Oleh Agus Mustawa
“Sejarah dunia adalah sejarah orang muda. Apabila angkatan muda mati rasa, maka matilah sejarah sebuah bangsa.” -Pramoedya Ananta Toer
MEMBINCANGKAN tentang pemuda, sebenarnya merupakan bahasan yang sangat besar dan krusial. Dalam fragmen sejarah bangsa ini, para pemuda selalu memainkan peranan vital menjadi penggerak kebangkitan. Bila diteropong ke belakang, eksistensi pergerakan pemuda mulai terekam sejak tahun 1908 hingga sekarang.
Menurut saya, sejarah yang mencatat ada beberapa periode gerakan pemuda. Mulai dari periode Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi 1945, Aksi Tritura 1966, Peristiwa Malari 1974 dan Aksi menuntut Reformasi 1998.
Namun dalam kesempatan ini saya sengaja mengambil sebagian contoh momentum besar kontribusi pemuda dalam mengaktualisasi lembaran sejarah keberjalanan bangsa Indonesia. Pertama, peristiwa lahirnya organisasi kemasyarakatan pada taggal 20 Mei 1908 yang diberi nama Boedi Oetomo, yang disebut sebagai era kebangkitan nasional. Kemudian, berhimpunnya seluruh pemuda tanah air, tatkala mendeklarasikan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, yang menyatakan satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa; Indonesia. Terakhir, peristiwa paling fenomenal ketika aksi mahasiswa melengserkan Soeharto setelah 32 tahun berkuasa, serta mengusung 6 tuntutan agenda reformasi: Adili Soeharto, keluarga dan kroninya; Berantas KKN; Tegakkan supremasi hukum; Cabut dwi fungsi ABRI; Otonomi daerah seluas-luasnya; dan Amandemen UUD 1945.
Dengan menengok sejarah perjuangan para pemuda dari tahun 1908 hingga tahun 1998, kita dapat merefleksi sekaligus bercermin dari semangat akan perubahan yang mereka lakukan. Bagaimana diawal kemerdekaan soekarno bersama para pejuang kemerdekaan lainnya, amat sangat aktif melakukan propaganda narasi kemerdekaan demi terwujudnya Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Begitupun angkatan 1998 yang sangat lantang meneriakkan reformasi total kepada rezim orde baru.
Runtuhnya orba dan berganti ke reformasi telah menghantarkan indonesia memasuki babak baru. Dimana rakyat mulai menikmati kebebasan-kebebasan demokratis, hak menyatakan pikiran dan pendapat secara lisan juga tertulis, hak berkumpul, hak berserikat dan sebagainya.
Seiring perputaran waktu, dunia terus bergerak dan berubah. Masyarakat, terutama pemuda dipaksa menerima kedatangan era globalisasi. Ya era kecanggihan berteknologi. Hal ini ditandai dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat, menyebabkan teknologi tidak dapat dipisahkan dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Akibat arus globalisasi yang kian tak terkendali, membawa budaya barat masuk dengan sendirinya ke dalam negeri, dan berimplikasi mempengaruhi pola pikir dan perilaku kehidupan pemuda saat ini. Gaya hidup kebarat-baratan (hedonistik) sangat digandrungkan, mulai dari penampilan, pergaulan, berpakaian, makanan, clubbing, mabuk-mabukan, hura-hura, tontonan, idola dan sebagainya. Semua ala barat. Ironis!
Terlebih dampak globalisasi juga sarat pengaruhi iklim dan kultur akademis. Banyak pemuda terjangkit virus malas membaca, tidak suka diskusi, sukar menulis dan sebagainya. Tapi justru maniak game online seperti: Point Blank, Mobile Legends, PUBG Mobile, HAGO, Garena Free Fire, Garena AOV, Clash Of Clans (COC), Pokemon GO dan Line Let’s Get Rich. Ya, realitas seperti ini hanya akan menciptakan pemuda yang tidak produktif, alergi dunia politik, tidak biasa berpikir kritis, lemah kepemimpinan, miskin gagasan, minim kontribusi, individualis dan berbagai penyakit pemuda lainnya.
