.
“Memang ada oknum yang menjual dengan mengatasnamakan warga. Lahan-lahan itu dijual Rp 2 juta per hektar. Tapi, perusahaan membeli lahan dari orang yang salah,”jelasnya.
Salih sedih menyaksikan perusahaan menggarap lahan yang sudah ditanami padi dan sawit itu. Mereka tak habis pikir perusahaan tega berbuat zalim. Sawit dan sawah warga dibuat rata oleh eskavator perusahaan. Lahan-lahan itu kemudian dijadikan tanaman sawit.
“Kalau lahan ini tidak ada, mau makan apa kami pak,”ujarnya.
Satu saja permintaan mereka, pemerintah dan aparat segera ikut campur mencari jalan keluar. Jika tidak, masalah ini akan terus meruncing. Seperti api dalam sekam. Siap terbakar kapanpun.
“Warga ndakmau meletus perang saudara. Tapi mau sampai kapan begini,”ujar Rusdi, warga lainnya.
Untuk diketahui, warga transmigran ini di janjikan lahan oleh pemerintah. Bantuan lahan itu dalam bentuk Lahan Usaha (LU) I dan Lahan Usaha (LU) II.
LU I merupakan lahan palawija. Artinya lahan yang diperuntukkan bagi pemukiman dan cocok tanam (untuk makan). LU I dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek. Luas yang diterima sekitar ¾ hektar.
Sedangkan LU II merupakan lahan yang pemanfaatannya bersifat jangka panjang. Misalnya untuk berkebun atau tempat mencari nafkah. Luas yang diterima sekitar 1 Hektar.
Dalam perjalanannya, bantuan LU II macet. Tapi, warga mendapat kompensasi dalam bentuk bantuan sapi sebagai pengganti LU II. Satu KK memperoleh satu ekor sapi untuk dikembangbiakkan. Derita warga makin bertambah. Masalah baru muncul. Lahan Usaha (LU) I itu kini di garap oleh perusahaan sawit. Mereka hanya menjadi penonton menyaksikan alat-alat berat perusahaan sawit beroperasi.(*)