Seperti pribahasa melayu, “Awak tak pandai menari, dikatakan laintai terjungkat”. Ya, bukan waktunya lagi mempersalahkan keadaan. Karena memang begitulah kehidupan. Sudah saatnya, stagnasi pemikiran ini harus segera di akhiri, generasi lemah ini harus segera di amputasi, sebelum semuanya terlambat dan merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana penggalan lirik lagu kebanggaan aktivis mahasiswa, “Marilah kawan, mari kita kabarkan, di tangan kita tergenggam arah bangsa”. Memang tak dapat dipungkiri, bahwa pemuda adalah pewaris masa depan, di tangan pemuda akan di tentukan nasib sebuah bangsa.
Sama-sama kita ketahui, Indonesia adalah negara berkembang, tercatat sebagai negara nomor empat penduduk terpadat di dunia. Berdasarkan buku “Proyeksi Penduduk 2010-2035”, Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan kisi-kisi bahwa penduduk Indonesia di tahun 2035 di proyeksi sebesar 305, 6 juta jiwa. Namun ada kabar baiknya, bahwa seiring meningkatnya angka populasi penduduk tersebut, Indonesia juga diprediksi akan menerima bonus demografi antara tahun 2020-2030. Kondisi dimana usia produktif lebih unggul ketimbang usia non produktif. Puncak dari bonus demografi terjadi pada tahun 2030. Ketika kondisi penduduk usia produktif mencapai 70 persen (15-64 tahun), dan penduduk non produktif sebanyak 30 persen (dibawah 15 tahun dan 65 tahun keatas).
Tetapi fenomena bonus demografi ini, ibaratkan dua mata pisau, sebab di satu sisi akan membawa berkah, di sisi lain justru akan mendatangkan musibah. Peningkatan jumlah usia produktif secara signifikan dapat membawa berkah apabila dapat dikelola dengan baik. Pun sebaliknya bisa jadi musibah tatkala gagal dalam mengelolanya.
Dalam tulisan kali ini, membaca bonus demografi tidak menggunakan persfektif negara, tapi dengan perspfektif kaum muda. Pemuda adalah tonggak sebuah peradaban. Sudah sepatutnya sadar akan tantangan besar di masa depan. Kecemasan, keresahan dan kegamangan akan menyambut bonus demografi harus dimiliki oleh kaum muda. Agar menjadi pelecut semangat untuk terus mengupgrade kapasitas diri. Terutama pemuda muslim. Kenapa? Karena Indonesia adalah negara penduduk muslim terbesar di dunia.
Sepengamatan saya, pemuda hari ini hanya di sibukkan oleh hal-hal remeh temeh, contoh: percintaan, internetan, hiburan, game online dan konflik kepentingan antar pemuda. Namun alpa terhadap isu ketegangan dunia global, seperti: perang dagang AS dan China, Brexit Inggris, aktivitas nuklir korut, konflik laut china selatan dan sebagainya. Terlebih PR umat Islam yang menumpuk, seperti di Palestina, Afghanistan, Irak, Suriah, Yaman, Uighur China, Khasmir, Rohingya, Patani, Moro dan seluruh umat Islam lainnya.
Itu sebabnya, bonus demografi harus di pandang secara komprehensif dan mengakar. Karena bonus demografi adalah peluang emas untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan kemerdekaan. Sebagai pelakon utama, pemuda diharapkan mampu memaksimalkan segala potensi guna menjemput Indonesia yang baru. Sebagaimana kata Hasan al-Banna, bahwa “pemuda merupakan pilar kebangkitan setiap umat, rahasia kekuatan setiap kebangkitan dan pembawa bendera setiap fikrah”.
Sebagai penutup, saya mengutip kata Muhammad Elvandi, setiap langkah perbaikan diri pemuda muslim, bukanlah sekedar untuk sukses karir pribadi, atau mashur karya. Setiap langkah pembangunan kapasitas diri adalah sumbangan gerbong kereta yang akan mengantar umat Islam ke gerbang peradaban. Semua yang dilakukan dalam skala individu adalah sumbangan bagi bangunan peradaban yang besar.
Jayalah Indonesiaku!
*) Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jambi